Penyuluh Bencana Cilik

Dwi Anggrainy Astivan 12 November 2014

Penyuluh Bencana Cilik

 

Kamera...rolll..action....

Sebuah cerita tentang anak-anak kelas VI SDN 019 Longkali yang mendapat tantangan untuk berperan sebagai “Penyuluh Bencana Cilik”. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk mengemas materi pelajaran IPS  menjadi lebih menarik. Rona semangat terpancar dari wajah mereka. Selain untuk memenuhi nilai tugas IPS, kegiatan ini juga dapat melatih kepercayaan diri anak-anak saat berbicara di depan umum. Di ruang kelas berukuran 3 x 3 meter, dua orang siswa secara bergantian menerangkan cara menghadapi berbagai bencana. Bibir-bibir kecil, disertai senyum gugup mencairkan suasana, membuatnya menjadi penuh tawa. Ini merupakan kali pertama anak-anak itu  melakukan presentasi di depan kelas.

“Selamat pagi teman-teman, kami adalah Penyuluh Bencana Cilik, hari ini kami akan menginfokan cara menghadapi gempa bumi”, seru Alisa dan Novi mengawali pembelajaran. Berbalut seragam merah putih tanpa beralas kaki mereka merangkai kata, menguras memori yang telah mereka persiapkan selama seminggu penuh. Alisa merupakan siswa terpintar di kelas, namun kecerdasan bukanlah jaminan bahwa ia akan lancar menyusun kalimat. Ia tampak gugup dan menganggukan kepala setiap mengeluarkan kata. Lain halnya Novi, walaupun ia bukan siswa terpandai di sekolah tapi ia memiliki percaya diri yang tinggi. Hampir 2 menit dari 5 menit waktu yang disediakan habis untuk tertawa. Senang sekali melihat mereka menikmati pelajaran sambil tertawa dan fokus tentunya.

Kini tiba giliran Andrias, siswa yang selalu memiliki energi ganda untuk membuatku tertawa dan kadang meringis menahan emosi (red:nyebelin). Ia menjadi penyuluh bencana cilik sendiri karna Rasma memilih untuk tidak hadir. “Halo, saya penyuluh bencana ci..cilik, saya akan menjelaskan cara menghadapi Tsu..tsunami...beeh..” katanya sambil begaya. Semua siswa tertawa, begitupun saya. Dengan terbata-bata dan diselingi tawa ia berhasil menjelaskan semua informasi dengan lengkap dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya dengan benar.

Pasangan-pasangan penyuluh secara bergantian maju ke depan kelas. Aini dan Badriah, Subli dan Dedi, Eka dan Rika, Dila dan Uni, Aldi dan Sandi dan akhirnya Rizal dan Rizky menutup penyuluhan bencana cilik. Masing-masing kelompok memiliki keunikan yang menghasilkan tawa sendiri. Saya lega, dengan cara ini kami bisa belajar sambil tertawa. Materi bencana alam pun selesai dalam 3 kali pertemuan. Saya beruntung dan bangga berada di tengah-tengah anak-anak ini.

Itulah sedikit kenangan yang tersimpan dalam hati saya. Bulan Juli lalu, mereka telah berhasil menyelesaikan pendidikan dasar. Sebuah kekhawatiran muncul, akankah mereka semua melanjutkan pendidikan menengah pertama? Akankah saya bisa melihat Andrias memakai baju putih dan celana biru?  Kekawatiran tersebut muncul bukan tanpa alasan. Pemikiran yang penting bisa CaLisTung (baca tulis hitung) masih sering terdengar dikalangan orang tua, setidaknya itulah yang dialami kakak Andrias. Ketika saya bertanya kepada Andrias, akankah ia melanjutkan pendidikannya ia menjawab “Lanjuut donk buu! Hari gini ga sekolah? Beeehhhh....” serunya sambil dengan gaya khasnya.

Ya, hari demi hari ku jumpai Alisa, Novi, Andrias dan nama-nama yang telah disebutkan tadi dalam balutan seragam putih biru. Rasa syukur bahwa semua siswa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP tertuang dalam satu senyuman dan doa syukur. Kiranya kehadiran pengajar muda selama tiga tahun di desa ini telah memberikan dampak positif. Angka siswa yang melanjutkan pendidikannya kini bertambah. Semoga setiap tahunnya semua anak dapat melanjutkan sekolah hingga mencapai apa yang dicitakannya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua