Pengalaman dan Impian, Kisah dibalik menjadi seorang Pengajar Muda

Mohamad Nurreza Rachman 19 November 2016

Senja itu menyimpan makna tentang sejuta pengalaman dan impian. Kehidupanku saat ini adalah satu hal yang sedang menjembatani keduanya.  Sudah 6 purnama aku menghabiskan kehidupan disini, biasa termenung di kala sore datang menghampiri, duduk-duduk di pantai bersama para jagoan kecilku sambil sesekali tersenyum ketika mereka memanggil “Goal Pak Guru, bet su kasih masuk bola akan” dan “byuuuurrr”  desiran ombak pun menjadi sasaran mereka dalam mengekspresikan perayaan kecil tersebut. Tidak pernah terbayangkan dalam impianku sebenarnya aku bisa hidup bersama mereka saat ini, di tenggara jauh Indonesia, Pulau Romang sebutannya.

Kali ini aku tidak akan bercerita tentang Pulau ini atau para jagoan kecilku, tetapi yang lebih menarik dan rasanya dari dahulu ingin aku ceritakan adalah perjalananku hingga bisa terdampar disini. Bukan juga sekedar perjalanan ragaku dalam menggunakan sarana transportasi yang sangat menantang itu, tapi perjuangan batin yang memberanikan diri ini untuk bisa ada disini, hadir untuk menjemput takdir. Takdir yang rasanya terlalu sempit jika dikatakan sebagai nasib, karena aku percaya takdir adalah sebuah muara dari setiap pilihan hidup yang sudah kita pilih hingga sebelum hal yang kita anggap takdir itu pada akhirnya datang.

Semua berawal di bulan September 2015, pengalaman dan profesiku saat itu mengantarku untuk bergabung menjadi inspirator pada Kelas Inspirasi Jakarta 4. Entah hal apa yang merasuki pikiranku, kegiatan itu berhasil menyihir jiwa dan ragaku untuk melakukan sesuatu yang diluar batas kemampuanku, yaitu mengajar dan menghadirkan mimpi untuk anak-anak. Saat itu aku tidak pernah membayangkan dampaknya segila itu untuk diriku, kegiatan briefing, hari inspirasi hingga refleksi rasanya menjadi suatu kombinasi yang luar biasa. Banyak kontemplasi dalam pikiranku yang terjadi, seperti ternyata dengan hadir satu hari di tengah-tengah anak-anak seperti itu, aku bisa memberikan dampak yang positif bagi anak-anak, minimal bisa mengisi hari berbeda yang mereka miliki dari biasanya dan itu terukur sederhana dari kegembiraan yang mereka hadirkan. Selain itu juga aku merasa bisa melakukan aksi yang nyata dan konkrit untuk membawa perubahan pendidikan yang lebih baik, hmm memang terlalu jumawa jika dikatakan perubahan, tapi minimal aku merasa dapat mengetahui sejauh mana tingkat pendidikan kita berada dari kacamataku sendiri. Setelah itu akupun membiarkan pikiran-pikiran liar yang aku dapatkan untuk terus bergejolak hingga aku yakin satu waktu aku mendapatkan jawabnya kemana pikiran ini akan membawaku. Yang pasti sejak saat itu benang merah antara aku, anak-anak dan pendidikan sudah mulai tampak.

Hingga pada bulan Desember 2015, seorang teman dekatku menyampaikan saat itu tengah dibuka pendaftaran Pengajar Muda angkatan XII di website Indonesiamengajar.org dan dia mengatakan, “kamu daftar gih, kayanya ini jawaban dari semua pemikiran kamu deh dan aku yakin kamu pasti lolos”. Suatu keyakinan tidak mendasar yang dia hadirkan untuk diriku, karena bukan sekedar mendaftar dan mengisi aplikasi, namun aku harus siap meninggalkan profesi dan pekerjaanku saat itu jika aku diterima. Ketakutan terbesar tentu saja datang dari dalam diriku, siapa aku berani melepas pekerjaan yang bisa dikatakan nyaman dan mapan untuk sebuah hal yang yang tidak pasti begitu?

Perlahan tapi pasti aku berusaha memantabkan hatiku, ide awal untuk keluar dari zona kenyamanan itu coba aku gulirkan kepada orang tua, atasanku dan beberapa kolegaku. Beberapa menganggapku sudah gila, anak orang kaya bukan, anak pejabat bukan, siapa yang bisa memastikan hidupku kelak setelah setahun nanti? Orang tua tentu saja menjadi hal terberatku dalam mengambil keputusan ini, mereka saat itu hanya tau jika aku ingin berhenti bekerja mungkin hanya karena dapat pekerjaan dengan jabatan, gaji dan tempat yang lebih bonafit atau karena ingin sekolah lagi, tapi ternyata yang ku sampaikan bukanlah kedua hal itu. Pertentangan keraspun aku dapatkan, kembali lagi saat itu aku hanya menyerahkan semua jalan ini kepada Yang Maha Pemberi Petunjuk. Aku pun tidak dapat berargumen, aku tidak memiliki jawaban terbaik untuk menjawab segala pernyataan menyangkal yang mereka sampaikan kenapa aku harus mengambil langkah ini. Aku hanya menjawab dengan pasti “Kalo Allah gak mengizinkan Reza juga gak akan lolos kok pah/mah, itu seleksinya ketat, tapi kalo Reza lolos mungkin itu adalah jawaban petunjuk atas hal yang Allah berikan pada Reza”.

Singkat cerita dari rangkaian proses seleksi berkas essay, administrasi, Direct Assestment hingga Medical Check Up yang dilalui semua dapat aku jalani dengan baik. Tibalah hari itu ketika aku dihadapkan sebuah kontrak yang paling berbeda rasanya ketika melihatnya dibandingkan dengan kontrak-kontrak lain yang aku pernah dapatkan, bukan gaji yang lebih besar, bukan jabatan yang lebih tinggi dan bukan semua hal lebih baik secara materi yang aku temukan didalamnya. Tapi sesuatu yang tidak pernah terukur yang aku tau tersimpan didalam kontrak tersebut yang aku inginkan selama ini.

                Setelah kontrak ditandatangani, resignation letter-pun kuajukan. Masih jelas terngiang dalam ingatanku langkah “nyeleneh” ini mendapat berbagai respon sentimental dari berbagai kolegaku di kantor, khususnya kebanyakan dari mereka yang sudah senior. Bahkan aku sempat di sidang pada beberapa kali kesempatan oleh mereka. Letih rasanya aku rasakan ketika harus menjelaskan kepada setiap orang menanyakan pertanyaan yang sama, “Kamu pindah kemana?”, “Lah, ngapain ikut program begitu?”, “Kamu pasti masih terlalu ambisius dan idealis dalam memandang hidup ini, blablablabla….”. Yaa bukan suatu hal yang mudah kawan melalui cercaaan pertanyaan dan pernyataan itu. Karena sejujurnya aku juga yakin jawaban apapun yang aku sampaikan semua pasti sulit diterima oleh akal sehat mereka. Namun disisi lain aku semakin sadar, tidak semua hal dalam hidup ini bisa diterima oleh akal sehat atau logika kan? Banyak hal juga yang perlu dinilainya menggunakan hati dan nurani. Mungkin hanya dengan itu mereka dapat memahami langkahku ini. Akupun menyampaikan farewell notes ku kepada mereka dan aku coba kutip disini dibagian yang cukup emosional saat menulisnya bagiku:

 

“Hidup ini adalah suatu pilihan, terkadang pilihan itu berat dan harus berpikir berulang kali untuk mengambil keputusan akan pilihan tersebut. Tapi apapun pilihan yang diambil, tidak ada pilihan yang salah. Salah dan benar, untung dan rugi, menyesal dan tidak, bagus dan jelek, bisa dan gagal, semua selalu dua hal berkebalikan yang banyak orang nyatakan ada dalam hidup ini. Padahal hidup bukan cuma kedua hal itu, karena semua itu hanya sekedar penilaian, pola pikir dan cara pandang kita akan keputusan yang kita ambil dari faktor-faktor terbatas yang digunakan dalam menghakimi suatu hal.

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

Hingga yang pasti jangan pernah ragu untuk membuat suatu pilihan karena pilihan tersebut adalah langkah awal baru untuk sesuatu yang lebih baik. Beranilah mengambil tantangan”

Rasa yakin itu semakin aku dapatkan ketika melewati pelatihan intensif Calon Pengajar Muda (CPM) selama 7 minggu bersama 42 orang teman-teman, fasilitator dan pemateri-pemateri yang super kece. Bagiku mereka adalah orang-orang yang lebih gila dan keren dalam memandang hidup ini. Jika dibandingkan keluh kesah hidupkku, rasanya belum seberapa dengan segala perjuangan cerita masing-masing dari mereka hingga bisa hidup sama-sama dalam keluarga CPM 12 ini. Benar jika rasanya banyak orang bercerita jika pelatihan itu adalah pelatihan kepemimpinan terbaik yang pernah ada. Karena disana aku pernah merasakan berada di batas-batas kemampuanku dalam mengelola perasaan, pikiran, pengetahuan, fisik hingga keterampilan.  Dalam pelatihan itu aku juga sangat bersyukur berkesempatan bertemu dengan sang maestro Abah Iwan, karena saat itu cerita dan lagu-lagu yang beliau bawakan benar-benar menjadi “klimaks” yang dapat merefleksikan semua kejadian yang aku lewati dalam pelatihan tersebut bahkan hidupku selama ini. Hingga saat ini aku masih terus terjaga bersama lagu-lagu beliau yang aku dengarkan dalam sunyi dan dinginnya setiap malam disini, untuk sekedar ingat kenapa aku ada disini hingga untuk apa aku hidup saat ini dan nanti.

Dibawah senja ini aku sekarang masih hidup, tersenyum bersama pengalaman yang terpantul dalam bayangan diriku pada desiran pasir dan impian dalam keindahan warna gradasi langit senja. Terkadang pengalaman membuatku ingin kembali kepadanya, impian juga membuatku ingin segera meraihnya. Hingga kadang aku lupa, saat ini sedang hidup atas bentukan keduanya. Kini aku lebih banyak membiarkan hidupku menikmati kedua hal itu sambil terus meyakini “Selama aku terus berusaha melakukan suatu kebaikan, Allah akan bersamaku, mengajarkan aku dari setiap pengalaman yang Aku lalui untuk membukakan jalan kemana mimpiku ini akan berujung”.

Salam Maluku Satu Darah,

 

Reza :')


Cerita Lainnya

Lihat Semua