Anak-anak Cengkih !

Mohamad Nurreza Rachman 15 Oktober 2016

Hampir seluruh remaja dan laki-laki dewasa di dusun Rumkuda, Pulau Romang, Maluku Barat Daya setiap harinya menghabiskan waktu di dusun (re: kebun di tengah hutan) dari pagi pukul 06.30 hingga 18.30. Sementara para wanita dewasa biasanya setelah menyelesaikan aktifitas rumah tangga di pagi hari, dilanjutkan dengan mengantarkan makan siang untuk suaminya ke dusun. Namun yang paling menarik bagiku disini adalah kebiasaan anak-anak menjalani kehidupan sehari-harinya. Sewaktu pertama kali diriku datang kesini, kebetulan saat itu libur semester masih berlangsung. Aku berharap waktu itu adalah waktu yang tepat bagiku untuk bermain dengan anak-anak sekedar mengakrabkan diri dengan calon Bapak Guru barunya di sekolah nanti. Namun tidak seperti yang kuduga, hampir tidak ada satupun anak-anak yang saat itu terlihat di area sekitar kampung. Termasuk adik-adik piaraku di Rumah tempatku tinggal. Mereka tidak ada di rumah sepanjang pagi hingga sore hari. Hingga suatu malam aku bercerita dengan orang tua piaraku yang mengatakan jika libur semester seperti ini orang tua biasa mengajak anak-anaknya ke dusun, terlebih saat ini sedang musim panen cengkih.

Suatu hari aku meminta orang tua piaraku untuk dapat ikut ke dusun memanen cengkih. Dengan menempuh perjalanan dari rumah ke dusun sekitar 1 jam, melewati hutan dan sungai-sungai yang diseberangi setinggi lutut orang dewasa tanpa jembatan tibalah kami di kebun cengkih yang dimiliki secara turun temurun oleh keluarga besar orang tua piaraku ini. Disana saya melihat adik piara saya sedang memilih cengkih. Memilih cengkih adalah sebuah kegiatan mengambil cengkih-cengkih yang ada di tanah akibat proses pemetikan cengkih yang sudah dilakukan di atas pohon atau jatuh secara alami dari tangkainya. Di kebun sebelah, saya juga menemukan seorang “nyong” (re: anak laki-laki) umur 6 tahun yang dengan semangatnya ikut membantu kedua orang tuanya ke dusun panen cengkih begini. Betapa takjubnya saya dengan kebiasaan anak-anak disini. Saya yakin anak-anak itu bekerja bukan karena paksaan, tetapi karena baktinya terhadap orang tua sekaligus kebun itu menjadi halaman bermain bagi mereka yang terlihat sangat riang melakukan pekerjaan ini.

Setelah kami semua bersama-sama memilih cengkih, kami melanjutkan makan siang bersama. Saat itu saya sempat menceritakan sedikit cerita sejarah penjajahan, tentang latar belakang  kenapa Belanda mau menjajah Indonesia. Saya ceritakan betapa kaya dan berharga bangsa kita dari dulu hingga kini dengan kekayaan rempah-rempahnya, salah satunya dengan cengkih ini. Ketika itu pun anak-anak berpikir dan bertanya, “jadi gara-gara cengkih ini belanda dulu menjajah kita pak?” aku pun hanya mengangguk sambil menghabiskan sisa makananku.

Aku sadari setelah itu aku melihat sebuah ekspresi wajah berbeda yang mereka hadirkan, yaa mungkin itu adalah perasaan bangga yang seharusnya mereka miliki dengan kekayaan alam yang kita semua miliki khususnya cengkih ini. Aku pun menutup sesi kelas sejarah kecilku siang itu dengan menyampaikan, “makannya katong (re: kita ) harus sama-sama rajin belajar biar katong bisa jual nanti cengkih ini sampai ke belanda thoo”. Merekapun membalasku dengan anggukan yang penuh semangat…


Cerita Lainnya

Lihat Semua