Sembilanbelas Pusu Filipina Melanggar Garis Batas
Mohamad Arif Luthfi 20 November 2011
Senja itu sangat mencekam!
Aku kabarkan sebuah kisah pada tulisan ini akan satu peristiwa yang mencengangkan. Yang tak satupun telapak-telapak tangan mungil anak-anak pulau Lipang tak menggenggam erat kain kaos orang tua mereka. Mereka takut. Sangat ketakutan.
Simaklah!
Hari itu, kalender dunia menunjukkan tanggal 21 Januari 2012. Tepat, hari Sabtu. Senja itu, garis merah matahari diatas perairan laut Sulawesi, langit Indonesia tampak marah. Gerombolan awan yang bergulung-gulung dari arah utara dan selatan seakan siap meng-gemuruh-kan ledakan petir menembus benteng tak bertepi.
Senja itu, nafasku memburu menyaksikan benteng barikade dibibir pantai Lantehe yang terbuat dari manusia. Suasana tegang. Tua-muda, besar-kecil, laki-laki:perempuan, semuanya ada. Mereka tengah menyaksikan puluhan pelaut-pelaut Filipina yang tengah digelandang oleh pasukan Koramil Kendahe (Wirabuana) bersama personil dari Polsek Kendahe.
Dengan membawa kamera saku, aku berlari membelah jalan setapak menuju bibir pantai. Aku saksikan anak-anak pulau sedang bersembunyi dibalik punggung para orang dewasa. Tampaklah kaos-kaos orang dewasa itu tertarik ketat tak karuan tersebab ada rasa takut yang sangat tengah bersemayam pada tubuh-tubuh kecil itu. Sesekali mereka terlihat menerbitkan kepalanya kearah pelaut-pelaut Filipina itu. Namun, tak lama, terbenam lagi.
Jepret! Jepret! Jepret!
Mata kameraku membidik semua sudut perstiwa pada senja itu.
Hening. Semua mulut terkatup kuat. Hanya suara lantang komandan Koramil, Wemrit Bangkulu, yang terdengar sangat memecah kebisuan senja itu. Keras. Menghentak. Ia teriaki tegas pelaut-pelaut tengil itu.
Puluhan personil dibantu warga pulau menggeledah pusu-pusu tak ber-izin itu. Diatas pusu, pelaut-pelaut Filipina itu seakan robot yang hanya bisa melakukan gerakan yang diminta oleh para personil. Mereka menyerah. Pasrah.
Timbunan es (pengawet ikan) dipusu-pusu itu dibongkar. Dikeruk. Digali. Ikan-ikan hasil curian dari perairan Indonesia ditarik keluar. Dahsyat. Onggokan ikan tuna menumpuk menghuni pusu-pusu gelap itu. Beraneka macam ikan terkemas-menumpuk dalam kotak penyimpanan ikan.
Para personil dengan sangat lincah melompat, memburu, dan menindak tindakan para pelaut ilegal itu. Dan,
“Total ada sembilan belas pusu. Ada delapan yang melarikan diri!” Suara geram Danramil memberi tahu pada salah satu aparat kampung Lipang.
Aku menyaksikan ke-sebelas pusu gelap itu berbenderakan Indonesia. Ini merupakan salah satu cara tengil yang dilancarkan untuk mengelabuhi petugas patroli wilayah perbatasan perairan Indonesia. Dan cara ini, sudah menjadi rahasia umum. Pusu-pusu itu tak bernama. Hanya dua pusu yang beridentitas; KM. Kariang Kamang 57 dan KM. Anugrah 06.
“Nyaman”-nya Pulau Lipang
Bertugas sebagai Pengajar Muda di wilayah kluster perbatasan negara, pulau Lipang, selalu saja menyisakan ruang dalam hatiku: betapa “nyaman”-nya pulau Lipang sebagai tempat singgah para penerobos garis batas negara. Wilayah yang bertetangga-an dengan negara Filipina ini, memang tidak terdapat POS-AL (Pos Angkatan Laut) atau sejenisnya. Dan hanya satu-satunya pulau di wilayah kluster paling utara republik ini yang tidak memiliki posko garis batas.
Terkadang dalam hati sempat terbit rasa khawatir didalam “rumah” sendiri. “Rumah” yang bertetangga dengan negara yang relatif banyak konflik dan juga betapa bebasnya senjata api diperjual-belikan membuat hati ini sering bergumam I don’t feel at home.
Pernah pada suatu pagi salah seorang murid saya dengan bangga menceritakan pada saya bahwa; “Pak guru, kemarin sore saya bermain-main diatas pusu Filipina. Gagah sekali. Ada pistol disana.”
Mendengar celotehan lugu semacam itu, mengantar rasa takutku pada sebuah ruang bernama khawatir. Aku membayangkan: Bagaimana jika suatu ketika pusu-pusu Filipina itu datang, kemudian menghabisi seluruh manusia di pulau kecil tanpa penjagaan ini? Lalu mereka menjarah seluruh harta kepunyaan warga pulau ini. Apalagi pulau ini tak memiliki jaringan sinyal komunikasi yang memadahi. Atau mungkin bisa lebih parah lagi; mereka menghabisi seluruh orang dewasa dan hanya menyisakan para remaja, gadis, dan anak-anak lalu mereka dijadikan sasaran human trafficking.
Dari peraturan kampung (perkam)-pun aku tidak mendapati upaya tegas untuk mengatur kebiasaan pelaut-pelaut nakal yang urat jera dan takutnya sudah putus itu. Dalam hati aku pernah dan selalu marah jika teringat akan salah satu informasi dari beberapa warga pulau yang menceritakan: betapa cerdas-nya pelaut-pelaut gelap itu dalam menangkap ikan termahal di wilayah perairan paling utara republik ini, ikan tuna.
Sebagai perbandingan saja. Jika pelaut-pelaut asli Indonesia mengail ikan tuna mendapatkan satu ekor, maka (kecerdasan) pelaut-pelaut gelap itu (sudah) mendapatkan sepuluh ekor ikan tuna bahkan lebih.
Baiklah. Ini belum selesai!
Aku akan mengajak melihat lebih dekat lagi.
Jika menggunakan hitungan kasar, rata-rata berat ikan tuna yang berhasil tertangkap oleh nelayan adalah berkisar (paling kecil) 40-50 kg. Harga per kilo ikan tuna di pasaran ibukota kepulauan kabupaten Sangihe (Propinsi Sulawesi Utara) rata-rata adalah Rp.22.000. Berarti jika ikan tuna seberat 40kg, maka uang yang diperoleh adalah sebesar Rp.880.000 per ekor. Lalu bagaimana jika mendapat sepuluh ekor? Atau bahkan lebih? Itu (mungkin) jika satu hari. Bagaimana jika sepuluh hari? Satu bulan? Atau? Dan yang pasti: yang menikmati hasil laut itu, bukan nelayan-nelayan Indonesia. Tapi pelaut-pelaut tengil “tetangga-sebelah”.
Tentang Sepi
Memendam rasa khawatir dalam hati memang meresahkan. Kadang rasa takut yang terbit, mampu mengalahkan rasa nyenyak dalam tidur. Terkadang dalam sepi, dimalam-malam yang dilalui tanpa listrik di pulau ini menjadi sebuah sunyi tanpa nafas. Ketakutan-ketakutan itu selalu hadir menghantui. Tanpa adanya seruan perang, namun perasaan selalu dihuni rasa tidak tenang akan adanya serangan yang tiba-tiba. Di pulau kecil ini,
Senja itu sangat mencekam!
Aku kabarkan sebuah kisah pada tulisan ini akan satu peristiwa yang mencengangkan. Yang tak satupun telapak-telapak tangan mungil anak-anak pulau Lipang tak menggenggam erat kain kaos orang tua mereka. Mereka takut. Sangat ketakutan.
Pulau Lipang, Senin 23 Januari 2012
11:12:26 wita
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda