Sebening-Bening Prasangka
Mohamad Arif Luthfi 16 Oktober 2011
Aku tiada henti mengaguminya. Budinya baik. Keteguhannya utuh. Terkadang bicaranya lantang, tapi sesekali suara itu ia lembutkan. Kecekatannya dalam melihat situasi sangat cerdik. Ia tangkas menanggapi situasi. Setiap jengkal langkah kakinya seolah perahu yang berlayar yang sudah tahu kemana tempat pelabuhan pemberhentian terbaiknya dari kelana gelombang arus samudera yang liar mengirinngnya.
Namanya Ilham Bawoel. Remaja usia tujuh belas tahun yang putus sekolah. Rambutnya tampak merah kekuningan akibat terik matahari yang akrab menjumpainya. Kulit legamnya terlukis tersebab luasnya samudera yang tak bertepi dan atap langit yang menaunginya menjadi sahabat karib sejatinya; pagi, siang, sore, malam, dan dini hari. Kantung matanya selalu terlihat pucat sebagai penanda, tidur hanya datang sebagai tamu yang mendatanginya dalam waktu sebentar.
Pernah aku beberapa kali menjumpainya, dengan mengenakan celana sepak bola kumal dan kaos oblong yang sudah terdapat lubang disana-sini serta robek, ia –seorang diri-dengan penuh semangat mengeringkan genangan air dalam masjid yang membanjir akibat atap yang bocor. Ia bersihkan debu kotoran tertempel pada lantai masjid. Ia bentangkan sajadah demi sajadah untuk menyambut sholat para jamaah disaat teman-teman seusianya tengah asyik bermain dan bercanda tawa. Aktifitas rutinnya mengail ikan di atas perairan samudera pasifik membantu orang lain mengais rezeki.
“Mas, orang sabar itu disayang Allah ya?” Begitu tanya seriusnya suatu saat padaku.
“Iya, pasti. Ada apa Ilham?”
“Tidak, Mas.” Ucapnya sambil wajahnya merunduk dan meratap sedih.
“Sabar itu berat. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melaluinya. Makanya Allah menyayangi orang-orang yang bersabar.”
Pandangannya masih kosong. Tatapan matanya menerawang jauh entah kemana. Lalu wajahnya tertunduk. Ia sering membagi kisah hidupnya denganku. Hampir setiap malam hari, dini hari, tepatnya berkisar pukul dua malam, ia hampir bisa dipastikan sudah mengarungi pekatnya malam ditengah perairan samudera pasifik. Angin samudera yang bertiup tidak biasa saat malam selalu hadir menyusupi pori-pori sekujur kulit tubuhnya. Ia berdiri diatas perahu kecil yang diombang-ambing tarian ombak samudera pasifik. Matanya awas mengamati tiap riuh buih yang berkecipak dan terjuntai tak beraturan.
“Mengail semalam, dapat banyak ikan ya?” Tanyaku ditengah diamnya.
“Tidak, Mas.”
“Maksudnya? Tidak banyak?”
“Tidak sama sekali.”
“Ah iya kah? Satu ekorpun kamu tidak mendapatkannya?”
“Iya, Mas.”
“Kamu mengail mulai jam berapa?”
“Seperti biasa, jam dua malam sampai delapan pagi. Tapi, sudah hampir dua minggu ini saya pulang dari mengail tanpa membawa seekor ikan satupun.”
Hatiku sedih mendengar pengakuannya. Kata-kata pecah. Aku terdiam merenung larut dalam ratapnya. Hampir sudah dua minggu ia tak mendapat satu ekor ikanpun. Ia mengadu nasib; antara jiwa dan nyawa di atas perairan samudera pasifik. Perairan yang sangat jarang mempunyai ombak kecil dan tiup kencang angin yang begitu dahsyat selalu menjadi ciri khasnya.
“Lalu, apa benar itu Mas bahwa Allah tidak akan menimpakan ujian diluar batas kemampuan manusia?”
“Benar Ilham. Allah itu memberikan ujian kepada hambanya sebagai bukti kasih sayangnya. Gampangnya begini: kalau kita sekolah, sebelum kenaikan kelas, pasti siswa akan menghadapi ujian kan untuk mengetahui apakah tiap-tiap siswa sudah mampu menyerap pelajaran yang disampaikan setiap harinya atau tidak. Nah, bagi yang lulus ujian, nilainya baik, mampu melewati ujian, maka ia akan naik kelas atau dinyatakan lulus dari ujian. Jika sudah seperti itu, siswa akan naik kelas pada kelas yang lebih tinggi. Itu semua sama dengan ujian yang diberikan Allah kepada hambanya. Jika hambanya mampu melewati ujian dari Allah, maka tidak lama lagi ia pasti akan mendapat sesuatu yang sangat berharga dari Allah. Seperti kalau kita naik kelas, kita mendapat kedudukan yang lebih tinggi dengan menempati kelas baru pada kelas diatasnya.”
“Oh begitu ya, Mas! Berarti saat ini saya sedang diuji sama Allah?”
“Iya, Ilham. Jadi kamu harus sabar dan tetap menjaga semangat untuk tidak putus asa ditengah-tengah ujian yang sudah hampir dua minggu ini.”
“Saya merasa kasihan pada Mas Dedi, tuan perahu saya. Setiap kali kami pulang dari mengail, tidak ada satupun ikan yang kami bawa. Hanya gulungan senar yang ada.”
Kalimat terkhirnya membetot pikiranku. Aku tiba-tiba menerawang pada sebuah peristiwa siang itu. Saat itu tepat pukul dua belas siang. Matahari sedang bersinar sangat terik. Istri Mas Dedi sambil menggendong anak laki-lakinya yang masih berusia dua tahun, terduduk mengiba di teras rumah tinggalku. Ia sambil menenangkan anaknya yang menangis akibat lapar. Mengiba meminta ikan atau apapun yang bisa dimakan sebagai teman untuk menyantap nasi.
Memang hidup di pulau kecil seperti ini yang jauh dari segalanya membutuhkan kesabaran yang tidak biasa untuk memamah kehidupan. Segala keterbatasan tersedia lengkap di pulau ini. Mulai dari tidak adanya sumber air bersih, tidak adanya listrik, tidak adanya sinyal komunikasi, tidak adanya MCK yang memadai dan ketidak-adaan seterusnya.
Naluriku berbisik; “Sungguh mulia sekali remaja ini. Meski hanya seorang yang membantu tuan perahunya dalam mengail ikan, ia sungguh memperhatikan efek-efek kedepan atas nihilnya ikan yang didapat. Ia berusaha mencari tahu duduk kerangka tentang ujian hidup. Kesehariannya sederhana. Sangat rendah hati. Ia ulurkan tangan pada setiap orang yang butuh bantuan. Pernah aku mendapatinya ia mengangkut pasir pantai mondar-mandir di jalanan berkali-kali sambil memanggul karung pasir yang berisi padat menuju pada rumah seorang ibu. Dan jalanan itu, aku tahu sangat berkelok dan naik turun. Tapi tugasnya itu selesai dengan baik. Tubuh kurusnya selalu memberi isyarat bahwa ia siap sempoyongan menuju setiap orang yang butuh uluran tangannya tanpa diminta. Prasangkanya bening. Sebening-bening prasangka. Ia hadir dan terlahir untuk meringankan bukan menambah beban.”
Lalu mengenalnya, aku dibawa pada secarik robekan kertas yang kutemukan. Kertas itu berisi gores tulisan Ella Wheeler Wilcox. Yang aku tahu ada dua jenis manusia di bumi ini. Hanya ada dua, sungguh, tak lebih. Bukan pendosa dan orang suci. Karena lazimnya sulit mencari kebajikan yang murni, ataupun kejahatan yang sama sekali tak berbelas kasih. Bukan yang kaya dan yang miskin. Sebab untuk membedakan keduanya kita harus tahu kelimpahan nurani dan kesehatannya. Bukan yang rendah hati dan si sombong diri. Karena sepanjang kehidupan, siapapun yang sombong takkan lagi dianggap sebagai manusia. Bukan yang bahagia dan bersedih hati. Karena tahun-tahun yang lewat, membawakan tawa silih berganti dengan duka bagi tiap manusia. Tidak. Dua macam manusia yang kita bicarakan adalah mereka yang mengangkat dan mereka yang membebani. Dengan kedua jenis ini kita berjumpa, kemanapun kita pergi kita bahkan merasa, akan hanya ada seorang pengangkat untuk tiap duapuluh orang yang membebani. Termasuk yang manakah engkau? Apakah kau meringankan beban, bagi para pengangkat yang lemah. Ataukah engkau seorang penyandar, yang mana sesama kau biarkan ikut merasakan tanggungan, kekhawatiran, dan masalahmu atau bahkan engkaulah yang membawakan segala duka dan derita untuk memberati pundak-pundak mereka.
Padanya, seorang remaja yang putus sekolah, aku mulai belajar dari awal untuk menjadi yang mengangkat. Setulus, sebening-bening prasangka. []
Lipang, Minggu 14 Agustus 2011
08:53:12 wita
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda