info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Gerimis yang Menunggu Senja

Mohamad Arif Luthfi 18 September 2011

 

Gerimis yang rincik sore ini seolah mengirimkan lembab yang berkunjung tanpa niat. Titik-titik air hujan yang terus menitik dari atap membentuk lubang-lubang kecil pada tanah yang basah. Kabut yang mulai tampak menghuni rimbun-rimbun dedaunan yang kuyup seolah sebagai pertanda bahwa ia hendak menyambut datangnya senja yang masih dalam perjalanannya sore ini. Suasana dingin seolah akrab dengan waktu.

Sementara langit sedang berpayung awan putih kelabu. Hampir tak bersisa sedikitpun tempat untuk sinar matahari sore menembus kepekatannya. Pekat sekali. Dan hampir seharian penuh, hari ini, langit bergelayut mendung yang kelabu. 

Aku tak sedikitpun berani keluar mengakrabi dingin yang sedang menjadi. Suasana sore beku. Dari balik jendela rumah tinggalku, aku hanya terpatung melihat pintu dan jendela para tetanggaku tertutup rapat seolah tanpa permisi. Tak seorang pun aku lihat tetanggaku atau anak-anak yang sedang berlalu lalang di jalan depan rumahku. Tidak seperti sore biasanya. Yang aku dapati hanyalah sesekali orang Filipina yang berjalan bergerombol antara tiga hingga tujuh orang. Mereka adalah nelayan-nelayan Filipina yang berlayar di wilayah perairan Indonesia yang sering menjadi target manufer kapal-kapal TNI angkatan laut Indonesia. Mereka sering menyelundup masuk di pulau kecil ini, Lipang

Pada sore yang dingin menggigil seperti ini, berselimut rapat didalam kamar menjadi pilihan yang tepat untuk menghangatkan tubuh. Rasa dingin yang sangat menusuk-nusuk kulit, menembus pori-pori kulit, dan seolah perlahan mulai mengehentikan desiran darah yang mengalir sungguh menguji ketahanan tubuh. Kulit tubuhku dipaksa menghangatkan sekujur badanku. Aku menggigil bergemeletuk. Benang-benang jaketku seolah tak mampu menahan rasa dingin yang membadai. Kukuku merah membiru. Sesekali aku hanya menghembuskan nafas panjang pada kedua telapak tanganku yang tertangkup bersisian hanya untuk menghangatkan suhu tubuh.

Sementara aku melihat pada dinding sisi samping rumah tetanggaku, burung punting itu tampak tertunduk mengembangkan bulu-bulunya. Paruhnya terkatup kuat. Lehernya memendek. Kedua kakinya tak ditampakkannya. Matanya tampak nanar. Ia merapat pada dinding seolah mencari tempat paling nyaman untuk mengatur suhu tubuhnya.

Pohon-pohon kuyup. Daunnya tergolek syahdu bergurat butir-butir air yang menggelembung. Sore ini sungguh beku. Suara angin pada gesekan-gesekan daun tak sedikitpun aku dengar. Angin seolah enggan untuk bertiup dalam dingin yang mendera. Aku terus mematung dalam dingin. Tak terasa, lubang hidungku terasa sempit. Tarikan udara yang keluar masuk seakan tidak lancar seiring suhu tubuhku yang mulai tinggi. Flu. Iya, dinding-dinding lubang hidungku mulai basah. Kedatangannya seolah memberi pertanda bahwa ia ingin turut menghangatkan tubuh. Aku mulai meninggikan krah jaketku. Aku rapatkan ujung-ujung lengan jaketku. Mataku nanar. Aku genggam jariku pada sela-sela jemariku. Aku rapatkan keeratannya. Lagi-lagi aku hembuskan nafas panjang. 

“Mas, silahkan berbuka puasa!” Tiba-tiba suara Pak Tenga, tuan rumahku, memecah kebekuan.

“Iy... iiyyaa Pak.” Dengan suara berat dan terbata-bata aku menjawabnya.

“Menginum teh hangatnya, Mas.” Lanjutnya dengan logat bahasa Sangirnya.

Hari kian larut. Gerimis masih saja terus menciptakan lembab pada kaca-kaca depan rumah. Dan senja baru saja tiba dari perjalanannya hari itu. []

Lipang, Selasa 9 Agustus 2011 

17:39:29 wita


Cerita Lainnya

Lihat Semua