info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Angin Selatan di Siang Ramadhan

Mohamad Arif Luthfi 28 Agustus 2011

 

Hari ini tepat hari ke lima Ramadhan. Cuaca hari Jum’at ini sangat panas. Matahari bersinar sangat terik. Satu jam sebelum aku berangkat menuju masjid untuk sholat Jum’at, aku mandi pada sumur terbuka dibelakang balai pertemuan desa. Menemukan sejuk dengan guyuran air disekujur tubuh saat diri berpuasa di pulau kecil ditengah samudera Pasifik dengan suhu panas yang sangat tinggi semacam menemukan telaga air ditengah padang pasir yang gersang. Rongga kerongkongan tenggorokan serasa dibasahi air yang masuk pada cela-cela pori kulit. Rongga dadapun demikian. Aku merasakan kesegaran yang tiada tara saat guyuran air dari dalam timba bekas kaleng cat yang aku gunakan untuk mengambil air di dalam sumur berkali-kali mengguyurkan air. 

Ada dua orang yang membersamaiku saat aku mandi. Keduanya adalah nelayan. Dua laki-laki asli orang Lipang ini sesekali menatapku seolah mereka juga sedang turut merasakan atas kesegaran yang aku dapatkan. Keduanya sedang asyik berbincang mengunakan bahasa Sangir. Dua orang itu; yang satu bernama Mu’iz dan yang kedua aku belum mengetahui nama nelayan itu. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang tengah mereka perbincangkan. Yang jelas, aku hanya bisa memahami dari bahasa wajah yang mereka tampakkan. Maklum, memang disaat kita berada ditengah-tengah masyarakat yang baru bagi kita, apalagi dari bahasa kita tidak mengetahui, aku paling sering mencoba untuk memahami bahasa mereka dari mimik wajah. Sebab, hal itulah yang paling gampang dan tampak.

“Mas, panas sekali ya?” Ucap Mu’iz padaku secara tiba-tiba.

“Iya, panas sekali. Kalau puasa gini, yang paling enak saat buka puasa nanti meminum kelapa muda.” Jawabku padanya seraya aku mengenakan kaos abu-abu.

“Minum aja Mas, disini banyak sekali pohon kelapa. Nanti kapan-kapan saya ambil untuk Mas.”

Adalah sebuah kesegaran memang menenggak kelapa muda langsung dari batok cungkupnya. Apalagi disaat siang yang terik seperti ini disebuah pulau kecil yang untuk dapat merasakan es saja harus menempuh jarak kurang lebih dua belas mil. Ah, tapi memang inilah salah satu ujian disaat bulan suci Ramadhan. Godaan sesaat yang dapat merusak kesempurnaan pahala puasa ramadhan.

“Mu’iz, aku pulang dulu ya.”

“Iya Mas.”

Terik. Jalanan beton didepanku kering kerontang. Tampak bias fatamorgana mengkilat-kilat mengepulakan uapnya. Dengan berkerudung handuk setengah basah, aku tutupi batok kepalaku untuk mengurasi sengattan sengit terik matahari. Subhanallah. Aku menelan ludahku sendiri. Terasa pahit dan kulit bibirku terasa sedikit agak pecah-pecah saat ku raba dengan lidah. Aroma udara yang kering keluar masuk menghiasi lubang hidungku. Rasanya ingin saja aku membatalkan puasa, menenggak air, sudah itu haus yang sangat menusuk akan terobati. Dan usus-usus dalam perutku akan saling bergelayut akibat air yang masuk.

“Ah”, gumamku dalam hati, “untuk apa menuruti bisikan sesaat. Letak sebuah kebulatan tekad memang sering diuji disaat-saat sempit dan tertekan. The different between possible and impossible lies the determination. Apa yang tidak mungkin untuk sebuah keutuhan niat? Melewati segala ganjalan dan cobaan ditengah perjalanan memang tidak mudah dalam kenyataannya. Tetapi akan menjadi sebuah kepuasan batin tatkala apa yang menghadang perjalanan kita itu dapat kita siasati disaat yang menghimpit. Astaghfirullah... Robbi, senantiasa bimbinglah hati, lisan dan pikiran ini dalam setiap langkah.”

***

Lantai masjid sudah sangat bersih. Bentangan-bentangan sajadah tampak rapi mengisi shof-shof didalam masjid. Banyak aku temui orang-orang tengah khusyuk dalam dzikirnya dan bacaan-bacaan Al-Qur’annya. Sementara suara murrotal kaset yang diputar didalam masjid sangat menyentuh. Surat Ar-Rahman.

Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadhibaan.

Kullu man alaiihaa faan.

Wayabqoo wajhu robbika dhuljalaali wal ikroom.

Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadhibaan.

Yasaluhu man fisamaawaati wal ardhi, kulla yaumin huwa fii shak’n.

Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadhibaan.

 

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Semua yang ada dibumi itu akan binasa.

Dan tetap kekal Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Semua yang ada dilangit dan dibumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

(QS: Ar-Rahman 25-30)

Tiba-tiba aku tertegun. Pikiranku seolah-olah terbetot mendengar lantunan ayat-ayat. Madaniyyah itu. Lembut sekali surat Ar-Rahman. Sajak-sajak ayatnya sangat cantik. Berima. Bahasanya indah. Rasa panas yang aku alami saat sepulang mandi tadi serasa hilang ditelan bumi. Dalam masjid, aku memilih duduk di shof nomor tiga dibawah tiang berwarna hijau. Aku bentangkan sajadahku disana. 

Sesaat, tuntung dipukul menggelegar oleh Pak Imam masjid. Seruan adzan dikumandangkan dengan penuh hikmat mengguncang hati para jama’ah. Dan khutbahpun diperdengarkan.

***

Usai sholat Jum’at, aku menyempatkan diri membantu dua orang remaja masjid yang tengah sibuk melipat bentangan-bentangan sajadah dan merapikan kembali kondisi masjid. Suasana diluar masjid masih sangat terik. Jilatan-jilatan uap fatamorgana terlihat jelas menghiasi jalanan didepan masjid. Sesekali aku melihat banyak para jama’ah yang keluar masjid seraya menelungkupkan sajadah pribadinya di atas kepala mereka. Ada pula jama’ah yang melindungi silau matanya dengan telapak tangan. 

Hari-hari ini, musim angin barat hingga enam bulan kedepan. Angin yang dikenal sangat angker yang mampu mengoyak-ngoyak air di lautan menjadi gulungan-gulungan ombak yang dahsyat. Musim-musim seperti ini, dikawasan pulau Lipang biasanya dikenal dengan musim kering berkepanjangan. Tanah-tanah akan terlihat pecah. Dedaunan kering. Banyak ikan dirawa yang mati akibat cuaca yang ekstrim.

Tapi siang ini agaknya berbeda.

Setelah aku selesai membantu dua orang remaja masjid, tiba-tiba nyala matahari meredup. Kian lama, kian redup. Aku menatap langit keluar jendela, tiba-tiba gulungan-gulungan awan hitam datang berduyun-duyun. Awan hitam itu terhampar mulai dari selatan hingga utara. Tak satupun sepetak langit yang dilewatinya. Semuanya hitam kelap. 

Subhanallah.

Aku menyaksikan perubahan cuaca yang begitu signifikan. Dari panas yang dahsyat menjadi awan hitam yang hitam pekat. Lalu terbitlah dalam hatiku sedikit rasa takut. Aku berasumsi akan terjadi bencana. Ada badai Pasifik, mungkin, yang akan melalui pulau Lipang ini. Atau jangan-jangan, di pulau Lipang ini badai akan berpusat. Aku segera meninggalkan serambi masjid. Dua orang remaja masjid yang bersamaku tadi, masih tengah asyik dengan kesibukannya didalam masjid. Aku terus melangkah meninggalkan masjid. Aku menatap atap langit, gulungan-gulungan awan hitam pekat itu berjalan dengan sangat cepat. Penduduk pulau, pada sibuk mengamankan jemuran pakaian dan kayu bakar yang terhampar di samping kanan-kiri serta depan rumah mereka.

Tak lama kemudian. Angin berhembus perlahan-lahan. Lambat, namun menggerakkan dedaunan. Orang-orang disekitar rumah tinggalku pada berteriak, “angin selatan!”. Aku tak mengerti apa maksud mereka. Angin tiba-tiba berubah menjadi kencang. Aku bersiap berdiri diruang tamu rumah tinggalku. Jendela-jendela rumah aku tutup rapat-rapat. Debu berterbangan dimana-mana. Aku melihat, pohon kelapa di seberang rumah tinggalku bergoyang dengan kencang. Lalu titik-titik air mulai turun. Sedikit demi sedikit. Dan tiba-tiba, titik-titik air itu berubah menjadi guyuran hujan yang dahsyat berhembus dari arah selatan menuju arah utara. Deras sekali. Jilatan-jilatan uap fatamorgana yang menyala tadi hilang seketika seiring bertiupnya angin selatan di saat musim angin barat. []

 

Lipang, Jum’at 5 Agustus 2011 

14:50:54 wita


Cerita Lainnya

Lihat Semua