Merah putih di Tanah Papua

Mochammad Subkhi Hestiawan 1 Agustus 2011
Cahaya jingga diufuk barat menemani langkah-langkah pasti menuju gerbang pengabdian, 6 jam bergoncang sudah tubuhku ini melalui jalanan kerikil naik dan turun, melewati perbukitan fak-fak yang indah. Rasa penasaran masih menyelimuti diriku selepas mendarat di bandara fak-fak kemarin siang. Senyuman dan sapaan hangat penuh optimisme menyambut kami hilang sudah penat dan gelisah dari hati ini. Kami benar-benar disuguhkan pemandangan yang tak biasa dikota ini sebuah imagi yang selama ini hanya bisa terbayang dan terlintas dilayar kaca. Pikiranku terlempar diujung benua yang lain, dalam hatiaku membayangkan ini seperti kota-kota dilaut karibia. “ tebing batu bersanding dengan laut lepas dan sebaran pulau-pulau yang cantik” Satu persatu kami pergi dari kota fak-fak menuju tanah pengabdian kami di 8 distrik, urat, kokas, karas, arguni, kampung baru, patipi, pikpik dan bomberay. 8 orang terpilih itu adalah yang terbaik diantara yang baik. Mereka menempuh level resiko A untuk mengabdi pada ibu pertiwi. Diantara mereka ada yang sebelumnya menjadi actuary analyze untuk perusahaan asuransi terbesar di Indonesia tentunya dengan segala fasilitas dan insentif yang cukup besar. Aditi lembut suaranya tetapi punya keberanian yang luar biasa. Ada pula yang mantan wartawan media terkemuka yang juga pernah mendaki gunung elbrus di rusia, yang ini juga wanita tampaknya kartini telah berhasil menebar benih-benih perjuangannya. Kemudian seorang bangsawan jogja yang cerdas nan anggun, khas dengan segala analisis tentang perilaku manusia. RR Cahya Wulandari, halus lakunya namun punya jiwa-jiwa pejuang ala Jogja. Dari berbagai obrolan dan desas desus angin konon katanya tempat dimana dia akan ditempatkan urat adalah yang terberat di seluruh kabupaten fak-fak baik secara psikososial dan geografis. Ika, kecil orangnya besar Hatinya. Dia adalah orang yang berani meninggalkan semua kemapanan yang dia dapatkan secara susah payah. dia adalah cadik-cadik penyeimbang di perahu kami. Seorang dengan perhatian yang seksama kepada detail. lalu ada Eky seperti aliran sungai bomberay yang membelah kampungku, tenang dan menghanyutkan seperti punya gejolak-gejolak arus dalam yang akan menenggelamkan orang-orang untuk membumi dan bekerjasama. tak lupa ada Angga seorang pria yang meninggalkan sejenak dunia kampus ternama sebagai asisten dosen berjuang dibelantara papua untuk anak-anak tak bernama. Arif adalah tetua kami di team Indonesia mengajar fak-fak, sang pemain djimbe, sikap blak-blakan ala pantura ngapaknya selalu terbawa diamnapun dia berada. Dia adalah jagoan laga tulen dan komunikator yang ulung, sanggup menyatukan, menghibur sekaligus mengarahkan kami semua. Ada satu lagi orang yang seharusnya ikut mengabdi bersama kami Hendi namanya. Dia adalah jembatan kami , di sering memecahkan kebuntuan diantara kami. Sayangnya, dia tidak jadi bersama kami setelah karena alasan fisik yang kurang mendukung. Sebuah kelegaan bagiku dan team bahwa dia akan ikut mengabdi di Kesempatan berikutnya di pojok Indonesia lainnya. Lalu siapa aku ini, rakyat jelata yang beruntung bisa mengabdi bersama mereka orang-orang hebat nan luar biasa ditanah yang indah tak terperi fak-fak papua barat. Subkhi itulah pangilanku di antara mereka, seorang sarjana pertanian yang berada disisi yang berbeda, percaya pada janji-janji dan theori tentang kesejahteraan rakyat dan kedaulatan pangan. Kami masih jetlag setelah melewati 2 garis bujur yang membelah indonesia, waktu bertambah 2 jam seketika disaat yang sama. Kami akhirnya bertemu dengan tangan kedua penguasa fak-fak pak wakil bupati, dari jakarta kami telah mempersiapkan penyambutan dan penampilan untuk orang-orang di fak-fak. Kami tersadar setelah sampai di tangga curam kantor bupati bahwa djimbe dan spanduk tertinggal dihotel. Aku dan arif akhirnya kembali ke hotel untuk mengambilnya. Mobil dinas 4x4 itu dipacu kencang diantara jalan sempit, berkelok berbatas jurang dan laut bergegas meluncur ke hotel dan kembali seketika. Dengan sedikit berlari kami berdua menaiki tangga-tangga curam di depan kantor megah itu. Di dalam ketegangan itu cari sudah dengan senyuman hangat khas papua barat, pak wakil bupati itu menyapa kami dengan muka yang bersahaja. Djimbe di tabuh dengan ketukan cepat mengiringi gerak dan syair kami. Spanduk terbentang diantara dada kami, tertulis tegas warna warni “torang datang bawa cinta ke papua” binar mata mereka para pejabat fak-fak semakin menjadi. Aku berdiri diujung barisan membentangkan merah putih di dadaku, kutarik erat agar terbentang begitu rupa. Sesaat itu pula aku merinding, rasanya begitu berbeda ketika membentangkan sang saka disini ditanah papua. Aku merasakan sensasi luar biasa rasanya seperti para pembawa panji di perang kemerdekaan dulu, atau seperti orator-orator yang menjatuhkan rezim-rezim dulu. Aku teringat jend. Soedirman, soekarno, Hatta, gie dan mahasiswa yang mati saat reformasi. Djimbe bertalu membelah keheningan syair lagu nan rancak dan penuh semangat dengan bentanga erat bendera sebuah paduan harmonis dan berbahaya. Keesokan hari kami satu per satu berangkat ke medan tugas, arif dan wulan adalah yang pertama ke urat dan tarak, berangkat kemudian disusul aditi, mj dan eky, lalu ika si kecil ini ke siboru. Aku dan angga adalah yang berangkat terakhir, kami sama-sama berbagi bis menuju ke tempat tujuan, pik-pik dan bomberay. Kami diantar oleh pak kambu dan pak alex pengawas daerah kami. Hampir tak ada jalan yang rata dalam perjalanan kami berdua, naik turun, bukit, membelah lembah dan mendaki puncak, hutan-hutan ditebing-tebing memberikan suasana yang begitu menentramkan. Bus berhenti dipuncak salah satu bukit dimana angga akhirnya turun dan berpamitan. Pik-pik, suatu desa kecil ditengah hutan disanalah temanku ini nanti akan bertugas. Dengan mantab aku bersalaman dan memeluk erat sahabatku ini, aku mengatakan padanya kamu kan baik-baik saja dan menjadi luar biasa disini. Perjananku masih panjang ternyata menyusuri kembali jalan-jalan curam dengan kerikil yang terhampar, beberapa kali bis ini oleng dan terperosok. Seperti kutu kecil merangkak di punggung makhluk raksasa, bus biru tua itu terseok-seok diantara jurangnya. Sejenak tiba-tiba hutan menghilang berganti dengan semak dan belukar saja, bukit-bukit itu sudah tertinggal dibelakang roda. Melirik dari jendela kaca terbentang luas padang savana, dengan titik kecil rumah-rumah yang jarang dan berjauhan. “Pak kambu dengan tenang berkata selamat datang di bomberay”. Mentari senja dengan cahaya jingga menyambut kami diujung jalan medan perjuangan SD N Bomberay 3. ditengah padang ilalang Bomberay, 18 Juni 2011

Cerita Lainnya

Lihat Semua