Hari pertama biasa saja, Tapi...

Milastri Muzakkar 22 Juli 2011
Hari ini, Senin 11 Juli,  adalah hari pertama sekolah. Tak ubahnya siswa baru yang masuk sekolah, hari ini adalah hari yang kunanti-nanti setelah hampir sebulan menginjakkan kaki di Aceh. Begitu antusiasnya, sehari sebelumnya saya sudah menyiapkan program, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sarana-prasarana, metode pembelajaran, serta membayangkan bagaimana suasana kelas nanti. Saat jam dinding menunjukkan pukul 07.30, dengan mengendarai kereta (motor dalam bahasa umum)  plat merah milik bapak, saya sudah siap meluncur ke sekolah. Kereta ini memang pembagian pemerintah untuk setiap Geuchik (kepala desa) di sini. Sangat hati-hati saya mengendarainya. Selain karena memang saya belum terlalu ahli mengendari kereta,  jalannya memang bebatuan sehingga ada rasa ngeri melewatinya. Setiba di sekolah, saya menuju ruang guru dan bertegur sapa dengan semua yang ada di ruangan. Karena Tak sabar ingin bertegur sapa dengan sahabat-sahabat kecilku, saya pun lansung menuju kelas lima A. Di kejauhan, di depan pintu kelas lima A, terlihat beberapa wajah yang mengintip sambil tersenyum. Saya dapat melihat dan merasakan senyuman itu. 'Semoga itu sapaan hangat buatku', bisikku dalam hati. "Assalamu alaikum...!" Sapaku. "Walaikum salam....!" Jawab siswa serempak. Suasana hari pertama sekolah biasa saja. Dimulai dengan perkenalan dari saya, lalu dilanjutkan dengan perkenalan siswa satu-persatu dengan menggunakan bahasa Inggris. Saya memilih bahasa Inggris bukan untuk gaya-gayan tentunya. Tapi karena kebetulan jam pelajaran pertama hari ini adalah bahasa Inggris. Selain itu, menurut beberapa guru, bahasa Ingris siswa di sekolah ini masih sangat minim. Nah, melalui kesempatan ini, saya sekaligus bisa menyaksikan sendiri keadaan yang sebenarnya. Supaya lebih atraktif, sekaligus melatih kinestetik anak, saya menggunakan penghapus pensil dengan gambar rumah-rumahan sebagai alat perkenalan. Penghapus itu saya lempar ke salah satu siswa yang terdekat dariku. Siswa yang menangkapnya berdiri, lalu memperkenalkan diri. Setelah itu, siswa tadi kemudian melempar ke teman lainnya. Begitu seterusnya. Setelah semua mendapat giliran, saya mengajak siswa untuk membuat dan menyepakati kontrak belajar selama proses belajar mengajar berlangsung. Dua di antara peraturan itu adalah: Pertama, siswa dilarang saling menunjuk. Jika ada yang ingin bertanya, menangapi, dll, harus mengangkat tangan lalu berbicara. Ini penting mengingat kebiasaan anak kecil pada umumnya adalah saling menunjuk. Ketika ditanya, mareka akan menunjuk teman yang lain. Jarang menunjuk diri sendiri. Karenanya penting untuk mulai membiasakan membangkitkan keberanian anak sejak dini. Kedua, siswa yang ingin  ke toilet harus menggunakan kartu toilet yang telah disediakan. Alhamdulillah, sampai jam pelajaran berakhir, kedua peraturan itu mulai terlaksana, meski belum sempurna. Karena ini hari pertama, proses belajar-mengajar belum efektif. Seperti di sekolah-sekolah pada umumnya, moment ini biasanya digunakan untuk menyusun jadwal pelajaran, pembagian jadwal piket, dan pemilihan koordinator (ketua kelas). Hal ini pula yang saya lakukan. Di sela-sela semua kegiatan di atas, saya mengajarkan beberapa sinyal (tepukan, nyanyian, sapaan) untuk memfokuskan perhatian siswa. Beberapa tepukan yang diselipkan di sela-sela pelajaran itu selain membantu menfokuskan kembali perhatian siswa, juga dapat membantu mengembalikan semangat siswa yang  sudah mulai ngantuk, lemas, atau bahkan apatis. Tapi, Ada yang menarik dari semua proses di atas yaitu, saat pemilihan koordinator kelas. Prosesnya cukup alot. "Menurut kalian bagaimana cara yang baik untuk memilih koordinator kelas?," tanyaku. Salah satu siswa yang postur tubuhnya paling kecil mengangkat tangan. "Saya punya ide bu. Ditanya saja siapa yang bersedia, lalu dipilih seperti pemilu saja bu!". Usulnya. "Hmm...menarik juga idenya," gumamku dalam hati. "Siapa yang bersedia menjadi koordinator kelas?", tanyaku. Butuh waktu beberapa menit untuk mendapatkan satu orang yang mengangkat tangan. Seorang siswi perempuan yang bernama Irma. Untuk meyakinkan, saya bertanya lagi, 'Irma bersedia jadi koordinator?’. Dengan malu-malu ia mengangguk. Wow.., ini yang tidak biasa untuk ukuran Aceh, khususnya. Kita tahu, Aceh sangat kental dengan budaya Islamnya. Adalah tidak wajar dan merupakan cerita langka-untuk tidak mengatakan  tidak ada--seorang perempuan menjadi pemimpin kelas. Saat Irma maju ke depan,  sontak seluruh siswa laki-laki menolak. "Saya tidak setuju bu. Tidak ada perempuan yang jadi ketua", Celetuk salah seorang anak. "Dites dulu bu, apa Irma bisa. Suaranya kan kecil bu. Nanti kalau upacara bagaimana?" celetuk siswa lainnya. "Begini saja bu, ditanya saja satu-satu siapa yang setuju siapa yang tidak". Usul anak lainnya. "Baiklah",  jawabku. Setelah ditanya, sebagian besar siswa laki-laki tetap tidak setuju dengan Irma. Sementara semua perempuan setuju. Oh iya, sebelum pemilihan ini berlangsung, dua orang siswa perempuan sempat mendekatiku. "Bu kalau pemilihan ketua kelas, perempuan  aja yang jadi ketuanya", pinta mereka. Untuk mendamaikan perbedaan pendapat ini, saya bertanya lagi siapa dari pihak laki-laki yang bersedia menjadi koordinator. Dan, akhirnya satu orang, Salman, bersedia. Keduanya pun—Irma dan Salman—berdiri di depan. Supaya seimbang, Salman pun dites seperti yang dilakukan Irma tadi. Setelah itu, setiap siswa pun memilih di antara keduanya. Dari lima belas laki-laki, tiga orang memilih Irma, selebihnya memilih Salman. Sementara, tujuh belas siswa perempuan setuju dengan Irma. Ada beberapa siswa laki-laki yang terlihat sangat tidak setuju dengan Irma. Karena penasaran, saya pun bertanya. "kenapa tidak setuju? Bukannya tadi kita sudah sepakat untuk memilih seperti pemilu? Artinya apapun hasilnya harus dihargai," Jelasku. "Saya tidak setuju bu. Tidak ada perempuan yang jadi ketua. Di sini tidak sama dengan di Jakarta. Pokoknya saya tidak setuju. Titik." Jawab seorang anak dengan intonasi tinggi. "Kami malu bu sama kelas lain. Kelas lain itu tidak ada yang perempuan ketuanya." Tambah anak lainnya. Menyaksikan suasana di atas, di dalam hati sempat tertawa kecil. Sejenak fikiranku melayang pada proses pemilihan ketua BEM di kampus dulu. Suasana hiruk-pikuk, segerombolan mahasiswa di hampir setiap sudut kampus, petugas pemilu siap-siaga menjaga kotak suara, dan masih banyak lagi.  Tak jauh berbeda dengan suasana pemilihan anggota DPR.  Ah, mengingatkanku pada masa-masa itu lagi. Barangkali bedanya di kelas ini tak ada kotak suara, dan tidak ada politik tentunya. Tapi suasana ‘panasnya’ tak jauh berbeda. Perbedaan pendapat dan ketegangan-ketegangan kecil sempat mewarnai proses pemilihan ini. Setelah tersadar, saya pun mulai menyoret-nyoret papan tulis untuk merekapitulasi perhitungan suara. Setelah proses perhitungan suara terakhir, dari tiga puluh dua orang siswa, delapan belas memilih Irma, sebelas lainnya memilih Salman. Karena ini lahir dari apirasi semuanya, Irma akhirnya ditentukan sebagai koordiantor, dan Salman menjadi wakilnya. Untuk menghibur siswa laki-laki yang masih tidak setuju, saya membesarkan hati mereka dengan menegaskan bahwa kita akan melihat perkembangan selama sebulan ke depan. Jika Irma kurang mampu memegang amanah,  Salman akan menggantikannya. Seluruh siswa pun mengangguk setuju. Yah, begitulah. Hari pertama berjalan biasa saja. Tapi,....entahlah!

Cerita Lainnya

Lihat Semua