Sekolah di Rumahku

Milastri Muzakkar 30 Juli 2011
Belum juga aktifitas belajar-mengajar di sekolah dimulai, tapi sekolah di rumahku sudah dimulai. Yah, sudah seminggu ini, anak-anak tetangga bersekolah di rumahku. Jika di sekolah biasanya siswa belajar banyak mata pelajaran, ada kurikulum, Roster pelajaran, dll, di sini tidak demikian. Di sini, anak-anak belajar menggambar, mewarnai, menonton, dan disertai bonus berupa beberapa jenis tepukan dan lagu-lagu yang biasa dipakai ice breaking. Sebenarnya, saya belum pernah mengajak langsung anak-anak itu untuk belajar di rumah. Ini berawal dari dua orang anak yang seringkali mengintip di pintu depan rumah. Kejadian ini sudah berlangsung sejak saya baru datang ke rumah ini. "Ibu guru Jakarta, ibu guru jakarta", seru mereka. Keesokan harinya, tiga orang anak kembali mengintip. Kali ini saya sengaja duduk di depan rumah dan membuka pintu sedikit. Saya tak mau kalah dalam hal intip-mengintip, meski saya tak punya keahlian dalah hal ini. Ketika mereka baru saja mau mengintip, saya lebih dulu mengintip ke depan, dan mata kami pun bertemu. Dengan senyum terkembang saya pun menyapa mereka. Awalnya, mereka masih terlihat malu. Tapi ternyata 'makhluk' yang namanya malu itu cepat menghilang. Sebagai tuan rumah yang baik, saya mengajak mereka masuk dan mulai berkenalan. Kemudian saya memberikan buku gambar dan pensil warna. Dengan tersipu malu, ketiga anak itu pun mulai melakukan eskpresi bebasnya. Mengenai ekspresi bebas dalam menggambar ini, saya jadi teringat dengan istilah yang familiar saat pelatihan Indonesia Mengajar dulu. Kira-kira point kalimatnya: ‘menggambar itu adalah mengekspresikan segala sesuatu dengan bebas. Dan saking bebasnya, maka itu melampaui dari yang biasanya’. Nah, hal itu pula yang dilakukan anak-anak ini. Saking bebasnya, ia mewarnai semua gambar orang dengan pensil warna hitam sampai buku gambar itu tak lagi menampilkan warna putihnya. Mungkin itulah yang namanya kebebasan berekspresi. Hmm..., baiklah! Kira-kira sepuluh menit kemudian, dua orang anak yang lain datang. Mereka pun segera mengambil posisi duduk manis agar diberikan pensil warna serta buku gambarnya. Bagai olahraga estafet, satu-persatu anak lainnya berdatangan. Sampai akhirnya menjadi sepuluh orang anak. Dengan senang hati saya menyambut dan menemani mereka berkreasi. Raut wajah mereka tak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Bagai orang yang baru saja menemukan ‘mainan’ baru, mereka sangat menikmati buku dan pensil warna itu. Kejadian-kejadin kecil pun tak luput mewarnai proses menggambar itu. Mulai dari berebut pensil sampai patah, tarik-menarik buku sampai koyak, hingga saling memukul. Hasilnya, satu orang anak menangis dan satu orang terluka di bagian tangan. Saya memilih lebih banyak mengamati mereka daripada menegur apalagi melarang. Cara ini saya dapatkan ketika berkunjung ke sekolah Batutis (Baca, tulis, hitung) di Bekasi, Jawa Barat. Ketika sang anak sedang asyik berkreasi, meskipun sampai mengorbankan sarana-prasarana belajar, sebaiknya kita tidak terlalu banyak menegur apalagi melarang. Tapi beritahu mereka bagaimana caranya sehingga mereka sendiri yang menyadari kekeliruannya dan mencari solusinya. Setelah menggambar, saya mengajak mereka berbincang tentang keluarga, hobi, sampai lagu kesukaan mereka. Oh ya, anak-anak ini terbiasa menggunakan bahsa Aceh, tapi saya bilang ke mereka ‘kalau ngomong sama ibu biasakan pakai bahasa Indonesia’. Mereka pun mengangguk tanda mengiyakan. Setelah hari mulai sore, tak terlihat tanda-tanda berakhirnya proses warna-mewarnai ini. Saya pun mulai memberi stimulus agar mereka mengakhiri sekolah ini. Saya pun mulai mengeluarkan bermacam alasan, mulai dari belum sholat, mau mandi, belum makan, sampai ngantuk pun tak mampu memengaruhinya. "Ibu sholat aja, kami di sini gambar-gambar. Nanti setelah solat Ibu sini lagi ya!" kata seorang anak. Detektif Kecil Tadinya saya berfikir sekolah ini hanya akan berlangsung beberapa hari saja-paling tidak selama liburan sekolah. Ternyata saya salah besar. Semakin hari, semakin ganas. Hari-hariku semakin banyak kuhabiskan bersama mereka. Semasa liburan, saat jam baru saja menunjukkan pukul tujuh pagi, anak-anak itu sudah bertengger di depan rumah. "Ibu Jakarta, belajar bu, gambar bu", Seru mereka. "Hana belajar, singeuh yak (nggak belajar, besok yah). Nanti ya gambarnya, ibu mau mencuci dulu." Jawabku. "Hana (tidak), menggambar aja", balasnya. Saya tetap mengucek pakaian yang sudah terendam lima belas menit lalu. Tapi, bukannya menyerah, mereka justru semakin mendekat, duduk sambil menunggu. Tak berhenti sampai di situ. Bahkan saat saya menuju kakus yang terletak beberapa meter di belakang rumah pun tak luput dari incaran mereka. Mereka tetap mengikuti sampai saya betul-betul hilang dari balik kakus. Pokoknya, Sedikit saja saya menampakkan diri di depan pintu rumah, mereka akan segera berlari menghampiriku. Pernah, beberapa kali saya mencoba bersembunyi di dalam kamar. Maksud hati ingin istirahat sejenak sambil menyelesaikan tugas lain. Tapi, saya selalu tidak berhasil. Mereka akan mencoba masuk ke pintu belakang rumah jika pintu depan dikunci. Setelah itu, mereka akan mengetok pintu sekeras-kerasnya sampai saya membukanya. Khawatir pintunya rusak, akhirnya saya menyerah dan menemui mereka dengan senyuman. "Hmm...'tertangkap lagi deh", gumamku dalam hati. Begitulah hari-hariku bersama anak-anak itu. Dalam sehari, sebisa mungkin saya sempatkan untuk belajar bersama mereka. Meski pun saya tahu saat pelajaran suidah dimulai, mereka betul-betul lupa waktu. Tak ada pagi, siang, sore atau malam dalam kamus mereka. Barangkali hanya kata capek yang dapat menghentikan mereka sejenak. Bagai mengajar di dua sekolah, pagi saya di sekolah resmi, siang-sore (kadang-kadang malam) di rumah. *******

Cerita Lainnya

Lihat Semua