Kisah Tante dan Keponakan

Milastri Muzakkar 29 Juni 2011
Malam semakin pekat. Listrik padam disertai hujan, dan dalam keadaan flu berat. Tapi bodoh amat dengan semua itu. Perasaaanku tetap menuntun untuk segera berkisah. “Kalau Fiky rindu tante Mila, Fiky jadinya nangis. Fiky sayang tante Mila. Tante Mila sehat-sehat ya disana. Yaudah dulu yah, nanti kalau tante Mila rindu, telepon ke nomor ini aja atau nanti Fiky yang telepon tante Mila. Oya, tanggal dua Juli nanti Fiky ulang tahun loh, tante Mila datang yah!" Sontak hati ini sangat tersentuh mendengar kalimat di atas. Kalimat yang keluar dari mulut mungil keponakanku. Awalnya, saya menerima sms pemberitahuan, “tante Mila, ini nomor Fiky. Disimpan yah." Cukup kaget juga si bocah yang baru berumur enam tahun itu sudah memiliki handphone sendiri. Karena penasaran, saya pun menelepon ke nomor itu. Di seberang sana terdengar suara mungil yang sangat saya kenal. "ini betul si bocah", gumamku. Kami pun saling bertanya kabar dan bercerita tentang kegiatan masing-masing, khususnya hari-hari ini. Saya juga sempat menyanyikan lagu kesayangannya. Tadinya saya berfikir saat Fiky menelepone, Mamanya  ada di situ dan memberi instruksi apa saja yang harus dikatakan. Tapi setelah saya konfirmasi ke Mamanya, ternyata saat itu Fiky menelepon sendiri. Sebenarnya saya tidak termasuk golongan orang-orang cengeng, tapi kali ini saya tak berdaya. Air mataku tak tertahan lagi saat mamanya bercerita bahwa mata Fiky berkaca-kaca waktu mengucapkan kalimat di atas. Sungguh, saya sangat tersentuh bahkan, sedih. Ingin rasanya terbang ke sana, memeluk, dan mencium lagi pipinya. Sekilas tentang Si-Bocah Nama lengkapnya Muhammad Fikriza Pratama Nuryanto. Tapi saya biasa memanggilnya 'Bocah'.  Ia baru akan masuk SD bulan Juli nanti. Tapi kadang-kadang  ia seperti  orang dewasa. Paling tidak tergambar dari isi pembicaraan yang didukung oleh cara penyampaiannya. Ia dengan mudah menangkap, kemudian menjawab setiap pertanyaanku. Malam open house Indonesia Mengajar adalah kali terakhir saya bertemu Fiky. Saat itu, ia datang bersama Mama, Om (keduanya saudara kandungku) dan adiknya, Fila. Meski waktunya tak banyak, saya sangat senang bisa melihat mereka. Paling tidak, saya kembali merasakan suasana kekeluargaan seperti di rumah. Kehadiran mereka menutupi ketidakhadiran orang tuaku yang jauh di mata tapi dekat di hati tentunya. Fiky dan Fila mungkin dua bocah yang paling hiperaktif malam itu. Stand Aceh pun jadi tempat ekperimen bagi mereka. Mereka bermain, berlari dan berteriak semaunya di tengah ramainya pengunjung. Mungkin karena itu juga sehingga  kameramen tertarik mengabadikan gambarnya ke dalam kumpulan photo open house, di facebook Indonesia Mengajar. Saya merasa bersalah karena  kondisi malam itu membuatku harus berbagi waktu antara teman-teman dekat, keluarga dan pengunjung stand lainnya. Saya ingat betul, kedua bocah itu seringkali menghampiriku, menarik-narik bajuku, dan berusaha mengajakku berbicang atau bermain.Tapi saya hanya sesekali menengoknya. Mungkin mereka merasa tidak diperhatikan. Semasa kuliah dulu, kebiasaan yang sama (di atas) terulang. Kebetulan, saya lebih banyak beraktifitas di luar rumah. Biasanya saya pulang ke rumah pada malam hari. Seringkali, baru saja saya memasuki pintu rumah, mereka berdua sudah menyambut di depan pintu, bertanya ada makanan tidak untuknya, kemudian mengikutiku sampai ke kamar. Saat saya mengambil handuk, Fiky akan berceloteh "tuh kan tante Mila udah dibilangin nggak boleh mandi malam". "nggak kok, tante Mila cuma cuci muka aja", jawabku. Setelah ia melihat saya keluar dari kamar mandi, segera  ia membawa kotak mainannya ke kamarku. "setelah tante Mila ganti baju, kita main yah. Fiky tadi beli mobil baru loh, nih hot whells (mobil-mobilan) Fiky udah banyak. Tante Mila suka yang warna apa?." Kata-kata itu paling sering diucapkannya. Sesekali saya mengamini permintaannya, tapi tak jarang juga saya akan mengatakan "yah..tante Mila nggak bisa main. Mau belajar, ada tugas dari ibu guru di Kampus." Dengan muka cemberut ia mengatakan 'yah..tante Mila mah nggak mau main sama Fiky'. Setelah itu ia keluar kamar dengan memboyong mainannya. Ah, menambah rasa bersalahku saja jika mengingat itu. Yah, begitulah kehidupan. Biasanya, kita baru merasa kehilangan seseorang saat jauh darinya. Saya pun baru memaknai dan menyadari ternyata keponakanku merasa kehilangan juga dengan kepergianku. Ah, semakin menambah rasa bersalahku. Tapi sebagaimana kata-kata bijak bahwa selalu ada hikmah di balik semua hal, berlaku di sini. Ini lebih memotivasiku untuk melakukan yang terbaik di sini. Saya sudah memilih 'mengorbankan' banyak hal untuk sampai di tahap ini, termasuk membuat keponakanku menangis. Sehingga tak ada alasan untuk tidak menggunakan waktu setahun di Aceh sebagai moment untuk melakukan yang terbaik bagi kemanusiaan pada umumnya, dan bagiku khususnya. Semoga. Rumoh Rayeuk, Senin 27 Juni, Pukul. 22.00 WIB (Selamat ulang tahun untuk bocah sayang. Semoga selalu dalam lindungan-Nya, amin...)

Cerita Lainnya

Lihat Semua