Prolog: Seminggu di Aceh

Milastri Muzakkar 25 Juni 2011
Tak terasa seminggu sudah tujuh puluh dua pengajar muda tersebar ke sembilan kabupaten, di seluruh Indonesia. Seminggu pula tak ada suasana Wisma Hubla-- forum yang penuh ide-ide cerdas dan kreatif, beraneka ragam banyolan sampai gombal-gombalan tingkat tinggi, pelesir ke Boker, Elok Plaza atau Mas Miskun, kolam renang sebagai hadiah khusus bagi PM yang ultah, area penjemuran baju yang sempat menyimpan cerita bagi salah satu PM, dan masih banyak lagi.  Sungguh, saya merindukan suasana itu lagi. Apa kabar ya teman-teman di sana? Semoga tetap baik, semangat, dan menjaga konsistensi sebagai pengajar muda 'penerang dunia'. Seminggu berada di kampung orang, tentu menyisakan cerita tersendiri. Ada yang baik-baik saja dan ada yang punya tantangan sendiri. Saya yakin teman-teman semua punya segudang cerita yang menarik. Begitu pun dengan saya. Melalui tulisan ini, saya ingin bercerita pengalaman selama seminggu di kota Serambi Mekah ini. 'Puahaba?' (Apa kabar)  'Haba got...' (kabar baik)! Kata inilah yang pertama kali saya dengar dari orang Aceh. Jumat, 18 Juni, sekitar jam 09.00 pagi, saya tiba di SDN 04 Langkahan bersama Pak Isa, kepala UPTD Langkahan. Dengan senyum terkembang, saya berdiri di depan gerbang sekolah. Di dalam hati berkata, "Hmm..., di sinilah saya akan berproses selama setahun." Sambil melirik segerombolan siswa dengan seragam merah-putihnya, dalam hati berkata lagi “Dan dengan merekalah saya akan berbagi ketulusan dan cinta." Hati ini semakin berdebar ketika memasuki ruang guru. Para guru yang sedang sibuk mempersiapkan raport siswa menyambut kami dengan ramah. Beberapa saat kemudian, Pak Geuchik (kepala desa)—yang saat ini menjadi keluarga baruku—bergabung di ruang guru. Kami pun bertegur sapa. Setelah semua berkumpul, seremonial penyerahan pengajar muda dari UPTD ke sekolah dan keluarga baru pun dimulai. Acara dimulai dengan sambutan oleh kepala UPTD. Di dalam sambutannya, kepala UPTD yang juga mewakili sekolah tampaknya menggantungkan harapan besar pada pengajar muda. "Dengan adanya orang baru, tentu kami berharap ada perubahan dan warna baru di sekolah ini." Begitu kira-kira inti harapan itu. Ini tentu lebih memotivasi saya untuk memberikan yang terbaik. Setelah itu, saya diberi kesempatan memperkenalkan diri sekaligus menjelaskan program Indonesia Mengajar. Tak lama kemudian, keluarlah hidangan khas Aceh. Salah satunya adalah kopi Aceh. Sebenarnya kopi Aceh bukan sesuatu yang baru. Di Jakarta pun tak sulit ditemukan. Hanya saja, saya salah satu orang yang tidak suka kopi. Tapi kali ini, saya tergerak untuk mencicipi kopi yang sudah di hadapanku itu. Dan ternyata tidak merugikan. Rasanya enak sekali. Mungkin kalau saya tahu rasanya seperti ini, saya sudah mencobanya sejak dulu. Pak Zul, kepala sekolah SDN 4 Langkahan, kemudian mengumpulkan beberapa siswa yang tersebar di lapangan untuk mengumumkan kedatangan saya. Saya pun ikut bergabung dikerumunan itu. Sesekali terdengar suara-suara sumbang dari mereka "Eh, guru baru, guru baru." Tak henti-hentinya saya tersenyum, dan sesekali tertawa, melihat raut wajah segerombolan siswa itu. Ada yang tersenyum, tertawa, heran, sampai tak bereaksi sama sekali. Suasana pun saya cairkan dengan mendendangkan lagu 'selamat datang kawan' plus tepuk semangat. Mereka pun sangat antusias mengikutinya. Perdebaran jantung ini mencapai puncaknya saat saya diajak menuju rumah keluarga baruku. Rumah ini  terletak di Gampong Rumoh Rayeuk, Kecamatan Langkahan. Hanya terdapat sebelas rumah di sini. Rumah lainnya akan ditemukan sekitar  10 meter kemudian. Setiba di rumah, barang-barangku yang bejibun diturunkan dari mobil. Saya pun disambut ibu baruku (yang lebih akrab saya panggil bunda). Beliau masih sangat muda, tapi pembawaannya sangat dewasa. Bunda Eka jago masak. Hari pertama tiba di rumah, saya langsung mengikutinya ke dapur dan mengintip proses pembuatan makanan khas Aceh. Hari itu, Bunda membuat tongkol petis dan sayur kepli. Rasanya? Enak...! Hari kedua saya ke sekolah bertepatan dengan penerimaan raport siswa. Tak kurang dari enam puluh orang tua siswa yang hadir di lapangan untuk menyambut hasil belajar anaknya selama setahun. Lagi-lagi saya diminta memperkenalkan diri di depan orang tua siswa dan dewan guru. 'Puahaba?', sapaku. Kata itu sengaja saya ucapkan di awal untuk mengabrabkan diri dengan hadirin. Tapi mungkin karena terdengar lucu sehingga seluruh hadirin tertawa. Saya pun membalasnya dengan senyuman. Setelah pembagian raport, acara dilanjutkan dengan evaluasi sekolah. Salah satu moment penting di kesempatan ini adalah pihak sekolah memutuskan menjadikan saya wali kelas lima. Selain itu, mereka juga berharap saya dapat membantu mengajar bahasa Inggris di kelas rendah. Dan, mengajar komputer bagi beberapa guru yang belum lancar. Hari-hari libur sekolah saya gunakan untuk mengakrabkan diri dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Di rumah, biasa saya gunakan untuk berbicang banyak dengan bunda dan bapak. Sementara di sore hari, sesekali saya ikut bergabung di bengkel sebelah rumah yang, kebetulan sering ramai didatangi warga. Sore itu, saya diajak bunda berjalan-jalan ke desa sebelah. Desa Seurkeh namanya. Desa ini dikenal sebagai daerah transmigran Jawa karena memang penduduknya sebagian besar dihuni orang Jawa. Warga Rumoh Rayeuk  jika ingin mencicipi bakso dan lontong, harus ke desa Serkeuh. Karena kedua makanan itu hanya tersedia di sana. Seperti sore itu, saya tak mau melewatkan untuk mencoba bagaimana dahsyatnya rasa bakso yang dipuji banyak orang itu. Ternyata, mereka tidak salah. Rasanya memang menggoyang lidah dan mengocok perut. Saya pun berjanji akan kembali lagi kesini demi bakso yang dahsyat ini. Pernah juga, satu malam, saat gerimis baru saja berhenti, kami mengadakan pesta bakar-bakar jagung di pekarangan rumah tetangga. Sebenarnya jagungnya tak seberapa, apalagi saat itu sempat mati lampu, sementara petir sesekali mengelegar, tapi semua menjadi menyenangkan karena ada suasana kebersamaan dan keceriaan di sana. Akhir Minggu ini ditutup dengan silaturahmi ke Kantor Kecamatan. Saat itu, saya bersama Ludi (salah satu PM Aceh). Kami berkesempatan untuk ikut dalam rapat pembahasan dan pengesahan Qanun (aturan yang berlandaskan syariat Islam) Kecamatan. Di ruangan itu, hanya kami berdua perempuan, diantara para undangan perangkat desa. Bagi saya, moment ini cukup menarik. Selama ini saya hanya mendengar perda- perda syariat, tapi kali ini menyaksikan langsung pembahasan point per point-nya, dan mengalami langsung suasana rapatnya. Di sela-sela seminggu itu, saya gunakan untuk belajar bahasa Aceh. Di  rumah, di sekolah, dan di setiap tempat saya memperhatikan orang-orang yang berbicara dalam bahasa Aceh. Yah, mendengar dan melihat langsung adalah cara belajar yang sangat efektif daripada sekedar menbaca kamus, bukan?  Bahkan, saya punya dua orang sahabat kecil yang beberapa hari ini sering berkunjung ke rumah. Sambil belajar dan bermain, mereka mengajari saya bahasa Aceh. Begitulah kira-kira perjalanan selama seminggu di Aceh. Saya bersyukur mendapatkan keluarga baru seperti pak Geuchik dan bunda. Mereka sangat baik. Sejak hari pertama, mereka telah menebar benih-benih kekeluargaan. Saya pun menangkap benih-benih itu dan akan memupuknya agar tumbuh subur sehingga saat panen kelak hasilnya memuaskan. Seminggu di Aceh, alhamdulilah menyenangkan. Saya sadar, ke depan akan banyak tantangan. Entah bagaimana cerita selanjutnya, tapi semoga ini adalah awal yang baik. Terakhir, saya ingin mengutip quotes Rene Suhardono: Antusiasme berasal dari bahasa Inggris 'enthusiasm' yang merupakan bentukan bahasa latin 'En-Theos' yang maknanya adalah 'from God' atau 'God in us.' Sehingga kesimpulannya: antusiasme adalah pemberian Tuhan bagi seluruh manusia. Kita hanya perlu memohon pada-Nya, berupaya yang terbaik dan senantiasa antusias dalam menjalani karier dan kehidupan. (Dalam buku Your Job is Not Your Career, hal.67)

Cerita Lainnya

Lihat Semua