Bomberay : The Abandoned land of Hope bag :1

Mochammad Subkhi Hestiawan 1 Agustus 2011
Raga ini terasa melayang ketika menginjak tanah kerikil padat diujung jalan, 6 jam sudah duduk diantara kotak besi membuatku agak kelu. Hisapan udara menghela dengan bebas menenengkan otak dengan oksigen papua, bedakah rasanya tanyaku. Jawabannya adalah Tidak jawa, papua, kalimantan, sulawasi, sumatera semua sama, bendera yang sama, bahasa yang sama, dan tentunya kebanggaan yang sama Indonesia. Sirna sudah semua kegelisahan hati setelah langkah kedua , tenggelam bersama mentari senja kala itu. Sopir bus biru sergius orang timor Dengan senyuman lebar  melempar salam kepadaku “ selamat bertugas pak guru”. Dan bergegas bis biru bergerak menjauh mengantar kembali penumpang yang lelah. Aku memanggul berat carier orange dengan tegap dan menyeret perlahan gursack ditanganku. Untunglah, aku dibantu pak kambu yang dengan senang hati mengantarku di pojok papua ini. di depan aku melihat bangunan panggung kayu besar bersekat tampak familiar bagiku, sedikit aku mendekat terlihat papan nama usang berkarat bertuliskan SD Inpres 3 bomberay. Kulihat bendera masih berkibar enggan dilangit jingga, tampaknya berharap lambaiannya sampai ke tanah jawa, dilihat dan diperhatikan serta sedikit didengarkan. Aku berteriak dalam hati hai bendera aku berjanji bercerita tentang kegagahanmu membelah langit papua. Derit kayu menyayat ketika sepatu menginjakkan tangga rumah diujung padang itu.  Sesosok perempuan setengah baya menyambut kami dengan senyumnya yang amat ramah. Segera teh hangat dengan pisang goreng melambai di meja, siapa perempuan ini ?. dialah Istri sang empu rumah dimana setahun nanti aku bernaung. Ibu hamdanah namanya, asli kalimantan selatan. Gurat-gurat wajahnya masih menyiratkan sisa-sisa kecermelangan masa muda. Pak kambu membuka cerita dan memperkenalkan saya dengan anthusias entah karena aku atau karena kelebihan gula dari teh dan pisang goreng itu. Kami terus saja mengobrol diteras rumah panggung itu menikmati sisa-sisa hari jumat tengah bulan juli itu. Malam menjelang ibu mempersilahkan kami makan di dapur lauk lengkap tersaji dipiring hadiah sabun cuci. Usai makan aku bantu ibu menyalakan genset yang menopang sebagian kebutuhannya akan cahaya dan hiburan yang langka ditanah ini. mesin meraung segera dan terang cahaya berpendar diantara gelap padang. Tugas pertama dirumah selesai sudah. Akhirnya untuk pertama kali aku tidur di rumah ditengah padang ini. esok hari segelas kopi telah terhidang, kepulannya membuat seketika saya terbangun masih dengan senyum ibu mempersilahkan kami menyeruput salah satu kenikmatan dunia itu “kopi”. Segera setelah itu pengawas berpamitan dan dengan bis biru tua perlahan meninggalkanku sendiri di sini di tanah bomberay. Pagi hari aku mencari peradaban terdekat yang dapat aku capai warung bang ilyas, orang bugis yang selalu ditemani burung nuri bernama alvin aku bayangkan seperti bajak laut masa lampau di film pirates of carribean, disitulah mulai ku bersosialisasi dan menghabiskan waktu sore dihari-hari berikutnya. Lalu tak lama berselang dengan canda dan sepring pisang goreng agak mentah, seorang berkopyah pudar datang menghampiri kerumunan ditengah padang itu. Pak khomsatun begitu beliau dipanggil, seorang bersahaja, sabar dan ramah luar biasa. Dialah PJS kepala kampung, sejak 12 tahun yang lalu, kalo boleh curhat banyak pejabat papan atas negeri ini harus mencontoh pengabdian beliau dan sikap-sikap yang beliau miliki. Obrolan terbuka dengan mengalir begitu saja diselingi aroma kopi bercampur uap pisang panas dan tentu saja beserta pelangkapnya “surya”. Bomberay, The abandoned land of hope. Begitu kesimpulan sementara obrolan hari itu, pak khom berjanji esok hari beliau akan mengantarku keliling desa ditengah sabana ini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua