info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bomberay : The Abandoned land of Hope bag. 2

Mochammad Subkhi Hestiawan 1 Agustus 2011
Mentari sangat bersahabat hari minggu pertama ini, aku masih menikmati sisa-sisa carbon ketika suara ramah itu menyapaku. Assalamu’alaikum mas guru, hari ini jadi kah kita keliling kampung ?, kata pak khom. Siap pak, bergegas aku menyambar tas kecilku dan langsung duduk dijok belakang motor pak khom, beliau membawa anaknya yang paling kecil, yang nanti baru aku tahu kalo dia adalah siswa terpintar di sekolahku bethlehem namanya. Sepanjang jalan menyusuri jalan kerikil beliau membuka cerita tentang bomberay. Pertama kali desa ini terbentuk seperti sekarang adalah daerah transmigrasi, kata pak khom. Pada tahun 1997 pertama kali para transmigran masuk kedaerah ini, kala itu jalan darat belum ada jadi semua akses transportasi melalui laut dilanjutkan menyusur sungai masuk ke dalam hutan lalu kembali menyusuri daratan untuk sampai di bomberay ini. kala itu ada sekitar 2000-an KK yang masuk ke daerah trans ini semuanya tersebar di beberapa lokasi. Bomberay terbagi menjadi 7 SP, dari SP1 yang pertama kali dibuka sampai SP7 semuanya melingkar mengelilingi tanah padang rawa dan hutan. Sekarang SP itu telah berubah menjadi kampung dan dimekarkan menjadi 11 kampung. Waktu jalan darat belum tembus masyarakat trans di bomberay benar-benar seperti diasingkan. Mereka dengan semua harapan cerah diwilayah trans perlahan menjadi kelabu, kala itu lahan-lahan perawan bekas hutan memang sangat subur dan menjanjikan. Namun sayang mereka tidak bisa menjual hasil pertanian ke kota fak-fak karena akses transportasi yang begitu susah, kekota saja sudah memakan waktu seharian penuh tentunya hasil-hasil pertanian berupa sayur akan membusuk tak berupa ketika menunggu selama itu. Hal itu juga diperparah oleh keadaan lautan dan sungai yang agak ganas, hantaman ombak, terkaman buaya sudah menjadi cerita yang biasa terdengar waktu itu. Dengan keadaan yang tidak ramah itulah kahirnya sebagian masyarakat transmigrasi tidak tahan akhirnya angkat kaki dari tanah ini. ada yang ke fak-fak lalu ada yang ke kembali ke Jawa atau mencari penghidupan ditempat yang lain. Transportasi dan akses distribusi memang menjadi kendala terbesar waktu itu. Mereka seperti dijebak kedalam pengasingan. Hanya tinggal 1/3 orang yang akhirnya bertahan sampai sekarang dan beberapa orang baru yang berusaha mengadu nasib. Baru 5-3 tahun yang lalu masyarakat menikmati jalan darat yang lumayan memadai walau pada awalnya memang keadaannya sangat parah. Sekarang hampir semua jalan sudah tersentuh pengerasan dan lumayan llayak untuk dilewati. Tentunya kelayakan jalan disini berbeda dijawa yang sebagian besar jalannya sudah diaspal mulus. Jalan dengan Hamparan koral dan pasir  pun sudah dianggap cukup bagi mereka orang trans yang ada disini. Masyarakat disini sebagian besar adalah pendatang dari jawa, sulawesi dan maluku. Sebagian kecil saja orang lokal yang bisa terlihat. Saya pribadi dapat menyimpulkan bahwa dari 10 orang bomberay 8 diantaranya adalah pendatang, dari 8 pendatang itu 6 diantaranya orang jawa dan sisanya berasal dari daerah lain. Budaya jawa sangat kental disini terutama budaya dari jateng dan jatim. Adat perkawinan, seni budaya dan kehidupan bermasyarakat semuanya hampir mirip seperti ada di dijawa. Saya merasa ini bukan papua tetapi sedang menjelajah pedalaman kampung dijawa. Bahkan 3 hari setelah saya datang saya bisa mendapati kesenian kuda lumping dan reog yang ditampilkan pada acara sunatan salah satu murid saya.saya semakin terkejut ketika diajak sang pemilik rumah dan kepala sekolah saya pak suyatno ke pernikahan anak temannya. Disana saya menyaksikan adat perkawinan jawa dengan segala ubo rampenya. Pak suyatno selaku hostfam dan kepala sekolah saya, juga orang jawa  kowek asli banjar negara, ketahuan dari logatnya meskipun sekian lama sudah hidup ditanah papua. Melihat beliau saya teringat teman kuliah saya dulu di bogor aji yang sekian lama di ibukota masih saja medok banyumasan masih kental disela-sela lidahnya. Pak yatno begitu saya memanggilnya adalah seorang pekerja keras dan disiplin sekaligus keras. beliau telah 13 tahun mengabdi sebagai guru ditanah ini, sebagai lulusan SPG beliau masih membawa semua budaya kerja yang beliau pelajari di sekolah guru itu. Saya jadi teringat ayah saya yang juga lulusan SPG, cara mereka bekerja pun hampir mirip, saya tahu persis kekhasan guru-guru lulusan sekolah itu karena saya tumbuh besar di keluarga guru dan mengenya pendidikan yang sama. Pak yatno sebelum menjadi guru pernah merantau ke berbagai daerah dan berbagai macam profesi telah beliau tekuni. Dari sales panci dan tukang dijakarta, buruh kayu lapis di kalimantan dan sebelum merantau ke Papua beliau bekerja di perkebunan kelapa sawit di sulawesi. Akhirnya beliau hijrah di bomberay mengadu nasib, beberapa tahun menjadi honorer akhirnya diangkat menjadi kepala sekolah, masa kerja beliau hampir sama dengan sekolah dimana saya mengajar.beliau tahu darimana hutan sebelah mana kayu-kayu untuk membangun sekolah itu diambil dan tahu persis sejarah dan orang-orang di bomberay ini. Hampir semua orang di tanah ini kenal satu sama lain dengan baik, seperti sebuah keluarga besar. Saya menduga mungkin karena perasaan senasib dan sepenaggungan menjadi oarang-orang yang tidak sengaja terbuang. Sekarang keadaan bomberay agak lebih baik tetapi kendala baru muncul yaitu tanah-tanah mulai kehilangan kesuburannya, dan masyarakat terlalu banyak dimanja bantuan pemerintah dan banyak proyek yang tidak tepat sasaran yang terbengkalai disini. Disaat akses tranportasi mulai terbuka  tanah-tanah pertanian mulai tidak kehilangan kesuburannya. Hannya tanah-tanah dekat hutan yang baru dibuka yang cukup subur untuk ditanami. Namun hasilnya juga kurang maksimal. Masyarakat akhirnya bergantung pada hasil hutan, tangkapan udang dan ikan serta binatang buruan untuk menambal kebutuhan hidup disaat hasil pertanian mulai menurun. Orang-orang yang berkecukupan disini biasanya memiliki kios kelontong. Banyak ditemui kios-kios serba ada tersebar diseluruh penjuru bomberay mereka menjual rupa-rupa barang darui sembako dan sayur lokal sampai hand phone bahkan onderdil truk. Harga barang disini memang hampir dua kali lipat dijawa dan 1,5 kali lipat harga barang yang ada difak-fak. Bomberay ini dulunya adalah masuk wilayah distrik kokas, baru kemudian berdiri menjadi distrik baru sekitar 5 tahun lalu. Begitu kata pak khom menutup perbincangan kami sore itu di sebuah gubug di kebun pinggir hutan. Kami membereskan sisa-sisa semangka yang menemani pembicaraan kami. Dan bergegas mengejar senja yang tidak kami sadari mulai menjelang. Aku diantar kembali ke rumah dalam naungan cahaya jingga, menimbulkan perasaan-perasaan yang bercampur aduk antara kagum dan ironis.

Cerita Lainnya

Lihat Semua