Kemerdekaan Kolektif

Mochammad Subkhi Hestiawan 6 September 2011

Keyakinanku pada malam memudar diantara bayangan gelap hamparan padang.

Malam adalah kesunyian total dan kekosongan.

Kebanggaanku pada kegelapan sirna setelah melihat terlalu banyak gulita.

Kesombonganku pada matahari berbalik menjadi kekaguman.

Keraguanku pada pagi menghilang menguap bersama embun.

Disini ditengah padang bersama orang-orang dari kegelapan aku belajar cara menghargai sinar.

Dirimbun ilalang aku mulai membangun kepercayaan pada terang.

Ditengah hutan belantara aku hapuskan keegoisanku pada fajar.

                Cahaya pelita redup masih menemaniku menghabiskan sisa kopi, diberanda rumah kayu aku menghabiskan waktu membunuh sepi ditemani gemintang dan rembulan. Aku masih risau memikirkan bagaimana para pengabdi lain disana, diantara hutan belantara diujung kalimantan, di pinggir perkebunan di aceh utara, di atas desiran pasir sangihe, di pulau-pulau terlupakan di maluku tenggara barat. Semoga kalian baik-baik saja.

                Aku ada ditengah padang Bomberay  tanah harapan yang terabaikan sekarang, sama seperti kalian sedang membagi cahaya. Seperti pelita disamping mejaku yang setidaknya membuat aku tahu dimana letak tumpukan buku,  kotak pensil dan barang-barang yang berserakan diatasnya atau membantuku menulis catatan.  Sederhana memang sebuah pelita. Tetapi di kegelapan padang disini akan sangat berguna. Seberkas cahaya tak sempurna masih lebih baik daripada tidak ada cahaya sama sekali bukan ?. setidaknya itu yang aku rasakan disini.

                Suara sayup gingsir dan jangkrik menyapu hening malam ditimpakan diantara goyangan-goyangan ilalang. Aku masih terpaku melihat dan mendengar teriakan-teriakan perubahan. Sindiran sinis dan ketidak pastian di antara rawa-rawa sagu dibelakang rumah. Sebuah ketegaran hati menjadi pohon akasia menjulang ditengah akar rumput yang bertaut. Berusaha membelah angin sendiri di hamparan ini. rumput masih dengan santai dibelainya kurasakan sedikit gesekannya di rereumbul akar-akar yang berumbi itu. Aku berusaha tanpa suara memberikan guguran daun di sekitarku setidaknya setelah waktu berjalan itu akan menjadi humus yang menghidupi. Semoga berguna untuk menunjang rerumput itu tumbuh lebih lama sebelum kemarau panjang kembali tiba. Dengan sedikit gesekan kecil saja semuanya membara menjadi abu dan padang pun membumbungkan isyarat asap jauh keatas horizon. Dan siklus kehidupan rumput terulang.

                Dari retakan-retakan tanah aku coba membagi pupuk alami yang terserak mengering diatas tanah yang keras. dari situ semoga tanaman baru pohon –pohon berbuah dapat tumbuh menjadi penopang kehidupan lain dipadang. Seperti sekarang yang aku lakukan dengan pelan dan pasti memberikan pengetahuan dan ilmu yang aku miliki walau sedikit, membukakan cakrawala baru dan wacana tentang harapan. Mungkin terlalu jauh savana ini menjadi hutan tetapi setidaknya aku ingin membuat hampar tanah ini siap untuk ditanami. Begitulah tugasku menjadi akasia ditengah padang, sendiri dan bekerja dengan sepi.

                Mentari pecah dari kulit kegelapan, segera aku seka sisa-sisa jelaga mimpi dengan dingin air keruh rawa. Sejenak kutundukkan muka meminta pada yang kuasa. Lalu tugasku menjadi akasia kembali menunggu di ujung lantai kayu besi yang berderit disekolah tua yang lapuk. Disinilah aku temukan semaian –semaian nan subur menanti untuk disiram dengan air ilmu. Sekolah kami boleh lapuk tetapi tidak dengan semangat kami. Walaupun para guru harus membawa paku dan palu tiap hari untuk berjaga-jaga kalau nanti ada papan yang terjungkat disekolah, tetapi setiap senyum optimisme murid ku telah menghapus sisa ketidak pastian malam tadi.

                Aku masih ingat ketika kami mendapat murid-murid kelas 1 yang baru, para guru harus membuat tambahan kelas diujung gedung dengan papan sisa seadanya. Kepala sekolah berlari-kesana kemari mencari pinjaman papan untuk sekolah kami. Para guru sekejap itu juga menjadi tukang kayu yang handal menyusun bilah-demi bilah papan. Itu semua dilakukan untuk membuat bibit kami nyaman dalam semaian sekolah ini walau tidak senyaman bibit lain dikota. Aku yakin bahwa murid disekolah ini bisa punya semangat yang melebih dari apa yang selama ini kami lihat. Langkah-langkah kecil mereka membelah tanah becek dipagi hari demi pergi ke sekolah kami yang lapuk membuat kami yakin mereka adalah murid-murid yang luar biasa dengan segala potensi. Aku tidak boleh membiarkan mereka layu mereka harus dipupuk terus dengan air pengetahuan dan pupuk kasih sayang ya karena dipadang ini kehidupan sudah begitu keras pada mereka, maka sekolah adalah tempat pelarian mereka dimana mereka bisa merajut harapan-harapan yang sempat memudar.

                Kesadaran kolektiv, kerja kolektiv, untuk kemenangan kolektif, itulah yang dibutuhkan padang ini, bukan hanya disini tetapi ditempat lain diseluruh Indonesia. Ketika kita dapat mengejawantahkan secara total nilai keindonesiaan maka akan kita dapatkan banyak kata dengan satu makna “kebersamaan” kolektifitas sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah desa. Dengan perannya masing mengantarkan kita mencapai satu-per satu tujuan. Bukan demi kepentingan satu pihak atau beberapa pihak saja tetapi semua pihak baik secara material maupun moral. Seperti apa yang dijanjikan oleh kemerdekaan bangsa kita. Secara kolektif seharusnya kita dapat mewujudkannya bagi seluruh rakyat. Seperti pelita tadi aku ingin menjadi bagian dari pencapaian kolektivitas tujuan kemerdekaan Indonesia disini di tengah padang di tanah papua.

 

                                                                                                                           Bomberay, Agustus 2011

                                                                                                Merah putih masih berkibar didada kami


Cerita Lainnya

Lihat Semua