Sedia Daun Pisang Sebelum Hujan!
Mo Awwanah 21 Desember 2011Bunyi petir menghantam seng atap rumah, deru angin seolah menyingkap dan membawanya terbang. Hujan deras mengguyur tanah Dusun Berancah sejak malam tadi hingga kini. Jarum jam sudah menunjuk pukul 6 pagi namun hujan tak juga berhenti. Aku hanya dapat gelisah menanti hujan reda. “Biasanya jam segini sudah kubuka pintu sekolah”, gumamku dalam hati. Sejenak hujan berhenti, setidaknya sudah tidak disertai angin kencang lagi. Aku pun segera bergegas ke sekolah menjinjing dua tas berisi buku dan laptop. Belum seorang pun kutemui di sana. Tak lama setelah pintu sekolah kubuka hujan kembali turun dengan derasnya, kini aku hanya dapat berdiri di pintu menunggu muridku, berharap ada yang datang.
Samar-samar kulihat dari kejauhan, dua kakak beradik berlari menuju sekolah. Rintik hujan menerpa wajah dan tubuh mereka, hampir basah kuyup. Namun mereka tetap menyapaku dengan senyum. Tidak kuduga dalam kondisi hujan sederas itu akan ada murid yang datang, mengingat di hari lain saat cuaca cerah sekalipun masih ada juga yang perai sekolah, begitu mereka menyebutnya.
“Kenapa tak pakai payung?”, tanyaku saat melihat mereka datang tanpa menggunakan payung.
“Tak payah Bu, tak ada payung di rumah”, mendengar jawaban itu hatiku semakin terenyuh.
“Nanti...kalau tabungan kalian dah banyak, bolehlah sebagian untuk beli payung buat ke sekolah ya!”, kubalikkan tubuhku seraya mengambil tisu dari tasku, padahal sebenarnya aku menghindari tatapan mereka agar tidak melihat air mata yang kini memenuhi kelopak mataku. Bagaimanapun suasana hatiku, aku berusaha untuk tidak pernah terlihat bersedih di hadapan anak-anak atau siapapun yang berinteraksi denganku, karena bagi mereka kondisi semacam itu sudah biasa dilakoni. Kuambil beberapa lembar tisu untuk menyeka air hujan dari wajah polos mereka setelah terlebih dahulu menyeka air mataku. Baru kusadari bahwa kemauan belajar anak-anak ini sangat tinggi.
Masih berlatar suara derasnya hujan, seorang lagi datang tanpa mengenakan seragam. Dengan lugu dia bertanya, “Sekolah Bu?”. Sudah jam setengah delapan lebih hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Mungkin, anak-anak mengira tidak akan ada yang masuk sekolah pagi itu. Rupanya dia datang melihat apakah ada yang datang ke sekolah atau tidak. “Masuklah Nak...Ibu sudah menunggu kalian dari tadi. Ayo cepat ajak teman-temanmu!”. Rumah murid-muridku saling berdekatan, dalam satu wilayah pemukiman suku asli, terletak tidak jauh dari sekolah. Beberapa saat kemudian dia kembali bersama beberapa murid lainnya, sudah berpakaian rapi meskipun sebagian masih belum lengkap karena tidak terlihat sepatu maupun sandal melekat di sepasang kaki mereka. “Mana sandalnya?”, aku sengaja tidak bertanya sepatu karena dalam kondisi seperti itu sudah pasti murid-muridku akan lebih memilih memakai sandal daripada sepatu. Murid di sini masih ada yang jarang memakai sepatu ke sekolah, bahkan beberapa kadang ke sekolah dengan kaki telanjang. Saat ditanya alasannya bervariasi: tidak punya, tidak biasa, lecet, panas dan masih banyak jawaban-jawaban yang tidak terduga, yang pasti bukan karena malas, hanya perlu dibiasakan. Namun keterbatasan fasilitas ini tidak sedikitpun mengurangi semangat mereka untuk menuntut ilmu. Dan itu yang membuatku selalu kembali bersemangat setiap kali merasa penat dengan segala rutinitasku, kurasa guru yang lainpun demikian.
Murid sudah mulai banyak, guru pun sudah ada yang datang. Kubunyikan bel sekolah, tanda pelajaran siap dimulai. Hari ini, aku masih menggantikan guru kelas IV yang sedang menjalani masa pra-jabatan. Satu kejutan lagi kutemui di kelas. Ketika aku akan menutup pintu kelas IV, di belakang pintu tergeletak daun pisang yang sangat lebar. “Siapa bawa daun pisang ke sekolah?”, telusurku penasaran siapakah anak yang kreatif memakai daun pisang untuk melindungi diri dari hujan agar dapat pergi ke sekolah. “Sandi Bu!”, salah satu siswa kelas IV menjawab pertanyaanku. Sandi adalah salah satu murid kelas I yang berada dalam satu ruangan dengan kelas IV, ruang belajar mereka hanya dipisahkan oleh sekat. Mendengar namanya disebut, Sandi pun datang menghampiriku, “Bu Ana, itu daun pisangku!”. Hatiku tersenyum melihat mimik mukanya yang sungguh menggelikan dan membayangkan tangan mungilnya membawa daun pisang selebar itu. Cukuplah untuk mengeringkan air mata dan menetralisir pilu hatiku. Perlahan kudekati dia sembari berkata, “Sandi kreatif, sudah pakai daun pisang agar tak kehujanan...:))”
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda