Pesan Perdamaian dari Anak Liong
Mo Awwanah 4 Desember 2011Sayup-sayup kudengar suara lengking memanggil namaku, “Bu Ana...Bu...sekolah petang Bu...”. Semakin lama suara itu semakin jelas di telingaku dan tidak akan senyap sebelum aku meresponnya. Kadang-kadang iseng kubiarkan saja dulu, karena suara-suara itu yang membuat hari-hariku penuh irama, dan sekaligus mengurangi energi mereka agar tidak lagi hiperaktif ketika belajar denganku.
Namun ternyata alasan yang kedua tidak pernah tercapai. Energi anak-anak ini tak ada habisnya, malah suaraku yang habis mengimbangi teriakan nyaring mereka. Suatu hari pernah kucoba merespon dengan suara lirih berbisik, berharap mereka pun akan menirukan suaraku. Sejenak mereka memperhatikan, beberapa saat kemudian...kembali ke wujud semula.
Anak-anak ini sebenarnya belum sekolah, tapi justru mereka yang paling rajin menjemputku untuk sekolah petang (belajar di sore hari). Ingin belajar menggambar katanya. Mereka adalah Riko, Riswan, Bebe dan Andre. Bebe yang paling tidak bisa diam, yang membuatku sering memutar otak mencari cara yang positif untuk mengendalikannya. Sekurang-kurangnya dalam interval lima menit dia akan datang menghampiriku dan berbicara persis di depan wajahku, minta diperhatikan.
Beberapa hari yang lalu dia bahkan membuat seorang anak kelas satu menangis. Ketika kutegur dan kuminta dia untuk berdamai, dia pun datang menjabat tangan temannya sambil tersenyum menghibur, tak heran jika yang sedang menangis pun akhirnya tertawa melihat tingkahnya. Biasanya, jika aku sudah merasa tidak sanggup mengendalikannya, kukeluarkan jurus pamungkas, memberinya tugas. Tugas yang sangat Dia senangi, menggambar.
Hari ini, seperti biasa dia datang dengan tiga kawan kecilnya. Duduk di got mini depan rumah sembari berteriak memanggil namaku. Sesuap nasi di antara jemariku yang sedang menunggu dilahap terpaksa harus kuletakkan dulu dan segera ke luar menemui mereka untuk menjelaskan bahwa masih tengah hari, sekolah petang baru akan dimulai satu jam lagi.
“Be, sekolah petangnya masih nanti. Bebe pulang dulu, tidur siang!”
Dengan wajah tak berdosa dia berujar, “Tak ada tidur siang!”, benar-benar menguji kesabaran.
Sementara itu, tidak jauh dari rumah terlihat suasana sekolah mulai ramai. Anak-anak mulai berdatangan satu-persatu, padahal ‘sekolah petang’ masih nanti pukul 2 siang. Kulihat seorang anak perempuan berjalan menuju rumah tinggalku, memberitahukan bahwa teman-temannya sudah berkumpul di sekolah.
Setelah menuntaskan makan siangku, kuayunkan kaki menuju lokal sekolah yang atapnya nampak jelas dari serambi rumahku. Belum jauh melangkah, tiba-tiba Bebe dan kawan-kawannya kembali mengejutkanku, ternyata mereka masih menungguku di serambi rumah. Mereka bersembunyi di balik teras kecil, lalu dengan cepat muncul di hadapanku sambil berteriak, “Huaaaaaaaaaa!”.
“Bu, Bu, foto Bu!”, lanjutnya dengan mimik usil. Rupanya dia melihat kamera di kantong samping ranselku. Ketika lensa kamera kuarahkan pada mereka, dengan percaya diri mereka berganti-ganti gaya. Akhirnya, muncul jugalah gaya perpaduan dua jari telunjuk dan jari tengah, ‘peace’.
“Gaya macam apa itu Be?”, tanyaku memancing pemahaman mereka. “Tidak bertengkar lagi Bu, tidak membuat teman menangis lagi!”, rupanya dia memahami simbol perdamaian, mengerti bahwa mengganggu orang lain itu bukan perbuatan yang terpuji dan tidak boleh lagi diulangi. Puas bergaya di depan kamera, kami pun berjalan beriringan menuju sekolah *_*.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda