Mendidik Itu Soal Akhlak

Indarta Aji 18 Desember 2011

Ada satu hal yang sangat mengganjal dipikiranku tiap kali aku berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at. Bisa aku hitung, mungkin hanya lima, enam atau tujuh murid laki-lakiku yang menunaikan kewajiban salat Jum’at di masjid kampungku yang menjadi satu-satunya lokasi menunaikan shalat Jum’at ditempatku. Entah apa yang terjadi dengan tempat ini, kampung yang seratus persen penduduknya adalah islam. Apakah orang tua mereka tidak memarahi mereka seperti orang tuaku yang memarahiku habis-habisan hanya karena tidak mengaji. Terlebih ini adalah kewajiban menunaikan shalat Jum’at.

Ku pergoki sebagain muridku yang pergi mengangon kerbau atau kambing saat menjelang shalat Jum’at. Kucegat lalu kutanya kepada mereka “Mau kemana? Nggak shalat Jum’at?”. “Di suruh bapak ngangon kerbau pak?” Kata muridku sambil menggiring beberapa kerbau besar miliknya. Lalu yang lain menjawab dengan jawaban yang hampir sama “Di suruh bapak ngangon kambing pak?” bersama gerombolan kambing kacang miliknya. Tapi yang membuat jawabanku tercengan adalah ketika beberapa orang anak yang sedang menggendong ayam menjawab “Mau adu ayam!” Seketika mukaku merah padam sambil menahan amarah... “Astagfirullah, ngapain adu ayam?” Tanyaku, dan mereka hanya tersenyum lalu berlalu seakan-akan sudah tidak peduli denganku.

Keesokan harinya kutanyai satu persatu guru-guru yang ada disekolah dan beberapa penduduk sekitar. Dengan ini aku berhadap akan mendapatkan alasan tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana caraku untuk menyelesaikan masalah ini. Mungkin ini sederhana, tapi bertindak tidak sesederhana dengan apa yang dipikirkan.

Ternyata memang benar tentang apa yang ada di dalam pikiranku. Semua orang tua pergi ke masjid, sedangkan kambing dan kerbau mereka butuh untuk digembalakan, dan siapa lagi kalau bukan anak laki-laki mereka yang harus bertugas mengganti peran orang tua mereka. Soal adu ayam, mungkin inilah yang lebih menarik perhatianku. Tidak ada objek percontohan bagi anak-anak kecil yang suka beradu ayam ini. Sebagian besar ayah-ayah mereka bekerja di luar kota berbulan-bulan dan hanya sesekali pulang, dan sebagiannya lagi memang sudah tidak memiliki ayah. Selain itu semua, mungkin memang ada miskomunikasi antara anak-anak dan orang tua. Saat pergi ke masjid anak-anak selalu saja ribut, sedangkan orang tua merasa terganggu dengan keributan tersebut dan langsung memarahi, sehingga anak-anak enggan pergi ke masjid.

Meningkatkan standar kedisiplinan. Itulah cara pertamaku untuk mengatasi hal ini. Semakin giat berkeliling kampung untuk mengecek setiap aktifitas yang dilakukan oleh murid-muridku di rumah-rumah mereka masing-masing juga salah satunya. Di sekolah, sebelum pelajaran dimulai, setiap hari kuku harus sudah pendek dan bersih, baju harus sudah rapi tanpa harus baru atau bagus, dan berdoa baru dimulai jika semua siswa sudah tidak ada lagi yang ribut dan sudah duduk tertib. “Kebersihan dan kerapian adalah sebagian dari iman. Sebagai orang islam kita harus taat kepada aturan agama kita, dan kalau berdoa harus khusyuk, jangan main-main.” Kataku lantang di depan kelas.

Jum’at pertamaku tidak begitu berhasil. Tidak banyak siswa yang hadir di shalat Jum’at. Sabtu-nya kugiring mereka semua ke tengah lapangan. Membentuk barisan dua shaf. Kutanyai mereka satu persatu tentang alasan mereka tidak pergi ke masjid dengan jawaban yang berlainan dari setiap anak.

“Nah, sekarang yang kukunya masih panjang dipotong sekarang, yang masih panjang di bersihkan ya!”Kataku di tengah-tengah lapangan. “Sekarang pak?” Kata seorang muridku. “Ya... Sekarang” Lalu kusodorkan sebuah gunting kuku kepada mereka untuk saling bergantian menggunakannya. Setelah itu kusuruh mereka bersama-sama mengambil air wudhu, merapikan pakaian dan melakukan praktek shalat jum’at bersama-sama di tengah-tengah lapangan, lalu saling bersalaman saat praktek shalat Jum’at telah usai.

“Pak, panas!”Kata murid-muridku sebelum kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran. “Ya... panas. Coba kalian pikir, segini saja sudah panas, apalagi api neraka. Pasti lebih panas.” “Mau tidak masuk api neraka?” Kataku. “Tidakkkkk....” Jawab mereka serempak. ”Yasudah, kalau gitu kembali ke kelas, tapi jangan lupa, minggu depan harus shalat Jum’at ya....?”

Minggu berikutnya, tepatnya tanggal 9 desember kemarin. Kutemui begitu banyak sandal berukuran kecil. Suasana masjid lebih ramai daripada sebelumnya karena begitu banyaknya murid-muridku di dalam masjid ini. Mereka tersenyum kepaku, membuatku cukup senang. Satu hal lagi yang membuatku senang, suara cempreng mereka tidak begitu mengganggu khotib saat berkutbah atau saat semuanya sedang menunaikan shalat.

Mendidik anak dimulai dengan mendidik akhlak mereka, dan agama mengajarkan tentang akhlak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua