Berbalas Pantun

Mo Awwanah 18 Desember 2011

Janganlah bercermin, jangan bercermin di air keruh

Karena tak mungkin engkau dapat melihat wajahmu

Janganlah berteman, dengan orang yang buruk tingkahnya

Agar kau terbebas dari jerat setan yang keparat

Bunyi kompang bertalu mengiringi syair berirama yang didendangkan dalam malam pelaksanaan Mushabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Desa Selat baru pada 4 Desember yang lalu. Syair, gurindam, pantun adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya Melayu. Di Pulau Bengkalis khususnya, kesenian berbasis kearifan lokal masih sangat dijunjung tinggi. Hampir setiap kegiatan melibatkan pertunjukan budaya. Pembukaan MTQ dipadu dengan nada kompang (rebana versi Bengkalis), diselipi pantun nasihat, serta dibumbui merdu qasidah. Alat musik kompang juga selalu hadir meramaikan suasana penyambutan tamu agung.

Acara pernikahan pun diwarnai ritual berbalas pantun. Aku mengagumi dan menikmati semua hal baru yang kujumpai di sini. Tidak hanya ingin menjadi penikmat sejati, aku bahkan ingin menyelami indahnya budaya ini. Sayang sekali aku tidak dapat menikmati kekayaan budaya ini bersama murid-muridku.

Murid di sekolahku hampir semuanya suku asli, ada yang bilang Akit, namun ada juga yang menyebutnya Sakai. Hanya ada 3 orang yang merupakan keturunan Jawa dan Melayu. Suku asli di desaku tinggal di satu pemukiman tersendiri. Mereka berkembang dengan adatnya sendiri, tidak terlibat atau mungkin tidak dilibatkan dalam porsi pemangku kepentingan di daerah ini. Bukan diasingkan, tapi sepertinya terasingkan dengan sendirinya. Sekolahku pada awalnya adalah lokal jauh dari salah satu sekolah di kecamatan ini. Namun kemudian diresmikan sebagai sekolah negeri agar anak-anak suku asli dapat belajar di lokal sekolah yang letaknya tidak jauh dari pemukiman mereka.

Karena mayoritas muridnya adalah suku asli, masyarakat di desaku beranggapan bahwa sekolah ini khusus untuk suku asli, jarang ada orang tua selain suku asli yang menitipkan putra-putrinya untuk belajar di sekolah ini. Pemukiman suku asli sebenarnya berdekatan bahkan diapit oleh pemukiman masyarakat keturunan Jawa dan Melayu, namun interaksi antara suku yang berbeda ini masih jarang terjadi. Interaksi hanya terjadi untuk kepentingan tertentu seperti jual-beli di kedai, selebihnya interaksi hanya sering terjadi antarsuku mereka sendiri.

Aku sendiri bermukim di rumah salah seorang warga keturunan Jawa yang lokasinya berada persis di perbatasan antara pemukiman Jawa/Melayu dan pemukiman suku asli, hanya beberapa meter dari sekolah tempatku mengajar. Aku berinteraksi dengan suku asli baik dengan murid maupun orang tua/wali murid dalam segala urusan yang menyangkut kepentingan sekolah, baik itu kurikuler maupun ekstrakurikuler. Sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat, aku pun harus dapat berbaur dengan masyarakat keturunan Jawa/Melayu. Sebulan yang lalu aku menghadiri festival anak sholeh yang diselenggarakan oleh salah satu TPQ di desaku, dua minggu yang lalu kembali menghadiri pembukaan acara MTQ tingkat desa, dan beberapa hari yang lalu aku menemani murid-muridku merayakan Natal dalam satu-satunya gereja di pemukiman mereka.

Aku hadir untuk menyaksikan murid-muridku tampil di perayaan Natal. Kabarnya mereka akan menyanyikan dan menarikan beberapa lagu ruhani yang katanya akan diiringi alat musik rebana. Maklum, di sekolah jarang sekali aku mendengar mereka menyanyikan lagu yang sesuai dengan usia mereka. Ketika diajak bernyanyi pun kadang masih malu-malu, apalagi menari. Penasaran, ingin sekali melihat mereka tampil dalam pertunjukan agama yang dipadu dengan kekayaan budaya mereka. Dan ternyata, luar biasa! Berbeda sekali antara mereka yang kulihat di sekolah dengan mereka ketika tampil pada perayaan natal malam itu. Murid-muridku tidak sekaku ketika belajar dan bermain di sekolah, mereka pandai bernyanyi, mereka juga tidak malu menari. Apa mungkin karena berada di antara suku mereka sendiri? Tapi di sekolah pun hanya guru-guru dan 1-3 murid yang bukan suku asli, selebihnya teman sepermainan mereka di rumah. Akhirnya aku pun berkesimpulan bahwa mereka bisa diajak terampil dalam memahami kekayaan budaya di daerah ini, hanya perlu pembiasaan. Pada suatu kesempatan mengisi mata pelajaran KDR (Kebudayaan Daerah Riau), aku meminta anak-anak membuat pantun yang terdiri dari sampiran dan isi, cukup satu bait yang terdiri dari empat baris. Tapi ternyata mereka membuat lebih dari satu bait, yang pesannya saling berkaitan.

Tidak hanya itu, mereka juga bisa saling berbalas pantun, meskipun isinya memang belum sesuai dengan usia mereka. Coba simak isi pantun berikut, yang dibuat oleh salah seorang murid ketika kuminta dia untuk menuliskan pantunnya di papan tulis.

Dari mana datangnya ulat

Kalau bukan dari pagar

Dari mana datangnya surat

Kalau bukan dari pacar

Kemudian murid lainnya mengacung untuk memberikan balasan atas pantun temannya.

Hati-hati meniti kawat

Jangan sampai jatuh ke jurang

Hati-hati bermain surat

Jangan sampai ketahuan orang

Mantaaap! Bolehlah untuk mengawali jiwa seni dalam diri mereka, tinggal meluruskan kesesuaian isinya dengan usia mereka. Pelajaran ini sekaligus dapat menjadi celah untuk menanamkan nilai-nilai moral melalui pantun nasihat selain dari pelajaran PKn dan Agama. Ingin berbalas pantun dengan murid-murid SDN 32 Selat Baru? Tuliskan pantun nasihatmu dalam space komentar di bawah ini! *_^.


Cerita Lainnya

Lihat Semua