Mereka Ada di Mana-Mana

Dedi Kusuma Wijaya 6 November 2011

Ini bukan judul tentang film hantu, tapi sepenggal curhatan saya tentang hal positif yang di saat bersamaan juga membuat kepalaku puyeng. Sebagaimana diharapkan, saya datang ke desa dan sekolah ini dengan sedapat mungkin membawa cinta bagi anak-anak dan orang-orang di sini. Memberikan perhatian, penghargaan, dan sebisa mungkin selalu tersenyum. Well, kelihatannya memang hal ini berhasil. Anak-anak tidak takut padaku, orang-orang besar selalu ramah. Anak-anak bersemangat saat saya ajak bermain, saya ceritakan hal-hal baru, dan seterusnya.

Masalahnya, lama kelamaan mereka tidak bisa lepas dariku. Kapanpun dan di manapun, mereka selalu mengerubungiku. Saya mengajar di kelas IV, dan tidak henti-hentinya saat saya sedang mengajar siswa kelas lain mengetuk pintu, masuk hanya untuk meminjam lem, gunting, atau melihat pembelajaran yang saya lakukan. Saat awal pelajaran, saya biasanya datang membawa backpack yang berisi peralatan mengajar saya dan tas laptop. Saat saya berjalan menuju ke sekolah dan menaiki jalan menanjak yang melintang menuju sekolahku, anak-anak sudah mulai berbicara: “pak dedi datang, pak dedi datang” dan mereka mulai datang. Saya duduk di kelas, di meja guru, di depan sudah ada anak-anak dari berbagai kelas, melihatku seperti berharap saya mengeluarkan sebaskom permen untuk mereka. Saat saya membuka tasku, semua ikut melihat. Biasanya saya langsung berdiri, dan duduk di depan kelas. Dan mereka datang lagi.

Kadang-kadang saya sudah meminta mereka dengan sopan untuk pergi, tapi hanya beberapa waktu mereka datang lagi. Guru-guru lain biasanya mengusir anak-anak jauh-jauh dengan teriakan yang diikuti penyebutan nama-nama binatang berkaki empat, saya tentunya tidak tega menggunakan metode itu. Namun permintaan saya yang persuasif kerapkali gagal. Ya sudahlah, saya memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan seperti mengisi laporan individual anak-anak atau menghias kelas selepas jam sekolah berakhir. Selain agar lebih tenang, karena di sekolah juga udaranya lumayan dingin (di rumahku, selain selalu penuh dengan anak-anak panasnya juga sudah seperti di dalam sauna). Tanpa saya duga, saat saya sedang asik menggunting, tiba-tiba sudah ada beberapa anak kelas 6 yang muncul, mereka sudah berganti baju dan karena melihat saya berada di sekolah mereka langsung datang. Melihat saya menggunting, mereka pun meminta pinjam gunting dan menggunting segala macam kertas-kertas yang ada.

Cara lain pun saya coba. Saya langsung pulang ke rumah selepas sekolah, namun selesai makan siang kembali lagi ke sekolah. Ternyata ada anak-anak yang melihat saya berjalan, sehingga tetap ada saja 3-5 orang anak yang mengikutiku ke sekolah. Dan hasilnya, saya tidak bisa menikmati me time­-ku dalam bekerja. Sesampai di rumah, hal demikian juga terjadi. Jika saya mulai duduk di ruang tamu dan membuka laptop, anak-anak yang lewat langsung masuk, dan duduk-duduk melihat laptop atau bermain di sekitarku saja. Di malam hari memang saya biasanya memutarkan film atau memberi pembelajaran pada anak-anak, sehingga saat generator menyala berarti dalam sekejap rumah akan dipenuhi anak-anak. Bagaimana saat solar habis, dan hanya lampu pelita saja yang nyala? Dugaanku saya akan bisa duduk-duduk tenang saja menikmati malam. Tidak apalah tanpa listrik, yang penting bisa menenangkan diri. Ehhh, ternyata beberapa anak tetap datang, hanya melihat-lihat saya duduk di tengah temaramnya pelita. Akhirnya saya terpaksa mengajak ngobrol mereka juga, entah itu belajar bahasa daerah atau apa saja.

Kadangkala, saya memutuskan bersembunyi di kamar saja. Itupun kadang-kadang masih ada saja yang mengintip-ngintip, atau di luar memanggil-manggil saya. Bayangkan saja, sedang tidur siang pun masih ada saja anak yang di luar dengan ramai berbicara: “bapak guru Dedi lagi tidur, coba kita lihat”. Biasanya saudara saya di rumah yang lalu mengusir anak-anak itu pergi dengan metode teriakan plus kebun binatang. Dalam kasus lain, kalaupun anak-anak sedang tidak ada, saat saya sedang mengetik tetap saja ada anak-anak muda yang datang, melihat-lihat layar laptop, atau minta diputarkan lagu.

Sebenarnya saya sudah berusaha menegaskan kepada mereka bahwa saya sedang bekerja, sehingga mohon tidak diganggu. Untuk anak-anak kelas 3-6 SD, biasanya permintaan saya ini ditanggapi dengan mereka tetap saja duduk di sekelilingku dan menonton saya mengetik, membuatku jadi kikuk sendiri. Kadang saat saya minta untuk pulang, dengan muka merajuk tetap saja mereka tidak beranjak. Untuk anak-anak yang lebih kecil, kepalamu bisa lebih sakit lagi. Mereka datang, menyentuh-nyentuh laptop dan terus-terusan minta diputarkan film. Saat saya jelaskan bahwa sekarang belum waktunya, mereka tetap melongo saja di sisi laptop. Setelah saya usir dengan suara lebih keras, mereka pergi dan dalam dua menit bermain sendiri dan lalu kembali lagi sambil mengucapkan kalimat yang sudah terlalu sering saya dengar: “bapak guru Dedi, bikin film”.

Entah karena saya adalah muka baru di desa ini, atau karena orang dewasa lain biasanya tidak ramah kepada mereka, tapi secara harafiah, mereka memang ada di mana-mana. Kadangkala saya lelah juga, tapi saya sadar itu menandakan saya membawa sesuatu yang baur kepada mereka. Yah  take it positively saja, menganggap ini sebagai simulasi menjadi artis yang selalu dirubungi orang-orang. J

NB: Saat tulisan diketik ini ada delapan anak usia TK yang sibuk berlarian di sekelilingku, menempelkan telinganya di headsetku, mengusap-ngusap jarinya di sisi laptop, dan berbagai kegiatan lainnya.

 

Wadankou , 13 Oktober 2011 


Cerita Lainnya

Lihat Semua