info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Meti dan Air Naik

Dedi Kusuma Wijaya 13 November 2011

Saya akan memperkenalkan anda dengan salah satu kata yang paling sering dibicarakan orang di desa: meti. Meti adalah sebutan setempat untuk air surut, atau yang kita semua tahu dalam pelajaran SD sebagai keadaan di mana air di pinggir pantai menjadi dangkal dan kerapkali kering. Waktu meti biasanya pada pagi hari sampai siang, dan pada petang sampai tengah malam, sementara waktu air pasang atau yang biasanya disebut dengan air naik yah berada di luar waktu meti itu. Pasang surutnya air ini mungkin bukan menjadi subjek yang sering dipikirkan oleh orang-orang di kota, tetapi di desaku sini, kehidupan berputar di antara meti dan air naik.

Untuk memahaminya, saya akan menjelaskan keadaan desa tempat tinggalku. Wadankou, berada di kecamatan Molu Maru, tepatnya di sebuah pulau bernama Molu yang terletak di pojok tenggara Laut Banda. Di pulau Molu ada empat desa, sementara di pulau Maru ada sebiji desa saja. Jarak antar desa di Pulau Molu bervariasi, dengan jarak terdekat adalah 8 kilometer. Jarak ini sebenarnya tidak terlalu jauh seandainya ada jalan darat. Sayang sekali, jalan darat yang tersedia hanyalah hutan bakau, hutan kayu putih, ladang, dan pantai, sehingga cara ternyaman bertransportasi adalah lewat laut. Kalau di daratan kita bisa memilih antara mobil, motor, becak, atau sepeda, di lautan ini moda yang tersedia adalah ketinting (perahu kecil bermotor), sampan, perahu layar, motor laut (perahu kayu lebih besar yang menggunakan mesin diesel, bisa digunakan untuk perjalanan jarak jauh), dan speedboat (perahu berbahan fiber yang menggunakan motor tempel). Nah, fitur paling penting dari perjalanan laut ini adalah keadaan meti dan air naik.

Sebuah kapal dapat berlabuh di pantai dengan jarak yang bervariasi. Semakin besar kapalnya, semakin jauh jaraknya berlabuh dari pantai. Kenapa, karena badan kapalnya akan kandas di daerah yang dangkal. Karena itulah motor laut dan speedboat harus tiba di depan pantai pada saat air penuh, karena kalau pada saat meti berarti kapal akan berlabuh jauh dari pantai dan penumpang harus dijemput lagi dengan sampan atau berjalan kaki sambil melinting celana kalau tidak mau basah. Sementara ferry atau kapal yang lebih besar lagi hanya bisa berlabuh paling dekat di kepala meti *.  Karena itulah kalau ingin bepergian dari satu desa ke desa lain, harus memperhitungkan masalah meti dan air naik ini. Kalau kapal yang digunakan berlabuh di laut biru (sebutan untuk laut dalam), maka kapalnya dapat berjalan, tapi itupun harus memperhitungkan apakah desa yang ingin dikunjunginya itu sedang meti atau tidak. Kalau misalnya sedang meti kering (surut yang jaraknya sangat jauh dari lepas pantai), maka otomatis kapal akan sulit masuk. Apalagi kalau membawa banyak barang, otomatis kapal harus masuk pada saat air naik penuh, agar kapal dapat berlabuh sedekat mungkin dengan pantai.

Hal inilah yang membuat perjalanan antar desa di daerah laut seperti ini tidak semudah di daratan, yang kita bisa naik becak atau bemo sesuka hati kita kapan saja.  Beberapa waktu lalu sehabis acara Kelompok Kerja Guru, Pak Camat mengajak semua guru untuk piknik ke sebuah pantai di daerah Wulmasa. Saat itu kami tiba sekitar pukul 15.30 di pantai berpasir putih yang elok itu. Acara berakhir pukul setengah tujuh malam, di saat  langit sudah tidak menyisakan setitik cahaya pun. Sayang sekali karena tidak memperhitungkan waktu meti, speedboat yang digunakan tidak dapat bergerak karena meti kering dan speedboatnya kandas. Akhirnya kami pun berjalan kira-kira tiga kilometer ke Desa Wulmasa untuk menghabiskan waktu sampai menunggu air naik. Alhasil kami pun baru meninggalkan Wulmasa jam setengah satu malam saat air sudah penuh. Untungnya seorang staf kecamatan sudah pergi mengambil speedboat itu di lokasi piknik tadi. Kalau tidak, kami harus berjalan lagi ke sana. Fiuh.

Masalah permetian ini membuat kita tidak bisa pergi ke beberapa desa sekaligus dalam sehari, kecuali mau bersusah-susah melangkah di atas karang saat sedang meti. Lama kelamaan saya pun sudah fasih memperkirakan kapan kapal akan berangkat, dan kapan biasanya kapal akan tiba. Ini pula yang membuat kunjungan kerja camat begitu menguras energi. Karena saat akan berkunjung ke satu desa paling tidak akan memakan waktu seharian, karena masalah air yang naik dan turun ini. Itu juga yang mungkin membuat aktivitas warga ke luar kampungnya tidak begitu dinamis, yang menjadikan mereka santai kayak di pantai terus.

Selain masalah transportasi, meti juga ditunggu oleh anak-anak. Anak-anak senang bameti (istilah untuk berjalan-jalan di laut yang sedang kering). Di situ biasanya ada kepiting atau bia (semacam kerang) yang terdampar dan menjadi bahan makan malam, atau sekadar melihat bintang laut dan karang-karang lainnya. Di desaku, dua kali dalam sebulan saat bulan tidak ada meti akan sangat kering, dan penangkapan ikan dengan metode tali kor bisa dimulai. Metode penangkapan ikan ini cukup unik dan saya juga belum bisa memahami sebabnya.

Pada saat waktu yang sudah diketahui ini, orang akan pergi dengan sampan saat air naik dan mengikat tali berbentuk lingkaran di daerah kepala meti. Karena air naik maka saat itu laut menjadi dalam dan banyak ikan-ikan besar yang berada di situ. Entah kenapa, saat waktu meti saat kering ini, ikan selalu terkurung dengan ajaibnya di areal tali yang dilingkarkan ini. Akhirnya saat meti orang sisa berjalan saja dan di daerah tali kor tadi ikan-ikan benar saja sudah terperangkap dan siswa ditombak lalu dibawa untuk dibakar di rumah. Ikan-ikannya juga bukan ikan sembarangan, minimal sepanjang siku sampai pergelangan tangan orang dewasa!

Meti dan air naik ini, bagiku, seperti dualisme keseimbangan yang menyelaraskan kehidupan orang-orang di sini. Saya sendiri belajar untuk bersabar dan menikmati hidup yang banyak menunggu, tidak terburu-buru. Kalau hati sedang galau, saya selalu ingat bahwa air surut, air naik, berputar dalam satu hari yang sama. Hari baik, hari buruk, sungguh seperti meti dan air naik ini, datang dan pergi sebagai keniscayaan dalam hidup yang sama, yang sempurna.

Adodo Molu, 21 Oktober 2011 


Cerita Lainnya

Lihat Semua