Murid Musikal, Guru Amusikal

Dedi Kusuma Wijaya 22 Desember 2011

 

Anda pasti sering menghadapi pertanyaan seperti ini: seandainya kamu dilahirkan kembali, kamu ingin dilahirkan seperti apa? Biasanya jawaban orang akan pertanyaan ini macam-macam. Yang taat norma dan nilai PPKn-nya bagus, pasti menjawab hanya ingin jadi seperti dirinya sekarang, karena inilah yang terbaik yang Tuhan berikan, dsb. Ada juga yang jawabannya banyak, pengen jadi anak presiden, tapi presiden yang cakep, yang ini, yang itu. Biarlah orang lain punya beragam jawaban, jawaban saya hanya satu: mau dilahirkan jadi orang yang bisa menyanyi!

Sejak kecil, saya sangat suka bernyanyi, tapi sekaligus orang lain sangat tidak suka mendengar saya bernyanyi, sungguh suwerrr. Entah kenapa, saya bukan saja buta nada, tapi juga tuli dan bisu nada. Saya tidak bisa mengenali nada sama sekali. Sewaktu SD dulu, saya sangat terpukul, karena saat itu ada paduan suara kelas untuk mengikuti Porseni sekolah. Karena kuota paduan suaranya 50 orang, padahal murid di kelasku 52 orang, dipilihlah dua orang untuk dieliminasi. Tanpa ragu, wali kelasku langsung meminta Dedi untuk keluar dari kumpulan. Untunglah saya tidak pernah dihantui rendah diri karena tidak bisa menyanyi. Tetap saja saya suka bernyanyi kapan saja di mana saja, bahkan sewaktu SMA dulu saya pernah ikut lomba menyanyi di waktu porseni dulu, karena temanku yang seharusnya tampil tiba-tiba demam panggung parah sewaktu akan naik panggung. Karena saya adalah ketua kelas waktu itu, terpaksalah secara mendadak saya tampil. Saya memilih lagu Jamrud, Surti Tejo, karena lagunya super mudah dan juga urakan –seperti suaraku-. Hasilnya penonton bersorak gembira karena penampilanku, tapi bukan karena suaranya merdu, melainkan karena penampilanku yang bersuara keriting ini dipadukan dengan aksi panggung yang juga tidak kalah malu-maluinnya. Yah, sambutan mereka lebih mirip sambutan kepada Tukul daripada sambutan kepada Afgan lah..

Cukup satu paragraf di atas saja saya menceritakan pengalamanku dengan suaraku ini –saya harus menjaga citraku sebagai pengajar agar tidak buruk-buruk amat di hadapan pembaca-. Intinya, saya tidak bisa menyanyi. Bahkan ketika saya sudah meyakinkan diriku bahwa latihan bisa membuat orang bisa menyanyi, tetap saja hasilnya tidak ada satupun nada yang nyangkut di partitur aslinya. Walau di telingaku saya sudah bisa mengira-ngira nada yang pas, tetap saja koordinasi antara telinga, otak, dan pita suara tidak sinkron. Yang keluar dari mulutku entah kenapa tetap saja parau. Kalau proses penciptaan manusia itu seperti bikin kue, mungkin Tuhan lupa memasukkan telur atau terigu sehingga tidak tersisa sedikitpun kemampuan menyanyi dalam diriku.

Kembali ke dunia masa kini, tepatnya saat pelatihan Pengajar Muda di Bogor. Teman-teman yang lain banyak yang punya suara bagus, ada yang jago menciptakan lagu, melatih paduan suara, bernyanyi sambil bermain alat musik, menciptakan lagu-lagu untuk belajar, dan lain-lain. Tapi entah kenapa, dari sekian banyak pilihan orang, saat penempatan saya bisa ditempatkan di Maluku, tanah yang melahirkan orang-orang bersuara emas. Ayu, rekan Pengajar Muda di Halmahera Selatan, dalam blognya menceritakan bahwa anak-anak Maluku adalah anak yang musikal. Mereka suka menyanyi, dan cepat menangkap nyanyian. Dan dikirimlah saya, guru amusikal ini, ke anak-anak yang musikal.

Sesampainya di tempat tugas saya, tulisan Ayu, dan asumsi banyak orang tentang suara orang-orang Maluku, memang benar adanya. Mereka sangat suka menyanyi, banyak yang fasih bernyanyi sambil bermain gitar atau piano malahan. Di pinggir jalan, dalam angkot, duduk-duduk santai, di gereja, sekolah, orang suka menyanyi. Di luar sekolah, saya hampir tidak pernah menyanyi, di gerejapun saya cukup lipsing saja karena citraku yang keren ini pasti turun pasaran kalau menyanyi di tengah-tengah suara emas ini. Masalah yang ada adalah karena kami, orang-orang luar yang datang ke desa, dianggap sebagai orang super, yang bisa segala hal, termasuk menyanyi tentunya. Teman saya di Kecamatan Molu Maru, Bagus, kebetulan suaranya memang bagus. Ia akhirnya memperkuat kecamatanku di lomba paduan suara kabupaten dan meraih juara 3. Saya? Cukup menjadi fotografer saja, hehe.

Tapi perlu saya ingatkan, saya adalah orang yang menolak hidup dalam pesimisme. Saya memang tidak bisa menyanyi, saya mengakuinya, dan saya bertugas di daerah yang sungguh mencintai nyanyian, saya mengakuinya juga. Karena itu saya berusaha sekuat tenaga, terutama dalam tugasku sebagai guru, untuk deal dengan semuanya itu.

Hari-hari pertama di sekolah, saya tahu bahwa saya harus mengajarkan mereka beberapa nyanyian, untuk menarik perhatian anak-anak ini. Teman saya, Ratih, memang pernah memberikan usulan bahwa karena saya tidak bisa bernyanyi, lebih baik saya berpantun saja. Ide ini bagus juga, tapi saya tepis sebelum dicoba, karena cara paling mudah untuk masuk ke anak-anak memang adalah dengan menyanyi. Akhirnya di rumah, sambil berbisik (karena di rumahku banyak orang) saya terus menerus melatih lagu yang ingin saya ajarkan, sambil mengira-ngira apakah nadanya sudah pas, atau perlu turun sedikit (walau tidak tahu sedikitnya itu bagaimana) atau naik sedikit. Lagu yang saya ajarkan pun sebatas lagu-lagu yang mudah-mudah, yang hanya bersifat icebreaking saja, seperti kalau kau suka hati tepuk tangan dan sejenisnya. Bahkan untuk lagu yang segampang itu saja saya merasa nadaku masih mbleyot-mbleyot. Untungnya dasar anak-anak musikal, mereka bisa mengembalikan nadaku ke jalan yang benar.

Saya pernah harus mengajar lagu Desaku Yang Kucinta. Di rumah saya coba menyanyikan lagunya, ternyata kok sangat tidak mirip dengan lagu aslinya. Saya coba lagi, tetap tidak bagus. Akhirnya saya buka laptopku, saya cari lagu Desaku itu. Lagunya ada, tapi hanya midi saja, tanpa kata-kata. Tidak kurang akal, di kelas saya pura-puranya memberikan tantangan baru bagi mereka. Saya mengatakan bahwa sekarang kita akan belajar lagu, tapi dengan cara yang bapak buat lebih sulit. Caranya yaitu adalah saya menuliskan liriknya di papan, anak-anak mendengar musiknya, dan akan mencoba menyanyikan lagunya. Saya lalu memutarkan musik itu 3 kali, lalu di kali keempat saya mengambil ranting kayu, menunjukkan bagian lirik lagu yang dinyanyikan sesuai dengan musik yang sedang terputar. Cara mengajar lagu metode karaoke ini ternyata boleh dibilang sepertiga berhasil. Saat dicoba tanpa memutarkan lagu di laptop, nada dan tempo dari anak-anak tidak sama. Saya juga tidak bisa membetulkannya, akhirnya saya ulang-ulang kembali dan minta anak-anak maju ke depan, sampai nyanyian anak-anak lumayan mirip dengan lagu Desaku. Pelajaran pun saya akhiri dengan kemampuan anak menyanyi Desaku hanya sekitar 40% saja.

Di kesempatan lain, saya pernah mengajarkan lagu Burung Kutilang. Karena tidak terlalu sulit, saya mencoba menyanyikannya. Ternyata anak-anak malah menyahut: “pak, putar laptop sudah....”. Ternyata nadaku tidak jelas, dan mereka meminta saya memainkan musiknya di laptop. Di kali lain pula, saya harus mengajarkan lagu Bangun Pemudi Pemuda terhadap anak-anak (cerita ini sudah saya tuliskan di tulisan ‘Akhirnya: Upacara’). Strateginya adalah saya menunjuk anak yang suaranya paling bagus sebagai dirigen, lalu memintanya menemuiku sepulang sekolah. Saya memutar MP3 lagu itu di laptop berulang-ulang, meminta ia menyanyikannya bersama musik, lalu mematikan musiknya dan memintanya menyanyikan lagi, sambil saya memberitahu bagian mana yang nadanya belum benar, lalu memutar lagunya lagi dan memintanya mendengarkan. Setelah sama nadanya, baru saya memintanya berlatih sambil mendirigeni lagu. Barulah setelah itu, si dirigen yang bertugas mengajarkan kepada anak-anak lain. Ngelesnya sih, saya berarti memberdayakan anak-anak dengan baik, bahkan mengajarkan mereka bagaimana menjadi guru bagi teman yang lain. Hehehehe.

Kadang-kadang, kalau saya menciptakan lagu untuk pelajaran yang  nadanya diambil dari lagu yang sudah populer (mis: Naik-Naik ke Puncak Gunung, Apuse, Happy Birthday), saya memberitahukan kepada mereka bahwa lagu ini nadanya diambil dari lagu apa, biasanya dengan satu kali latihan mereka sudah bisa menyanyikan lagu itu sesuai dengan yang sudah kurancang. Ternyata menjadi guru amusikal di anak-anak musikal ada untungnya juga, guru tidak usah terlalu ngoyo mengajar lagu.

Sebagai guru, saya mengatakan apa adanya kepada anak-anakku, bahwa bapak guru mereka ini tidak bisa menyanyi dengan baik, karena itu bapak lebih suka memutarkan lagu dan meminta anak-anak untuk belajar sendiri. Padahal harapan anak-anak dan warga sangat besar. Anak-anak terus-terusan meminta saya bermain gitar sambil mereka bernyanyi, seorang guru sekolah minggu mempersilakan saya untuk melatih paduan suara anak-anak. Dengan apa adanya saya mengatakan keterbatasanku dalam bidang musik, sambil mencari tahu orang-orang desa yang pintar menyanyi dan memainkan alat musik, untuk diminta tolong nantinya melatih anak-anak atau mengajarkan seni musik di kelas.

Dengan segala keterbatasan itu, saya bersyukur anak-anak tetap sangat semangat mendengarkan saya mengajarkan lagu baru, dan saya sangat bangga mereka begitu mengapresiasi apa yang saya berikan dengan terus menerus menyanyikan lagu-lagu yang saya ajarkan di setiap kesempatan, bukan hanya di sekolah saja. Salah satunya adalah saya meniru metode dari Ayu di Halsel, yang menciptakan lagu tata tertib bagi anak-anaknya, karena anak Maluku senang bernyanyi. Benar saja, lagu itu lalu dinyanyikan anak-anak di setiap waktu.

Seringkali saat anak-anak sudah asik menyanyi, saya diam saja dan mendengarkan suara-suara mereka yang merdu. Hari Sabtu kemarin misalnya, Pak Edi, rekan guru di sekolahku, mengajak anak-anak menyanyikan lagu-lagu Gereja dari Kidung Jemaat. Saya duduk saja di luar kelas, menikmati desir angin dan pemandangan laut di kejauhan sambil mendengar nyanyian anak-anak itu. Di rumah juga begitu, mereka sering berkerumun di sekelilingku dan menyanyi. Saya diam saja, hanya tersenyum dan memandangi mereka satu per satu. Saya mungkin bukan penyanyi yang baik, jadilah saya pendengar nyanyian yang baik.

Di akhir semuanya, saya pelan-pelan tahu kenapa Tuhan menggoreskan jalannya menempatkanku di tanah Maluku ini, menjadi mungkin satu-satunya orang yang tidak bisa menyanyi di seantero Kepulauan raksasa ini. Saya sungguh diajarkan untuk menerima diriku apa adanya, dan dengan apa yang ada itu sebisa mungkin berusaha keras untuk memberi yang terbaik. Nyanyian di bibir saya tidak merdu, tapi percayalah hatiku selalu bernyanyi dengan kencang dan tak akan lelah untuk menghadirkan melodi-melodi di ruang kelasku, di kehidupan matahari-matahari kecilku di sini.

Wadankou, 1 November 2011 


Cerita Lainnya

Lihat Semua