info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sumpah Pemuda di Tubir Laut Banda

Dedi Kusuma Wijaya 21 Desember 2011

 

Terakhir kali saya mengikuti upacara Sumpah Pemuda adalah beberapa tahun lalu sewaktu saya masih kuliah. Saat itu para mahasiswa baru dan penerima beasiswa –dua elemen yang paling dengan sukarela bisa disuruh- diharuskan datang dan mengikuti upacara. Jujur saja, saya tidak merasakan setitikpun kekhidmatan di upacara itu, selain seremonial belaka dan ‘tiket’ menerima beasiswa. Saya yakin semua peserta upacara juga merasakan hal serupa.

Di tahun dua ribu sebelas ini, saya kembali mengikuti, atau lebih tepatnya, mengadakan upacara bendera dalam rangka Sumpah Pemuda. Idenya berawal dari beberapa hari lalu, saat saya menyadari bahwa penanggalan sudah menginjak tanggal 20an Oktober. Kebetulan sejak beberapa minggu lalu saya sudah menginisiasi dilakukannya upacara bendera di sekolahku (baca: Akhirnya Upacara Juga), dan anak-anak sedang dilanda demam upacara. Saya lalu bertekad untuk mengadakan upacara Sumpah Pemuda di sekolahku. Kepala sekolah menyetujui usulanku, dan bersama Bapak Renfaan, guru honor rekan kerjaku yang sangat mencintai pekerjaan baris berbaris, kami dengan ala kadarnya menyiapkan anak-anak untuk bertugas di upacara Sumpah Pemuda ini.

Sewaktu sekolah, saya bukan seorang murid yang aktif menjadi petugas upacara, dan karena itu saya jujur saja tidak punya banyak pengalaman melatih upacara. Untunglah ada bapak Renfaan yang bisa melatih pengerek bendera, kalau tidak pastilah antara guru dan muridnya beda-beda tipis saja pengetahuannya. Saya lalu menulis susunan acara dan mengarang doa di kertas HVS, yang dijepitkan di papan tulis SPMB.  Satu hal yang agak memalukan, saat akan menulis teks sumpah pemuda, saya lupa dengan pasti susunannya. Setelah berusaha mencari di sela-sela memori saya, saya mengutak atik laptop dan untunglah menemukan lagu Bangun Pemudi Pemuda yang dinyanyikan Coklat. Di awal lagu itu ada pembacaan sumpah pemuda, yang susunannya adalah Mengaku Bertanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, lalu Menjunjung Bahasa Persatuan. Berbekal informasi dari lagu itulah saya menulis di kertas teks Sumpah Pemuda yang akan dibacakan pada saat upacara.

Selepas pulang sekolah tanggal 27 Oktober, di waktu apel siang, kepala sekolah mengumumkan bahwa besok akan diadakan upacara bendera. Kepala sekolah bertanya seperti ini: “anak-anak sekalian, besok adalah tanggal 28 Oktober, dan untuk itu kita akan mengadakan upacara bendera. Ada yang tahu besok kita memperingati apa?”. Santini, anak kelas 6, dengan penuh percaya dirinya berteriak menjawab: “Hari olahraga sedunia pak!” Saya juga tidak habis pikir kenapa dari sekian banyak pilihan jawaban ia bisa menjawab hari olahraga sedunia. Kepala sekolah pun membetulkan, memberitahukan bahwa yang besok akan dilakukan adalah upacara memperingati Sumpah Pemuda. Semua anak senyap, tidak ada yang memahami apa sebenarnya Sumpah Pemuda itu.

Latihan upacara dilakukan sorenya, dengan petugasnya baru ditunjuk pada saat apel setelah pulang sekolah. Saya punya satu PR sebelum latihan: mengajarkan lagu Bangun Pemudi Pemuda kepada dirigen dan juga anak-anak. Masalahnya saya mungkin adalah guru dengan kemampuan menyanyi terburuk di Maluku ini, yang nadanya selalu berlayar ke sana kemari saat menyanyi. Nindy, anak yang bertugas menjadi dirigen-pun akhirnya ‘kulatih’ khusus sepulang sekolah. Caranya, saya memutarkan lagu Bangun Pemudi Pemuda di laptop sebanyak lebih dari sepuluh kali, setelah itu memintanya untuk menyanyi. Saya hnaya bisa memberikan komentar seperti: ‘di bagian menjadi tanggunganmu itu nadanya kurang tinggi’, tanpa bisa memberikan contohnya. Syukurlah, setelah setengah jam berlatih ia sudah bisa menyanyikan lagu ini. Sebagai catatan, mengadakan upacara di sekolah ini menyisakan satu tantangan besar bagiku tiap minggunya: mengajarkan lagu nasional yang baru, karena anak-anak di sini hanya bisa menyanyikan satu biji saja lagu nasional, Dari Sabang Sampai Merauke.

Sorenya, semua bagian berlangsung seperti biasa, sama seperti latihan tiga kali upacara bendera sebelumnya. Yang berbeda hanyalah di bagian menyanyikan lagu nasional. Nindy si dirigen harus menyanyikan lagu Bangun Pemudi Pemuda berkali-kali baru anak-anak peserta upacara bisa menyanyikan lagu ini di ‘jalan yang benar’. Sungguh ingin rasanya saya bisa membeli kemampuan bernyanyi saat ini, dengan harga berapapun juga. Setelah lima kali mengulang, lagu Bangun Pemudi Pemuda ini sudah mulai kedengaran ‘benar’.

Di luar itu, latihan upacara berlangsung lancar-lancar saja. Semua prosesinya sama dengan upacara bendera biasa di hari senin, kecuali Pembukaan UUD 1945 dan Janji Siswa ditiadakan, diganti dengan Pembacaan Sumpah Pemuda. Hanya satu kerikil kecil di Santini, yang menjadi pembawa acara: ia kesulitan membaca ‘Pembacaan Ikrar Sumpah Pemuda’. Ia terus-terusan membacanya dengan ‘Ikar’. Akhirnya ia harus kulatih khusus hanya untuk menyebut kata ikrar.

Di malam hari sebelum tidur, saya mencoba membuka-buka buku pelajaran, untuk menyegarkan lagi detail cerita Sumpah Pemuda, karena saya berencana mengajarkan tentang Sumpah Pemuda kepada muridku keesokan harinya. Setelah membaca buku PKn kelas III SD itulah saya baru menyadari kesalahanku yang cukup fatal: ternyata dalam teks Sumpah Pemuda poin pertama adalah tentang Tumpah Darah-Tanah Air Indonesia, bukan Bangsa Indonesia –yang sekaligus berarti narasi di lagunya Coklat itu keliru-. Keesokan paginya, saya datang mepet dengan waktu upacara dimulai. Untunglah saya masih sempat mengambil kertas, menyalin naskah Sumpah Pemuda yang betul, dan memberikannya ke anak yang bertugas membacakan Sumpah Pemuda itu, tepat sebelum upacara dimulai.

Pada saat upacara, syukurlah semuanya berjalan lancar. Kepala sekolah pada amanatnya bercerita tentang Sumpah Pemuda, bagaimana saat itu orang Indonesia terjajah, dan hanya segelintir orang yang bisa bersekolah. Juga bahwa kita harus bersyukur dan mengisi kemerdekaan dengan belajar giat –amanat yang pasti kita semua pernah dengar di waktu sekolah dulu-.  Lagu Bangun Pemudi Pemuda mengalun dengan lancar, begitu pula Ikrar Sumpah Pemuda dibacakan dengan mulus, dan dengan susunan yang sudah tepat tentunya.

Selesai upacara, semua anak masuk di kelas masing-masing. Di kelasku, kelas IV, saya memutuskan untuk bercerita tentang Sumpah Pemuda. Saya mengangkat sebuah meja, meletakkan kursi di atasnya, dan membuka peta Indonesia yang selalu ditaruh rapi di meja guruku. Saya membentangkannya dan meletakkannya di kursi. Setelah itu saya bertanya: “anak-anak, tahu tidak kita tinggal di negara apa?” Jawaban anak-anak ternyata di luar dugaanku, mereka menjawab: “Wadankou!” Saya mengatakan bahwa jawaban mereka masih salah, tapi beberapa anak tetap masih ngotot, tidak habis pikir apakah ada jawaban lain yang benar.

Saya pun mengingatkan bahwa kita ini tinggal di Wadankou, tapi berada di negara yang bernama Indonesia. Peta Indonesia kuambil, kupegang di depan dadaku, sambil menjelaskan bahwa inilah negara kita yang luas. Kutunjukkan sebuah titik kecil di peta yang bertulisan Wadankou, menjelaskan bahwa tempat tinggal mereka saat ini ada di dalam suatu negara yang sangat besar. Saya lalu bertanya apakah mereka tahu berapa jumlah orang yang tinggal di Indonesia? Ada yang menjawab: “6 ribu!” Melihat tampangku yang kaget, mereka membetulkan lagi, “6 ribu lima puluh!” “5 ribu sepuluh seratus!” dan jawaban-jawaban absurd lainnya. Saya pun memberitahu bahwa saat ini penduduk Indonesia ada sekitar 250 juta orang. Mereka sangat kaget, tidak bisa membayangkan jumlah itu (jelas saja, mereka tinggal di desa superterpencil dan jarang pergi ke tempat lain, desanya pun hanya berpopulasi 666 orang).

Saya melanjutkan penjelasanku tentang Indonesia dengan meminta mereka menyanyikan lagu nasional yang paling mereka hafal: Dari Sabang Sampai Merauke. Saya menunjukkan di mana letak Sabang, di mana letak Merauke, menjelaskan bahwa ada 17 ribuan pulau yang ada di negara kita, ada banyak orang dengan agama dan suku yang berbeda. Saya menuliskan di papan tulis besar-besar, ‘Saya: Maluku + Protestan’. Setelah itu saya menjelaskan, bahwa mereka adalah orang Maluku, dan beragama Protestan, lalu bertanya: “pernah tidak anak-anak ketemu orang Indonesia lain, yang bukan orang Maluku dan bukan agama Protestan?” Mulai ada yang menjawab orang Papua (banyak penduduk Wadankou merantau ke Timika, sehingga mereka akrab dengan tanah Papua). Saya tuliskan kata Papua di papan tulis, di bawah tulisan Maluku+Protestan tadi. Saya lalu bertanya, pernah ketemu orang Muslim? Mereka mengiakan, sehingga saya menambahkan kata Islam di bawah Papua. Saya bertanya lagi, pernah ketemu orang Cina? Ada yang menjawab: “pernah, bapak ini to orang Cina?” Dan mengalirlah kata-kata di papan tulis, Cina, Katolik, Makassar, Hindu, Jawa, Batak, dan seterusnya.

Diskusi panjang saya lanjutkan, dengan bertanya kepada mereka: “kalau bapak orang Cina, anak-anak orang Molu, bagaimana caranya sampai bapak bisa orang Indonesia, anak-anak juga Indonesia?” Mereka awalnya bingung, mereka jawab saja: Karena tetemanis! (Tuhan). Saya pun bertanya lagi: “tapi teman-teman yang Islam Indonesia juga to?” “Ia, pak!” Saya pun melanjutkan bertanya, “jadi apa yang buat kita yang Tuhannya berbeda bisa sama-sama Indonesia?” Saya terus bertanya, memancing mereka untuk berpikir satu hal yang membuat orang-orang Indonesia dengan beragam latar belakang itu menjadi satu: bahasa Indonesia.

Setelah ada yang menjawab bahwa yang menyatukan kita adalah pak presiden, bendera merah putih, salah seorang muridku, Balawur, pun kemudian menjawab bahasa Indonesia. Saya pun lalu menjelaskan, bahwa dengan Bahasa Indonesia orang-orang Papua yang bahasanya beda dengan orang Maluku bisa saling memahami dan seterusnya. Setelah mereka memahami peran bahasa Indonesia, saya menutup pintu kelas, mengibaratkan kita semua memasuki mesin waktu dan terbang 100 tahun ke belakang, di tahun 1911. Saya lalu menunjuk anak-anak ini ada yang berperan menjadi orang Papua, Maluku, Bali, Jawa, Betawi, Batak, dan mereka diminta berbicara satu sama lain dengan bahasa yang berlainan. Saat anak-anak ketawa karena ketidaknyambungan di antara mereka itu, saya pun lalu menceritakan lagi bahwa di masa itu, tiap-tiap orang di kepulauan Indonesia tampil dengan bahasanya sendiri, dan antara mereka malah berkomunikasi dengan bahasa Belanda, bahasa penjajah kita waktu itu (satu orang saya minta berperan sebagai pihak kompeni). Saya kembali memberikan konklusi, bahwa karena perbedaan itulah orang-orang kita tidak dapat bekerja sama mengusir penjajah.

Setelah itu kami pun masuk ke mesin waktu lagi dan terbang ke tahun 1928. Para anak-anak yang berperan sebagai pemuda dari berbagai daerah itu lalu saya minta berlagak seakan-akan berada dalam suatu rapat. Naskah pun saya berikan kepada mereka, singkat namun pesannya jelas. Setiap perwakilan bergantian berdiri, masing-masing menyampaikan suaranya, ada yang mengajak para pemuda untuk bersatu mengusir penjajah, ada yang berdiri dan berkata mari kita sebut diri kita Indonesia, ada yang dengan gagah mengatakan mari kita membuat bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia. Setiap anak berdiri, berteriak, membuat suasana kelas mencapai klimaksnya. Saya pun lalu dengan lantang mengatakan: “ dan di hari itulah, sesungguhnya negara yang bernama Indonesia lahir. Setelah semua pemuda itu berdiri, seorang pemuda berkacamata berdiri (satu anak saya minta berdiri). Pemuda itu bernama W.R. Supratman (namanya kutuliskan di papan tulis), dia berkata bahwa jika kita memang mau bersatu, saya sudah menyiapkan sebuah lagu untuk kita semua”. Pada saat itu, saya merasa nuansa magis sudah merasukiku, dan juga anak-anak di kelas. Dengan semangat Bung Tomo, saya berkata lantang: “anak-anak tahukah, lagu apa yang dimainkan W.R. Supratman dengan biolanya wkatu itu? Lagunya sangat penting dan kita nyanyikan sampai hari ini”. Anak-anak ini tidak tahu W.R. Supratman, tapi entah kenapa mereka dengan semangat menjawab: “Indonesia Raya!” Dan setelah jawaban itu saya langsung bereaksi dengan menyanyikan kalimat pertama dari Indonesia Raya, Indonesia Tanah Airku.... dan anak-anak pun setengah berteriak menyanyikan lagu Indonesia Raya secara serentak di kelas. Di momen itu, saya seperti mengalami trance. Saya sekelebat dapat merasakan semangat yang dibawa para pemuda di Kongres Pemuda II 83 tahun yang lalu itu. Rasa haru begitu meliputiku.

Selesai menyanyikan Indonesia Raya, saya lalu menulis isi Sumpah Pemuda di depan kelas, sembari menceritakan bahwa akhirnya para pemuda itu menuliskan sumpah mereka untuk hidup bersatu sebagai Indonesia dalam bentuk Sumpah Pemuda. Mereka lalu membaca tiga kalimat besar itu bersama-sama, dilanjutkan dengan menuliskannya masing-masing di selembar kertas sambil menghiasnya.

Di ujung kelas hari ini, saya menyimpan lembaran-lembaran kertas yang berisi salinan Sumpah Pemuda yang dibuat anak-anak dengan krayon warna-warni. Saya memandangi tulisan-tulisan yang jauh dari bagus itu (tulisan murid-murid saya masih banyak yang hurufnya salah dan tidak jelas), sambil duduk di pendopo kelas, memandang hamparan pohon kelapa dan sepenggal pemandangan laut di kejauhan. Di hari Sumpah Pemuda ini, saya merasa beruntung bisa diberi kehormatan mengajar di pelosok Nusantara. Kalau dulu-dulu saya hanya bisa mengutuk para pemuda –termasuk saya- yang bisanya hanya nyatai, ngegaul, namun sibuk demo tidak jelas saat Sumpah Pemuda, saat ini saya bisa berkesempatan menyumbangkan sesuatu bagi negaraku, bagi teman-teman kecilku di tubir Laut Banda ini, mengajarkan mereka tentang Sumpah Pemuda yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Saya ingat pesan dari Panji sewaktu kami training dulu: Pemuda Indonesia jaman sekarang mengisi kemerdekaan dengan karya demi karya. Semoga kami, para pemuda, bisa merawat Sabang sampai Merauke ini  dengan karya-karya kecil kami. Selamat Sumpah Pemuda!

Wadankou, 29 Oktober 2011 


Cerita Lainnya

Lihat Semua