Tante Natal, Sebuah Kisah Putus Sekolah (lagi)

Dedi Kusuma Wijaya 20 November 2011

Kemarin petang saya sedang duduk di depan laptop, mengetik catatan mengajarku ketika Natalia, istri dari saudara angkatku di rumah ini duduk di sampingku. Sebagai keterangan cerita, di rumah tempat saya tinggali ini saya mempunyai tiga saudara angkat yang tinggal bersamaku: Daniel, setahun lebih tua dariku tapi anaknya sudah dua, Ipus dan Nus, kembar berusia 20 tahun. Nus sudah mempunyai istri, yah si Natalia ini. Saya tidak pernah berbicara banyak dengan istri Daniel dan Nus, karena tidak mau dianggap macam-macam, apalagi usianya tidak jauh beda denganku. Karena itulah saya tidak pernah tahu asal-usul mereka, atau marganya apa, dll.

Sore itu tante Natal (begitu saya biasa menyapanya, sama dengan sapaan anak-anak padanya) duduk dan berkata: “bapak guru, saya su lama tidak pegang barang ini (laptop maksudnya), padahal dari SMP sampai SMA belajar ini terus”. Saya jawab saja dengan tanggapan seadanya, ternyata dia meneruskan lagi ceritanya: “ia, dulu waktu SMP di SMA di Timika, baru dua tahun ini saja tinggal di kampung lagi”. Rupanya dia mau bercerita sesuatu, jadi kuhentikan sejenak ketikanku, dan mulai mendengarkan ceritanya.

Natal membuka ceritanya dengan mengisahkan asal usulnya. Bapaknya berasal dari Kei (kabupaten Maluku Tenggara), sementara ibunya orang desaku ini, Wadankou. Natal lahir di desa ayahnya di Kei, tapi saat usia Sekolah Dasar pindah ke Wadankou, mengikuti ayanhya yang pindah tinggal di desaku ini. Memasuki usia SMP, mereka sekeluarga pergi merantau ke Timika, bergabung dengan banyak orang Wadankou lain yang sudah ada di sana. Timika, tempat Freeport berada –yang saya dengar sedang panas belakangan ini- adalah gula bagi banyak ‘semut’ dari berbagai daerah. Kata Natal, Timika adalah kota yang sangat besar, dan penuh dengan pendatang. Ada yang dari Jawa, Bugis, Manado, dan Maluku. Warga di desaku sendiri banyak sekali yang berada di Timika, ada sekitar 75an KK di sana –populasinya kurang lebih setengah dari jumlah penduduk desa ini sekarang.

Mereka di sana awalnya pergi merantau untuk bekerja sebagai pencari emas dan buruh bangunan. Karena sudah hampir dua generasi di sana, sudah ada yang anaknya akhirnya berkuliah dan menjadi guru di Timika.  Orang tua Natal sendiri di sana bekerja serabutan, tapi ia dihidupi oleh pamannya yang adalah seorang PNS dan bekerja di Kesbang. Kata Natal omnya ini sangat makmur, karena gaji pegawai di sana tinggi dan THRnya bisa beberapa kali setahun.

Di awal-awal ceritanya, Natal tampaknya ingin bercerita tentang betapa ‘berbeda’nya hidupnya dulu dengan sekarang. Sejak lulus SD ia sudah bersekolah di kota Timika, di sekolah Advent yang besar, lengkap dengan laboratorium komputer yang besar, mempunyai kurang lebih 40an komputer. Di sekolah itu guruya banyak dan bagus-bagus, tentunya ia membandingkan dengan keadaan sekolah di sini yang saya selalu katakan mirip ‘sekolah-sekolahan’. Sewaktu SMA ia bersekolah di sebuah Sekolah Katolik yang juga bagus. Di sekolah ia juga adalah anak yang aktif, dan cukup berprestasi, katanya. Memang sejak SD di Wadankou sini ia sudah tergolong sebagai anak yang pintar, katanya. Di Timika, ia hidup bahagia, bahkan ia sudah bercita-cita ingin kuliah dan menjadi PNS seperti omnya.

Chapter berikut dari ceritanya adalah tentang kedatangannya di Wadankou sini. Ia katanya berpacaran dengan Nus, suaminya sekarang ini, lewat telepon saja. Saat itu Nus bersekolah di Saumlaki , sehingga ada sinyal telepon. Sering kontak-kontakan lewat telepon, Nus pun mengajaknya untuk datang berkunjung ke Wadankou lagi. Natal dan keluarganya memang sejak meninggalkan desa tidak pernah kembali lagi ke sini, sehingga perjalanan Natal ke Wadankou ini adalah yang pertama kalinya sejak 5 tahun. Dari Timika ia naik kapal Pelni Kelimutu menuju Tual, dan dari Tual naik ferry ke Larat lalu dilanjutkan dengan motor laut ke Wadankou. Saat ia di Tual, ia menceritakan maksud perjalanannya kepada teman-temannya di Tual. Saat itu Natal duduk di bangku kelas 2 SMA, dan sedang liburan akhir tahun. Teman-temannya berkata, kalau ia sudah pulang ke Wadankou tidak bisa tidak, pasti akan kawin di sana.  Natal awalnya menyangkal perkataan teman-temannya ini, karena merasa bahwa ia sendiri belum kepikiran kawin dan masih punya cita-cita menyelesaikan sekolahnya lalu dilanjutkan dengan kuliah.

Sesampainya di kampung, ternyata ramalan temannya menjadi kenyataan, ia lalu kawin di sini. Saya sebenarnya penasaran, kalau ia memang belum mau lantas apa yang membuatnya lalu tetap kawin? Tapi saya urung menanyakan hal itu, karena entah kenapa saya merasa jawabannya akan ‘kurang bagus untuk semuanya’. Akhirnya saya hanya mengangguk-angguk saja, sambil bertanya wah kenapa bisa begitu yah? Dia hanya menjawab: “seng tau juga, tapi memang begitu orang-orang lain, kalau su sampai kampung ini biar bagaimana tetap saja pasti kawin”.  Jawabannya itu mengingatkan saya kepada banyaknya riwayat putus sekolah di kampung ini. Banyak yang pulang kampung, lalu neneknya atau mamanya berat melepas anaknya pergi sekolah lagi, jadi akhirnya putus sekolah. Ada juga  banyak anak laki-laki usia SMP dan SMA yang pulang kampung lalu karena terpengaruh dengan anak-anak putus sekolah lain di kampung akhirnya memutuskan tidak balik sekolah lagi. Anehnya, orang tuanya juga biasa-biasa saja. Saya selalu mengamuk dalam batin kalau mendengar kisah-kisah seperti ini. Dan kisah Natal, ternyata juga satu dari sekian banyak kisah putus sekolah di kampung ini.

Saya lalu bertanya bagaimana reaksi orang tuanya. Katanya awalnya orang tuanya menentang, tapi katanya mau bagaimana lagi, akhirnya orang tuanya merelakan saja anak gadisnya, anak sulungnya, putus sekolah lalu menikah di kampung. Natal lalu melanjutkan ceritanya, masuk ke dalam inti yang ingin diceritakannya. “Tapi beta rasa menyesal sekali putus sekolah. Apalagi kalau lihat anak sekolah bajalan depan rumah”.  Sangat terasa bahwa ia agak canggung bercerita denganku, tapi ia butuh seseorang untuk diceritakan masalah ini.

Setelah terdiam sejenak, membayangkan betapa mirisnya keadaan yang ia alami, saya lalu lanjut berbicara. Saya menanyakan apakah tidak kepikiran untuk melanjutkan lagi sekolahnya. Ia menjelaskan bahwa ia sebenarnya sangat ingin sekali bisa lanjut bersekolah, tapi Nus, suaminya, tidak sependapat. Nus mengusulkan agar lebih baik Natal mengambil ujian kejar paket C saja, untuk mendapatkan ijazah. Tapi si Natal ini sendiri tidak mau, ia merasa bahwa ia masih muda, dan dari bahasanya ia terkesan merasa tidak worth it lulus dengan ijazah SMA terbuka, selain karena dengan ijazah SMA terbuka peluang untuk mendapatkan kerja atau berkuliah di tempat yang baik jauh lebih kecil. Saya bingung juga, saya lalu mengusulkan agar bagaimana kalau Nus diboyong saja ke Timika, agar ia bisa bersekolah dan tidak jauh dari suaminya. Apalagi selepas SMA Nus juga tidak kuliah, hanya tinggal menganggur saja di desa. Siapa tahu dengan pergi ke Timika ia bisa mendapat pekerjaan yang tetap. Dengan setengah berbisik Natal berkata bahwa mungkin mama dari Nus, mertuanya, tidak mau kalau anaknya sampai merantau ke Timika.

Saya lalu mengemukakan saja opsi ide lain yang tersedia, yaitu bahwa ia berpisah sementara dengan Nus, sambil menunggu ia menyelesaikan sekolahnya. Sampai-sampai saya menceritakan kisah pribadiku sendiri, sebagai pembanding. Eh, si Natal juga mempunyai ketakutan, kalau laki-laki ditinggal sendiri takutnya nanti selingkuh dengan perempuan lain. Setelah semua opsi ditepisnya, mulai kelihatan bahwa ia seperti berada di Middle of nowhere. Ia cemas dengan keadaannya sekarang, tapi tidak punya energi lebih untuk melakukan perubahan. Tanpa ada konklusi, ia melanjutkan lagi curahan kegundahannya. Ia berkata bahwa karena sudah lama hidup di kota, ia tidak terbiasa untuk bekerja seperti perempuan-perempuan di kampung. Di sini setiap hari ia harus bangun pagi, membersihkan halaman, mengangkat air dari sumur, memotong kayu bakar, memasak nasi, mencuci baju. Awal-awal menikah –dua tahun lalu- pekerjaan-pekerjaan itu terasa sangat berat baginya. Tapi karena kalau tidak bekerja ia akan dapat semprot dari ibu mertua, maka mau tidak mau ia memaksakan diri untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah ini. Memang sih, sejak awal saya sudah memperhatikan bahwa Natal ini tidak seperti perempuan kampung lainnya, tidak terlalu cekatan dalam bekerja, dan perawakannya juga tidak terlalu seperti ibu-ibu muda lainnya. Bukan Cuma pekerjaan rumah, ia menceritakan lagi pengalamannya pergi mengikat rumput laut bersama Nus di kampung Seraturat (lokasi penanaman rumput laut, sekitar 20 menit naik perahu dari desa). Ia dipanggang sinar matahari seharian, harus turun naik laut lagi, sampai kulitnya yang katanya dulu putih sudah menjadi lebih gosong sekarang. “Aduh pak guru, beta tidak kuat ini kerja petani terus begini, lebih baik sekolah terus cari pekerjaan saja”.

Saya hanya bisa menjadi pendengar yang baik saja, karena ceritanya terus bertambah. Tentang Nus yang katanya bagaimana mau bekerja atau bersekolah kalau tiap malam sering mabuk dan pulang memukul istri. Di kampung ini memang minum mabuk sudah menjadi pemandangan harian, entah itu siang atau malam hari. Biasanya saat malam saya langsung tidur saja, tidak peduli dengan suara orang-orang mabuk di luar rumah yang sibuk berkelahi sesama mereka. Saya memang sekali pernah mendengar si Natal yang ketakutan karena ujug-ujug suaminya pulang dan langsung memukulnya.

Saya hanya bisa berbagi cerita hidupku dengannya, saya menceritakan pengalamanku dulu, yang karena satu dan lain hal tidak bisa berkuliah dan harus merantau bekerja di Jakarta. Dari pekerjaan serabutan itu, saya tidak pernah berhenti bermpimpi dan meyakinkan diri untuk bisa kuliah. Ternyata Tuhan membuka jalanku, saya bisa diberi biaya untuk kuliah, menyelesaikan kuliah dengan baik bahkan sempat menjadi dosen di almamaterku. Saya hanya bisa memotivasinya, mengatakan bahwa kemunduran satu langkah harus dibayar dengan lompatan ke depan lagi. Karena kalau tidak kita akan dihantui oleh kemunduran itu di setiap jejak dalam hidup kita. Saya meyakinkannya untuk tidak membuang waktu, untuk segera mencari cara untuk bersekolah lagi. Pesan untuk tetap bersekolah ini sudah sering sekali kuberikan ke banyak anak di sini, yang putus sekolah dengan beragam alasan.

Saya bukan feminis, atau sosiolog yang ingin menganalisa (atau mengutuk?) keadaan sosial budaya yang membuat banyak anak, banyak perempuan yang putus sekolah dan tersegregasi secara sosial di masyarakat dan seterusnya. Dari cerita sederhana ini saya hanya bisa menundukkan kepalaku, berdoa agar Tuhan mengulurkan tangan-Nya dan menarik Natal, dan anak-anak lain kembali ke bangku pendidikan. Sembari tak henti-hentinya menyampaikan pesan kepada semua orang, di kota ataupun di desa, bahwa tanpa pendidikan tidak ada kemajuan, dan hanya dengan pendidikan masalah-masalah yang turun temurun mendera kita bisa teratasi.

Semoga saja dua atau tiga tahun lagi, saat saya sudah berada entah di mana, saya bisa melihat Natal memasuki bangku kuliah, berlari mengejar cita-citanya. Amin.

Wadankou, 31 Oktober 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua