Mari Bersikat Gigi!
Dedi Kusuma Wijaya 24 Desember 2011Tuhan tidak pernah tidur. Ia selalu mendengarkan jeritan hati umatnya, baik yang disuarakan lewat doa atau lewat media lainnya. Kali ini, Ia mendengarkan jeritanku yang kutuliskan di tulisanku sebelumnya (‘Mengajarkan Hidup Bersih’).
Saya bercerita di tulisan itu tentang betapa susahnya saya mengajak anak untuk hidup bersih, utamanya karena banyak yang tidak mempunyai perlengkapan mandi seperti sampo, sabun, atau sikat gigi, apalagi odol. Sabun masih lumayan banyak yang punya, tapi sampo dan odol? Hanya sekitar 15% saja yang memilikinya.
Karena merasa tidak bisa memaksa orang tua mereka untuk menyediakan alat-alat mandi itu, yang bisa saya lakukan adalah tidak pernah berhenti mengampanyekan sikat gigi, pake sampo, dan sabun itu kepada anak-anak, selain tentunya dengan mencontohkan langsung. Untungnya saya tergolong orang yang menerapkan gaya hidup bersih sesuai dengan yang kupelajari di buku Bahasa Indonesia SD dulu: mandi dua kali sehari, dengan memakai sampo, sabun, dan menyikat gigi.
Nah, kebetulan, di desa ini, dengan ‘kemasan’ku yang kata orang desa seperti kasbi kupas (singkong yang sudah dikupas, alias putih cling), anak-anak yang selalu sibuk mengerubungiku senang sekali mengagumi setiap jengkal tubuhku.
Mereka suka membelai-belai rambutku sambil berkata: “Wiihh Pak Dedi pu rambut haluusss...heibattt (heibat kurang lebih berarti cool)”, lalu memegang-megang kakiku, mengagumi telapak kakiku yang bersih (anak-anak di sini tidak pernah memakai alas kaki kecuali ke sekolah, keluar masuk hutan dengan kaki kosong saja). Salah seorang anak malah bilang, waktu saya mandi dia dari luar kamar mandi sudah mencium wangi sabun yang wangi sekali, dan dia dengan semangat menceritakan ke teman-temannya.
Layaknya iklan sabun di televisi yang membuat kita terdorong untuk memakai sabun itu karena ingin menjadi seperti si artis yang wangi dan jelita, begitu juga efek yang terjadi. Karena ingin menjadi seperti saya, ada beberapa yang mulai memakai sabun dan meminta orang tuanya membelikan sampo. Ada anak yang perubahannya signifikan, mereka rutin memakai sampo sampai setiap hari wanginya sudah seperti orang-orang kota. Ada pula yang masih sekali-kali saja, seperti Tuni dan Malus, tetanggaku.
Satu hari saya kaget mencium wangi sampo tertentu dari rambut mereka yang biasanya bau sagu atau rumput laut bercampur matahari. Saya langsung memuja muji kedua anak bertetangga itu. Sayang sekali di hari-hari sesudahnya mereka sudah tidak memakai sampo lagi. Katanya, waktu itu mamanya hanya membelikan sampo sachetan beberapa biji saja, yang sudah habis dipakai. Akhirnya saya membeli sampo sachetan dua lusin, dan sekali-kali memberikan satu sachet kepada anak yang mau keramas. Sampai sana, itulah langkah terjauh yang bisa kulakukan untuk membiasakan kebersihan pada diri anak.
Sedikit melompat ke topik lain, di desaku baru-baru ini dilakukan pelantikan pejabat sementara Kepala Desa. Wafatnya kepala desa lama, yang adalah bapak piaraku di sini, membuat pemerintah harus menunjuk seorang pejabat sementara yang tugas utamanya adalah menyiapkan pemilihan kepala desa definitif. Yang ditunjuk untuk menjadi pejabat sementara ini adalah Pak Agus Narantery, seorang staff kecamatan yang masih muda (26 tahun), lulusan STPDN, dan kata Pak Camat, wajahnya mirip mendiang Adjie Massaid (yaah memang agak mirip sihh).
Satu lagi, istri Pak Agus adalah seorang dokter gigi lulusan Universitas Indonesia. Mereka bertemu di Kota Larat, tempat drg.Desly ini bertugas sebagai dokter PTT. Awalnya warga Wadankou, yang terkenal keras kepala, kurang menerima baik kehadiran pejabat sementara yang tidak berasal dari desa mereka. Tapi setelah seminggu berada di kampung, malah warga lebih segan terhadap bapak pejabat ini dibandingkan dengan pemimpin yang berada di desa mereka. Apalagi pak pejabat datang dengan nilai tambah, yaitu istrinya yang adalah seorang dokter. Ini membuat di desa ini akhirnya kedatangan satu orang tenaga medis, setelah sebelumnya apapun sakitnya orang hanya meminumkan Paracetamol (obat demam) atau Chloroquin (obat malaria) saja.
Saya sendiri senang dengan kedatangan Pak Agus beserta istri, karena itu berarti saya punya ‘teman’ di sini. Sejak malam pertama mereka hadir di desa, saya sering mampir ke rumahnya, untuk tidur siang ataupun ngobrol-ngobrol di malam hari. Satu waktu, saya berbicara dengan drg. Desly. Saya menceritakan tentang kebersihan anak-anak di sekolah, seperti yang sudah saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya. Ia menanggapi cerita saya dengan informasi bahwa ia memang sudah merencanakan untuk mengadakan penyuluhan gigi di sekolah. Saya menyambut baik niatnya, sambil menambahkan bahwa masalah anak-anak di sekolah ini adalah tidak adanya odol dan sikat gigi. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut lagi tentang penyuluhan itu, karena kami berganti topik setelah itu, yang kalau tidak salah topiknya tentang hantu-hantu (hehe, informasi tidak penting).
Dan di tanggal 14 November kemarin, bapak pejabat dan istrinya pun datang ke sekolah untuk memberikan penyuluhan. Sejak pagi sekolah yang kotor karena daun mangga yang berjatuhan ditambah dengan pecek sumbangan hujan semalaman sudah dibersihkan oleh anak-anak kelas 5 & 6. Anak-anak juga sudah diminta pulang untuk mengambil beker (gelas) kumur dan sikat gigi serta odol, bagi yang ada. Beberapa anak membawa sikat gigi orang tuanya, beberapa bentuknya sudah seperti rambut anak punk, tanda masa pakainya sudah jauh melewati kadaluwarsa. Satu dua anak yang membawa odol juga sudah menyikat giginya. Sebuah adegan yang sangat manis sempat terekam dengan kameraku.
Ito, muridku yang sangat slengean dan suka berkelahi di kelas, menyikatkan gigi adiknya, Ratih, yang baru duduk di kelas satu. Ito memegang sikat gigi Ratih, meletakkan odol, menyikatkan gigi, dan memberi Ratih air untuk dikumur. Adegan itu sekaligus menandai bahwa hari ini sungguh adalah ‘hari gigi sedesa’.
Dan ibu dokter pun datang, tepat jam setengah 9. Semua anak lalu dikumpulkan di kelasku, kelas IV. Di papan tulis ibu dokter sudah menggambar tubuh manusia, yang diberinya nama Budi. Ia mengajarkan anak tentang cara menjaga kebersihan tubuh, mulai dari cara mandi yang tepat sampai ke berolahraga secara teratur. Ia lalu melanjutkan ceritanya lagi dengan secara khusus mengajarkan tentang cara menyikat gigi yang benar.
Sebagai perangkat pembelajaran bu dokter sudah menyiapkan beberapa gambar lengkap dengan model gigi, yang membuat anak dapat membayangkan dengan lebih jelas cara menyikat gigi yang baik. Sampai di sini, sebagian anak memperhatikan dengan sungguh, tapi ada juga yang mulai tertidur atau sibuk saling mengganggu dengan temannya (seperti biasa).
Selesai menjelaskan cara menyikat gigi yang benar, bu dokter mengatakan satu hal yang membuat semua anak-anak terbangun: “Nah anak-anak, sekarang kita akan belajar menyikat gigi yang benar di lapangan. Nanti anak-anak antri, semuanya akan dapat odol dan sikat gigi masing-masing satu yah..” Wauw, sikat gigi untuk semuanya! Saya tidak menduga kalau bapak pejabat dan bu dokter ternyata benar-benar total dan niat dalam memberikan penyadaran tentang pentingnya menyikat gigi bagi anak-anak. Dengan uang pribadi ternyata mereka membeli sekardus besar odol dan sekardus sikat gigi anak, yang dilengkapi wadah yang penutupnya berbentuk hewan. Anak-anak beserta saya yang saat itu berperan sebagai fotografer jadi sangat bersemangat.
Dengan sikat gigi dan odol baru, anak-anak yang penuh semangat ini lalu mengambil bekernya masing-masing, mengisinya dengan air yang sudah disiapkan di sebuah ember sejak pagi hari, lalu mulai menyikat gigi bersama mengikuti arahan bu dokter. Beberapa karena tak pernah menyikat gigi sebelumnya giginya menjadi sensitif dan berdarah saat disikat. Walau begitu, semuanya tampak begitu semangat. Setelah menyikat gigi, mereka lalu secara bergiliran diperiksa giginya, beberapa dicabut giginya oleh bu dokter. Singkatnya, hari itu, dengan kemampuan dan keahliannya, pak pejabat beserta istri sudah membawa segenggam kebahagiaan bagi anak-anakku ini. Dan lewat tulisan ini, saya ingin berterima kasih untuk itu.
Hari ini, saat saya mandi sore, saya mendengar suara dari luar kamar mandi, seorang mama berkata kepada anaknya: “Heh, tidak usah sikat gigi lagi, besok lagi kalau mau pi sekolah baru sikat, jang sikat gigi terus-terus!”. Saya tidak tahu siapa yang mengucapkan itu, dan siapa anak yang keranjingan sikat gigi itu, tapi yang penting perubahan besar telah terjadi: anak-anak telah mulai menyikat gigi. Anak-anak yang sebelumnya tidak menyikat gigi dengan berbagai alasan: tidak punya odol, tidak punya sikat gigi, kata orang tua tidak baik menyikat gigi karena gigi akan menjadi lemah, telah mulai belajar hidup bersih. Saya tadi juga sempat melirik ember Malus, yang akan dibawanya untuk mandi di sumur. Di embernya yang biasanya kosong (karena mandinya cuma ngebyurr air saja) kali ini sudah terisi dengan sikat gigi biru bergambarkan gajah, sebotol sampo, dan tentunya odol baru. Tadi sore juga saya menyadari, anak-anak mulai rajin mandi. Kalau pertama kali saya datang di sini hampir 95% tidak mandi sore, saat ini hanya satu dua anak saja yang saat datang ke rumahku di sore hari tanpa mandi dulu sebelumnya.
Kalau awalnya saya merasa masalah membiasakan hidup bersih ini sangat berat karena ketiadaan perlengkapan, apa yang dilakukan pak pejabat dan istri membuatku sadar bahwa saya telah mengecilkan kekuatan Yang Kuasa. Ia mendengar keluhan-keluhanku, dan menjawabnya dengan kebaikan. Saya percaya, anak-anak Wadankou yang dekil ini akan menjadi anak yang terbiasa hidup bersih. Caranya bagaimana? Well, pasti Tuhan akan membuka jalan-jalan berikutnya lagi, saya yakin...:)
Wadankou, 15 November 2011
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda