Hari Pahlawan (1): Usaha Menghidupkan 10 November

Dedi Kusuma Wijaya 22 Desember 2011

 

Hari-hari terakhir ini, cuaca di desa sangat panas. Sehabis pulang sekolah saya lebih memilih untuk berdiam di sekolah, menggunting hasil karya muridku dan menempelnya di kelas, atau membuat catatan belajar harian, atau sekadar duduk-duduk mencari angin. Kebetulan sekolah terletak di daerah kampung bagian belakang dan lebih tinggi daripada rumahku, yang berada di ‘laut’. Oh yah, di desa ini petunjuk lokasi cukup dibedakan dengan ‘darat’ dan ‘laut’. Sekolah, karena letaknya cukup jauh dari pantai (kurang lebih 300 meter dari pantai), dikatakan berada di darat, sementara rumahku yang cukup dekat, hanya 50 meter dari pantai, disebut terletak di laut.  Kembali ke cerita awal, panasnya cuaca (kalau siang di rumahku sungguh seperti sauna, apalagi di kamarku) membuat keinginan untuk menulis sering terwujud, karena bahkan untuk berpikir pun tidak mudah akibat cuaca yang panas. Apalagi ini ditambah dengan anak-anak yang terus menerus datang silih berganti ke rumahku dengan segala macam perilakunya. Ada yang datang hanya untuk bermanja-manja padaku, ada yang mau membaca komik Doraemon, ada juga yang hanya berlari-lari saling mengejar satu sama lain sambil mengelilingiku. Yang paling membuat cuaca tambah panas kalau anak-anak mulai baku pukul. Mungkin karena daerah yang panas, anak-anak ini juga berdarah ‘panas’. Mereka hobi mengganggu, dan setiap kali diganggu temannya reaksi mereka pasti memukul, memaki, atau sejenisnya.

Di sela-sela hari yang panas ini, saya menyempatkan diri untuk membuat rencana-rencana yang akan saya lakukan selama bulan-bulan ke depan terkait dengan bidang kerjaku. Saya sedang memikirkan bagaimana cara membangkitkan kesadaran orang tua terhadap pendidikan. Di sini, sekolah belum terlihat sebagai sebuah institusi yang penting. Sekolah di desa ini punya saingan kuat, bukan dalam bentuk sebuah sekolah, tapi dalam bentuk ketidaksekolahan. Banyak anak yang pulang sekolah sesuka mereka, datang sekolah seperti datang kursus (dua kali seminggu), tidak punya buku, pulpen, dan berbagai macam hal lain. Dan di siang yang panas dan tak berangin itu, kepala saya juga pening memikirkan cara apa yang bisa dilakukan agar orang tua bisa mengetahui bahwa sekolah ini ‘eksis’. Saya sudah beberapa kali menjemput anak-anak yang tidak datang sekolah, juga sudah membuat buku penghubung siswa, dan melakukan kunjungan orang tua, tapi selain memakan tenaga, hasilnya juga masih jauh dari memuaskan. Di sela-sela keruwetan yang terjadi di kepala saya itu, tiba-tiba sebuah ide muncul.

Saya tiba-tiba menyadari bahwa saat ini tanggal 31 Oktober, dan sebentar lagi bulan November menjemput. Saya teringat, tanggal 10 November adalah hari pahlawan. Saya berpikir, kenapa tidak saya melakukan acara peringatan 10 November bagi anak-anak, yang dipertunjukkan di depan orang tua? Acara ini bisa membut anak-anak ‘tampil’, sesuatu yang mereka butuhkan untuk melatih kepercayaan diri mereka, dan juga bisa menunjukkan kepada para orang tua bahwa sekolah bisa memproduksi suatu karya yang nyata. Ide ini lalu diperuncing lagi dengan ekspektasi dari yayasan kami agar di sekolah kami bisa melakukan usaha untuk membangkitkan rasa nasionalisme, dan juga dari cita-citaku sejak masih sekolah dan kuliah dulu yang belum pernah tercapai, yaitu mengadakan acara yang berkaitan dengan 10 November. Dulu saya berkuliah di universitas yang mengusung nama kota tempat Hari Pahlawan terjadi, Surabaya. Saya beberapa kali mempunyai rencana memperingati hari pahlawan itu, mulai dari yang kecil-kecil, seperti mengisi majalah dinding kampus dengan berita hari pahlawan, sampai yang muluk-muluk, seperti mengadakan festival paduan suara se-Surabaya dalam memperingati hari pahlawan. Hasilnya? Semuanya pupus dengan satu dan lain hal (bisanya ‘satu dan lain hal’ bersinonim dengan ‘tidak mewujudkan niat menjadi aksi’).

Namun kali ini, saya memutuskan untuk meyakini bahwa ide ini bisa terlaksana. Saya sudah berhasil berpartisipasi aktif dalam acara 17 Agustus di kecamatan -17 Agustus yang paling berkesan dalam hidupku-, mengadakan upacara bendera Sumpah Pemuda pertama dalam sepanjang sejarah sekolahku –peringatan Sumpah Pemuda yang juga paling berkesan--, dan kali ini saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatanku yang hanya setahun di kampung ini. Walau hanya seminggu, saya memutuskan untuk tetap memelihara rencana besar ini.

Saya lalu memikirkan acara yang akan dibuat. Paduan suara pasti menjadi prioritas utama, mengingat anak-anak ini sangat lihai bertarik suara. Karena suara mereka bagus (baca ‘Murid Musikal, Guru Amusikal’), walau saya tidak bisa menyanyi –apalagi melatih nyanyi- tapi pasti mereka bisalah membuat paduan suara, pikirku. Yang berikutnya, karena saya pernah ikut tim drama di Gereja dulu, bisalah saya membuat drama tentang 10 November. Adanya drama ini juga pasti akan membuat mereka sungguh bisa memahami apa yang terjadi di hari pahlawan itu –dibandingkan dengan menghafal pelajaran sejarah-. Setelah semuanya kelihatan ideal, beberapa pikiran lain berusaha mentackle rencana ini. Mulai dari waktu yang mepet, kurangnya guru di sekolah, tidak adanya perlengkapan drama, dan sebagainya. Tapi pertarungan dalam pikiranku akhirnya dimenangkan dengan diadakannya acara ini.

Saya pun memulai rencana ini dengan melemparkan idenya kepada anak-anak terlebih dahulu. Saya bertanya, apakah mereka mau mengadakan drama untuk peringatan 10 November nanti? Ternyata saat saya menanyakan hal ini di depan kelas, juga di rumah saat anak-anak berkumpul di sekelilingku, saya melihat acungan tangan, sorakan semangat dari mereka, yang diikuti dengan rampas-rampasan peran, ada yang langsung mau menyanyi, ada yang mau main drama, ada yang mau ini, ada yang mau itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung mulai mengeksekusi keinginan ini. Saya pergi ke kepala sekolahku, menjelaskan bahwa tujuan diadakannya acara ini adalah untuk membuat anak-anak yang sebelumnya tidak pernah ‘merasakan’ efek sekolah bisa tampil di panggung yang beda dengan yang mereka alami sehari-hari. Selain itu juga untuk menarik perhatian orang tua yang selama ini sepertinya acuh tak acuh terhadap keberadaan sekolah.

Kepala sekolahku adalah orang yang tidak banyak bicara. Ia biasanya akan setuju-setuju saja, walau tidak pernah menunjukkan antusiasme yang lebih, cenderung datar-datar saja. Saya memberitahukan usul saya itu di satu malam, saat dia sedang nongkrong di rumah saudaranya yang terletak di tepi pantai. Kepala sekolah hanya mengangguk-ngangguk setuju saja, dan tanpa berpikir panjang saya langsung menindaklanjuti persetujuannya dengan memesan solar ke kapal motor yang bernagkat ke Larat, mengetik dan mengeprint naskah drama di rumah Pak Pejabat, pergi ke Adodo Molu untuk mengambil rok-rok putih sumbangan dari Toko Selatan untuk dijadikan properti drama, dan berbicara dengan rekan guru saya yang lainnya.

Di Adodo Molu saya pun berinisiatif mengundang bapak Camat secara lisan untuk hadir pada acara yang akan diadakan di tanggal 10 November malam itu, sekaligus meminjam wireless dan infocusnya untuk digunakan pada saat acara yang saya rencanakan itu nanti.  Di hari seninnya, Kepala Sekolah menginstruksikan agar waktu sekolah digunakan untuk latihan perisapan acara 10 November ini, mengingat hari Kamisnya kegiatan sudah akan dilaksanakan. Dan mengawali latihan itu, saya menghela nafas panjang, mensyukuri bahwa pada akhirnya saya bisa juga mewujudkan angan-angan besarku, yang sering hanya kandas sampai di dalam pikiran saja.

Wadankou, 8 November 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua