Hari Pahlawan (2) - Bapak Tidak Menyerah Sama Kalian

Dedi Kusuma Wijaya 23 Desember 2011

 

Hari ini adalah hari terakhir latihan Paduan Suara, MC, dan Drama dalam rangka perayaan 10 November 2011. Sejak dua hari lalu, kepala sekolah sudah meminta agar saya dan Pak Renfaan (guru honor yang adalah satu-satunya guru yang hadir di sekolah selain saya) untuk berkonsentrasi kepada latihan anak-anak ini. Jadinya, semua pengisi acara diminta berkumpul di kelasku, kelas IV, dan mereka melakukan latihan. Permasalahannya, bagaimana dengan anak kelas I-VI yang tidak mengikuti latihan? Mereka tetap dimasukkan di kelas untuk belajar. Pertanyaan berikutnya, siapakah yang akan mengajar mereka? Siapakah yang akan melatih anak-anak? Jawabannya sudah jelas: saya dan Pak Renfaan. 

Dan efek dari dua guru versus 6 kelas plus latihan drama ini adalah keletihan dan kepeningan yang luar biasa. Di awal kelas, pengisi acara diminta masuk di kelas IV, lalu kelas V-VI digabung menjadi 1, III-IV digabung menjadi satu, begitu juga kelas I-II. Saya dan Pak Renfaan pun berkeliling kelas, memberikan penjelasan singkat dan tugas (saya harus memutar otak mau mengajarkan apa di kelas yang campur baur seperti ini). Saat saya mulai mengajar di kelas III-IV, para pengisi acara mulai membuat keributan di kelas IV. Anak-anak ini sungguh jagoan sejati, mereka seperti tak lelah-lelahnya saling berkejaran, memukul, berteriak satu sama lain, dan segala macam bentuk kegaduhan lainnya. Saya baru mengajar sebentar, sudah ada beberapa anak yang enggedor-gedor pintu, dan saat dibuka mereka ternyata hanya iseng saja, tidak ada hal penting yang mau dilakukan. Pintunya sudah kukunci dan mereka sudah kuminta dengan sangat untuk tetap di kelas dan mulai latihan sendiri dulu, tapi tidak lama kemudian sudah ada yang memanjat jendela dan memajang mukanya di luar jendela. Kekacauan sempurna pun kemudian terjadi karena anak-anak yang di dalam kelas lalu berdiri di meja, memarahin mereka yang berada di luar jendela. Ada pula yang langsung membuka pintu, keluar dan mengejar anak-anak pengintip itu dengan potongan bambu (oh yah, mereka entah dari mana selalu saja siap dengan bilah-bilah bambu untuk dijadikan senjata pemukul teman). Baru setengah jam saja tangki energiku sudah hampir mendekati garis empty.

Saat saya sudah selesai memberi tugas, saya pun kembali ke kelas IV untuk memberikan latihan kepada pengisi acara. Namun proses masuk keluar kelas ini jangan dibayangkan sesederhana kelihatannya. Saya harus memanggil anak-anak yang sudah berkeliaran ke sana kemari, menghentikan anak-anak yang bermain bola dalam kelas, menghampiri anak yang sudah menangis, memarahi anak yang sudah membuka tasku dan mengambil spidol-spidolku untuk dijadikan alat gambar, dan melayani anak-anak yang sibuk mengadukan temannya: “Pak, anak-anak su tidak mau nyanyi lagi!”, “Pak, dia ambil bet pu bambu”, “Pak, Tini menangis”, “Bapak guru....Nus ada tidur itu”, dan sebagainya.

Akhirnya, demi efektivitas, saya memutuskan untuk memakai cara yang paling efektif untuk menenangkan anak-anak: merotan mereka. Saya menyampaikan sejak awal kepada mereka, bahwa selama persiapan acara 10 November ini saya harus memakai rotan agar kita bisa latihan dengan lancar. Sebagai catatan, mereka sendiri yang selalu meminta saya untuk memukul mereka sendiri. “Pak, pukul dong boleh” (Pak, silakan pukul saja mereka), lalu ditambahkan: “Pak, pukul dong keras-keras boleh”, ada juga yang langsung menyodorkan potongan kayu bakar untuk saya jadikan sebagai ‘senjata’. Ternyata, seperti Tolak Angin yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit dengan cepat, sabetan rotan ini bisa membuat anak-anak yang berlarian tidak karuan itu masuk kembali ke kelasnya.

Saya menskip proses latihan mereka untuk disimpan di tulisan lain. Yang ingin saya ceritakan adalah peristiwa yang terjadi tadi pagi. Pagi tadi, seperti dua hari kemarin, saya memberikan latihan sekaligus mengajar kelas. Dan seperti layaknya persiapan sebuah acara menjelang latihan, suasana menjadi lebih panas. Apalagi anak-anak ini sebelumnya belum pernah mengadakan suatu acara dengan persiapan seintens ini. Saya memang mencoba membuat latihan yang disiplin (terlambat datang berarti dapat hukuman) dan padat, mirip dengan pengalaman-pengalaman saya sebelumnya. Sejak pagi, saya sudah meminta mereka untuk berlatih sendiri sembari saya dan Pak Renfaan mengisi kelas-kelas kosong lainnya. Dan seperti biasanya, mereka lalu ribut sendiri. Saya mengajar namun anak-anak sibuk mengetuk pintu. Mereka mengadukan bahwa anak-anak ini tidak mau latihan, anak-anak ini begini, begitu.

Saya lalu masuk ke kelas, mengumpulkan mereka, dan berkata dengan keras:

“Anak-anak, tahu tidak ada berapa kelas di sekolah ini?”

“Enam paaakkkkk”

“Tahu tidak ada berapa guru yang mengajar hari ini?”

“Cuma Pak Dedi sama Pak Renfaan saja pak...”

“Nah anak-anak, capek ka seng kalau bapak dua orang, harus mengajar enam kelas?”

“Capek paakkk...”, jawab mereka lagi, sesuai dengan prediksi.

“Nah, kalau sudah tahu bapak Cuma dua orang, mengajar enam kelas, terus harus latih lagi paduan suara dan drama, jadi tolong anak-anak, bapak minta tolong bisa latihan sendiri dulu. Bapak lagi kasih pelajaran di kelas lain dulu ini. Bapak percaya anak-anak bisa latihan sendiri dulu. Bisa bantu bapak tidak?”

“Bisaaa....”

Dan saya pun meninggalkan mereka, kembali ke kelas V-VI.

Tidak lama kemudian, saya mulai mendengar anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan Indonesia Pusaka. Saya sudah mulai senang, batinku berarti anak-anak sudah belajar bertanggung jawab. Dan saya pun ke kelas mereka, dan mendapati anak-anak sedang saling marah satu sama lain. Tesi, si dirigen, marah karena anak-anak tidak memperhatikannya. Tapi reaksinya berlebihan, ia meninju perut Rani, berteriak keras, dan menghardik peserta paduan suara lainnya. Anak-anak pun tidak mau latihan lagi karena itu. Situasi kelas yang kacau balau membuat darah saya naik ke ubun-ubun. Saya lalu melihat Khaleb dan Ruben sedang bermain-main dengan bola milikku, yang saya letakkan di dalam tas yang terkancing rapat. Untuk memberikan shock therapy, saya mengambil kayu bakar pemberian anak-anak dan memukul pantat dua anak itu. Ujungnya ternyata lumayan panjang, karena Ruben, yang menjadi pemeran Bung Tomo, lalu ngambek dan tidak mau ikut latihan lagi. Ia mau pulang saja katanya.

Saya pun lalu mendekati Ruben, yang ngambek dan mukanya penuh kemarahan itu. Saya menyuruhnya berdiri, dan melakukan teknik tekanan psikologis yang sering saya gunakan kepada anak-anak di sini: saya berdiri rapat di depannya, yang secara psikologis berarti memasuki zona pribadinya. Saya memintanya menatap mataku. Dia menundukkan kepala (seperti anak-anak lain biasanya), namun saya mengangkat lehernya dan memintanya melihatku. Saya menjelaskan dengan tegas, bahwa saya memukulnya untuk menegaskan pada anak-anak bahwa mereka tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa ijin, dan karena ia tidak berlatih dengan baik. Ruben mulai melunak, dari cara pandangnya kepadaku. Saya lalu menyerang lagi,

“Ruben, kau capek? Saya juga capek”, “Kau jengkel? Saya juga jengkel”, “Bukan Cuma kau yang merasa capek, pusing, dan jengkel, saya juga. Tapi apakah saya kasih berhenti acara ini? Tidak to, saya tetap kasih lanjut, karena saya tahu anak-anak yang kepala batu ini, bisa bikin drama dan menyanyi dengan baik. Kau, juga dipilih jadi Bung Tomo bukan tanpa sebab, kau dipilih karena kau mampu, dan bapak tahu kau mampu. Jadi jangan menyerah karena ini yah?”

Dan di detik itu, saya tahu Ruben akan meneruskan perannya sebagai Bung Tomo.

Selesai mengatasi Ruben, saya melihat kelas sudah sangat tidak kondusif. Ada anak yang jengkel karena perannya di drama diganti, ada yang jengkel karena bambu runcingnya hilang, ada yang marah pada temannya, ada yang haus, lapar, bosan, dan sisanya menyerap aura negatif dari anak-anak yang lain. Saya pun memutuskan untuk melakukan motivational speech, suatu adegan yang biasanya saya lihat di adegan klimaks dari film-film.

Saya duduk di lantai, meminta mereka berkumpul membentuk lingkaran. Beberapa menolak untuk berdiri, masih tiduran di atas kursi. Tesi, si dirigen, masih ngambek dan tetap duduk di kusi dengan muka terlipat. Saya tetap menunggu, mengatakan bahwa saya tidak akan mulai sebelum anak-anak duduk diam. Dan inilah yang saya lakukan.

“Anak-anak, bapak tanya, siapa di antara kalian yang lagi jengkel saat ini?” Sebagian besar mengacungkan tangannya.

“Siapa yang capek saat ini?” Jumlah acungan tangan sama banyaknya.

“Siapa yang marah sama temannya saat ini?” Beberapa tangan teracung.

“Siapa yang merasa su tidak mau lagi ikut acara?” Ada satu dua orang mengacungkan tangan.

“Baik anak-anak, bapak tahu anak-anak rasa jengkel, capek, marah, dan malas saat ini. Bapak juga merasa anak-anak sudah ribut tidak karuan ini, tapi bapak tetap percaya anak-anak pasti tetap bisa bikin ini acara jalan”.

Saya lalu melanjutkan dialog retorisku itu ke

“Anak-anak, bapak tanya, kalau anak-anak baku pukul sudah biasa ka seng?”

“Sudah biasa pakk”

“Kalau anak-anak ribut la tidak dengar bapak guru sudah biasa ka seng?”

“Sudah biasa pakkk”

“Kalau anak-anak bicara kasar, berteriak-teriak, su biasa ka seng?”

“Sudah biasa pakkk”

“Nah anak-anak, kalau anak-anak tampil di depan orang tua, menyanyi, main drama, su biasa ka seng?”

Anak-anak lalu terdiam, lalu menjawab” “Belum paaakkkk...”

“Jadi anak-anak, kalau kalian baribut, berkelahi, menangis, tidak mau ikut kegiatan, itu sudah biasa! Bapak tidak kaget lagi! Tapi kalau kalian bisa latihan dengan baik, besok bisa tampil bagus di depan orang tua dan Pak Camat, itu baru tidak biasa, itu baru luar biasa!”

Saya mengatakan kepada mereka, bahwa alasan saya tetap bersusah payah melatih anak-anak yang berkelahi setiap waktu ini agar mereka bisa menunjukkan bahwa anggapan orang-orang, bahwa Anak Wadankou itu kepala batu, suka berkelahi, tidak bisa membaca, adalah anggapan yang salah. Itulah yang luar biasa, yang harus ditunjukkan oleh mereka.

Dengan setengah berteriak –karena mereka mulai terdiam- saya berkata lagi: “anak-anak, mungkin hari ini kalian sudah mau menyerah, tapi bapak tidak mau menyerah. Bapak tidak, dan tidak akan menyerah. Kalian harus tahu itu”. Kutatap wajah mereka satu per satu, dalam dalam. Dan sejenak, semuanya terdiam.

Sejujurnya, saya berkali-kali merasa frustrasi menangani anak yang tidak bisa diatur ini. Tapi di sinilah saya menyadari mengapa Pak Anies Baswedan selalu berkata bahwa mengajar adalah latihan kepemimpinan sejati. Di titik-titik kritis, sebagai pemimpin anak-anak ini, saya bisa memutuskan untuk quit, atau quit quiting. Dan mungkin karena saya sudah berjalan sejauh ini –bisa mendapat kepercayaan anak-anak dan mulai memahami mereka-, saya memutuskan untuk tidak menyerah. Tidak.

Wadankou, 9 November 2011 


Cerita Lainnya

Lihat Semua