Toiletsiana

Dedi Kusuma Wijaya 25 Desember 2011

Di awal-awal masa tugas saya sebagai Pengajar Muda, saya sempat membaca tulisan rekan saya yang bertugas di Fakfak, Ika. Ia bercerita tentang toilet barunya di desa sana, toilet umum tempat seluruh warga desa ‘menumpahkan hajatnya’. Saya beruntung, di rumah saya ada toilet sendiri, yang airnya selalu diisikan oleh saudara piara saya yang baik hati.

Di sekolah juga toiletnya sangat bersih, dengan air yang secara rutin diisi oleh anak-anak sekolah. Letak sekolah lumayan jauh dari sumber air, sehingga anak-anak sering diminta untuk membawa air dengan ember masing-masing. Embernya sih kecil, paling volumenya seperti segayung air lebih sedikit. Tapi karena semua anak diminta membawa air, bak air di kamar mandi sekolah bisa penuh juga.

Berbicara kembali tentang toilet, di Kecamatan Molu Maru ini toilet pribadi masih sebuah hal langka. Dari lima desa di kecamatan ini, desa yang mempunyai jumlah toilet umum dan toilet pribadi yang lumayan banyak (kira-kira 50% dari populasi) adlaah Desa Adodo Molu. Desa lain sendiri, seperti desaku, hanya mempunyai toilet dalam hitungan jari. Di desaku, hanya ada dua rumah yang mempunyai toilet pribadi dalam rumah (salah satunya rumahku) ,sementara ada 6 toilet umum, dari sekitar 150 KK yang ada di desa ini. Sumurnya sendiri (yang sekaligus menjadi kamar mandi umum) ada 5 buah.  Yang lainnya? Hutan dan pantai menjadi toilet raksasa.

Bicara mengenai toilet raksasa ini, Pak Camat punya pengalaman sewaktu pertama kali bertugas di kecamatan ini. Dalam kunjungan pertamanya ke Desa Nurkat, beliau terkejut dengan banyaknya ‘ranjau’ yang bertebaran di pantai, sampai ketika rombongan Pak Camat turun dari Speedboat mereka harus melompat-lompat kecil menghindari tebaran kotoran manusia itu. Pak Camat yang geram langsung meminta Kepala Desa meminta warganya membersihkan kotoran itu. Saat itu di Desa Nurkat hanya ada satu toilet, yaitu di rumah si bapak Kadesnya sendiri. Pertemuan berikutnya, setelah mewanti-wanti agar pantai bersih dari benda-benda itu, Pak Camat datang lagi. Ternyata toilet raksasa belum juga ditutup, sampai Pak Camat akhirnya bersama staff mengambil sapu lidi dan mulai membersihkan kotoran itu. Baru setelah itulah warga langsung datang membantu memberishkan, dan setelah itu setiap kunjungan Pak Camat tidak menemui ranjau darat lagi.

Itu kalau di Nurkat, bagaimana dengan di desaku sendiri? Di awal-awal sekolah, saya menerapkan aturan kelas di mana siswa yang mau keluar ke belakang harus mengambil kartu toilet dan langsung pergi ke belakang. Awalnya saya tidak memperhatikan di mana lokasi mereka ngetoilet itu, pikirku yah pasti sama dengan fungsi toilet sekolah pada umumnya, mereka buang air di toilet sekolah. Satu hari saya mau ke toilet, dan saya kaget karena kedua toiletnya terkunci rapat. Lho, terus selama ini mereka buang air di mana? Akhirnya saya melihat ke mana anak-anak pergi saat mereka mengambil kartu toilet. Ya ampun, ternyata mereka seenaknya saja buang air kecil di tanah, yang cewek tinggal mengangkat roknya saja, yang laki-laki lebih serampangan lagi, kadang-kadang mereka tinggal menurunkan celana dan buang air kecil di jalanan. Grrrrrr!

Mungkin karena kebiasaan di kampung kalau mau buang air cukup mencari sebidang tanah saja, sewaktu sedang di Saumlaki, ibukota kabupaten, perilaku ini juga terjadi. Waktu itu rombongan lomba Pesparawi yang hampir semuanya diisi oleh anak-anak SMA datang dan menginap di rumah Pak Camat. Sewaktu pulang dari gladi resik lomba, saya bersama anak-anak masuk lewat pintu belakang rumah Pak Camat. Beberapa anak perempuan langsung berlarian karena kebelet, alih-alih masuk ke toilet yang ada di belakang rumah Pak Camat, mereka pergi ke petak tanah kosong tepat di samping rumah dan katanya mau buang air di situ. Saya hanya bisa menggeleng-geleng kepala saja sambil mengomentari mereka, yang hanya tertawa sambil berlarian ke petak tanah kosong itu.

Kembali ke kampung saya, saya menemui fenomena menarik, juga tentang toilet ini. Untuk buang air kecil, lokasinya menyebar, karena di pinggiran desa masih banyak hutan. Tapi untuk buang air besar, lokasinya lebih terpusat, yaitu seperti yang lain, di pantai. Hanya saja yang unik, seperti layaknya toilet umum di mal-mal, ada toilet khusus pria, dan ada yang untuk wanita. Untuk laki-laki lokasinya ada di pantai sebelah kiri kampung, sementara untuk perempuan lokasinya di sisi sebaliknya, di pantai sebelah kanan kampung. Uniknya, berbeda dengan Nurkat, di Wadankou lokasinya sudah ‘terpusat’. Semua orang akan berkumpul di batu karang kedua dari kampung dan buang air besar di depan batu itu.  Tidak ada septic tank atau lubang galian, mereka cukup ‘meletakkan’ saja hajatnya di pasir pantai. Tapi karena lokasi buang airnya terpusat, pantai tidak terlalu kelihatan kotor seperti di Nurkat. Kalau hari siang, mereka akan buang air di batu karang kedua, yang dari kampung cukup jauh sehingga orang yang melihat di depan kampung hanya samar-samar saja melihat kegiatan jongkok menjongkok mereka. Tapi kalau hari malam, mereka cukup buang air di batu karang pertama, dengan alasan jelas: sudah gelap jadi tidak mengapa dekat-dekat, yang lihat cuma beberapa orang saja.

Setelah selesai buang air, kegiatan orang-orang ini selalu sama, yaitu berjalan ke pantai, kesannya seperti ingin bermain air. Tapi mereka lalu melakukan gerakan yang serupa, yaitu jongkok dan samar-samar kelihatan jelas dari kejauhan, mereka melakukan kegiatan yang anda semua pasti tahu maksudnya.

Pada akhirnya, saya bersyukur karena Yang Maha Kuasa begitu baik. Saya tergolong orang yang ‘rewel’ dalam soal toilet, dan untunglah dair sekian banyak rumah saya bisa ditempatkan di rumah yang ada toilet pribadinya, sehingga tidak perlu lagi repot-repot berjalan ke pantai dan mencicipi toilet terbuka itu. Sekian kisah pertoiletan di sini, semoga anda tidak membaca tulisan ini sambil makan..:p

Wadankou, 16 November 2011 


Cerita Lainnya

Lihat Semua