info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Tera Luturmas: Sekeping Semangat dari Tutunametal

Dedi Kusuma Wijaya 4 Desember 2011

Hari ini, Persatuan Guru Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya yang ke-66. Hari ini pastilah dirayakan oleh banyak orang, karena dengan daerah superluas, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah guru terbanyak di dunia. Banyak guru di sekeliling Nusantara yang hari ini mengadakan upacara, lomba-lomba, dan berbagai kegiatan lainnya untuk memeriahkan hari besar mereka. Saya sendiri ingin mewarnai hari guru ini dengan menyumbangkan sebuah cerita tentang seorang guru muda yang saya temui di pedalaman Maluku ini, yang sosoknya begitu menyemangati saya.

Tera Luturmas adalah seorang guru muda (27 tahun) yang lahir sekaligus mengabdi di SD desanya, SD Kristen Tutunametal. Desa bernama unik ini (Tutuna artinya tanjung, sementara Metal artinya putus-putus) terletak di Pulau Molu, sebuah pulau di kecamatan Molu Maru yang terletak sangat jauh dari ibukota kabupaten.  Saya pertama kali berjumpa dengan guru ini pada saat acara Kelompok Kerja Guru sekecamatan, di mana saya dan rekan saya Bagus menjadi pembicaranya. Sebagai trainer, sejak hari pertama pelatihan saya dan Bagus tentunya langsung membicarakan peserta yang menonjol. Dan sejak awal, Bapak Tera ini memang yang paling semangat. Sebenarnya dari segi pengetahuan, wawasannya terhadap duniap endidikan dan pengajaran juga belum terlalu banyak, tidak jauh beda dengan guru-guru yang lain. Yang membedakannya dengan yang lain adalah sepanjang pelatihan ia selalu berperan aktif dan kadang mencoba menjawab pertanyaan yang saya lemparkan, dan walau seringkali pemahamannya masih belum benar, ia tidak patah semangat dengan koreksiku dan tetap stabil mempertahankan semangatnya.

Dalam pelatihan kami yang diadakan selama enam hari, salah satu pekerjaan yang paling banyak memakan waktu adalah dimintanya guru-guru untuk membuat seluruh perangkat pengajaran selama satu semester. Mungkin bagi guru-guru di kota besar RPP dan kawan-kawan itu sudah pekerjaan rutin, tapi bagi guru-guru di desa yang selama ini mengajar dengan metode dan materi pengajaran sesuka hari mereka, membuat serangkaian dokumen persiapan pembelajaran yang rumit itu dalam waktu tiga hari saja sungguh seperti Bandung Bondowoso yang diminta membangun candi oleh Roro Jonggrang dalam waktu semalam. Selain jumlahnya banyak, konsep-konsepnya yang abastrak juga seringkali susah dipahami oleh guru-guru. Namun saya sungguh tergerak dengan apa yang dilakukan Pak Tera. Tanpa mengeluh beratnya tugas ini, setelah pelatihan ia langsung menghampiriku, menanyakan hal-hal yang belum ia pahami, dan langsung pulang ke rumah tempat tinggalnya di Adodo Molu (oh yah, selama kegiatan ini guru-guru dari empat desa lain menginap di Adodo Molu, desa tempat diadakannya kegiatan). Saya yang sedang duduk mencari angin di rumah Pak Camat melihat Pak Tera yang ternyata tinggal di seberang rumah Pak Camat. Rumah itu tidak bergenerator, sehingga Pak Tera bekerja cukup dengan penerangan pelita saja. Sampai saya meninggalkan rumah Pak Camat sekitar jam 11 malam, dia belum beranjak dari meja tamu dan sibuk menulis dokumen-dokumen pembelajaran itu di kertas HVS.

Keesokan harinya, Pak Tera yang kebagian mengerjakan semua dokumen pembelajaran kelas 6 kembali begadang mengerjakan tugas itu. Ia berinisiatif memanggil beberapa guru lainnya untuk ‘kerja kelompok’  di rumah tempat tinggal saya, yang juga hanya berpelita. Bagi orang Jakarta mungkin bekerja sampai larut malam adalah sebuah hal yang biasa, tapi bagi para guru-guru di desa ini, bekerja cukup sampai siang hari sepulang sekolah saja. Bekerja sampai larut malam adalah hal yang hampir tidak pernah terjadi. Namun itulah yang dilakukan Pak Tera dua malam itu. Ia melawan keterbatasannya, dan masih dengan berkemeja rapi ia bergelut dengan kertas-kertas dan pulpen, rasanya mereka bekerja sampai sekitar jam 3 pagi, lalu besok paginya datang lagi pada sesi pagi acara KKG ini.

Bapak Tera adalah sosok yang sangat energik. Penampilannya selalu rapi dan modis, tidak jauh beda dengan eksekutif muda. Walau penuh semangat, satu hal yang cukup berbeda dari dirinya adalah jarangnya ia berkata kasar, tidak seperti para pemuda Maluku pada umumnya. Ia sangat hangat namun tutur katanya sangat sopan dan terjaga. Hal ini membuat sebagai pribadi, ia mudah disukai orang-orang, dan juga harusnya anak-anak muridnya. Berbicara tentang anak murid, salah satu sesi dari pelatihan kami adalah tentang bagaimana melakukan pengajaran yang kreatif dan berpusat pada anak-anak. Kami mencontohkan bagaimana pengajaran yang menarik dan tak melakukan kekerasan kepada anak (biasanya rotan dan kawan-kawan adalah ‘senjata’ guru untuk membuat anaknya memahami sesuatu). Hal ini juga sesuatu yang sungguh baru, karena selama ini guru-guru terbiasa dengan metode ceramah yang dilengkapi dengan hukuman dan cacian bagi anak yang tidak kunjung memahami penjelasan. Untuk membuat mereka mencoba metode baru ini, dari hasil unidan beberapa guru tampil dan melakukan pengajaran dengan para guru peserta lain sebagai murid-muridnya. Pak Tera tampil mewakili kelas 6 dan mengajarkan tentang hewan laut. Saya terkejut karena ia sudah menggambar beberapa binatang laut dan menempelkannya di tripleks, laliu meminta beberapa murid maju dan memeragakan binatang-binatang tertentu, pendeknya sebisa mungkin ia berusaha menerapkan praktek pengajaran kreatif kepada seluruh guru yang hadir. Hasilnya, bukan cuma para guru-guru peserta yang terhibur sekaligus belajar dari simulasi mengajar yang dilakukan Pak Tera, saya juga tertegun dan sungguh penuh semangat melihat keinginan berubah dengan Pak Tera sebagai lokomotifnya. Selesai acara KKG itu, seluruh peserta sepakat menganugerahi gelar Peserta Favorit kepada dia, sebuah penghargaan yang menurutku sangat pantas melihar semangatnya yang sangat tinggi.  

Selepas KKG, karena saya sehari-hari bertugas mengajar di SD Kristen Wadankou (desa-desa di Molu Maru berjauhan dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan laut), untuk beberapa lamanya saya tidak bertemu dengan Pak Tera. Saya baru bertemu lagi ketika saya dan Bagus sedang berkumpul di Adodo Molu dan berencana mencari tumpangan untuk ke Kota Larat. Kebetulan saat itu Pak Tera sedang datang ke Adodo menggunakan kapal motornya. Selain jadi guru, ia memang juga menjadi petani rumput laut dan dari hasil tabungannya ia lalu membuat sebuah kapal motor. Pak Tera datang untuk mengantar kepala desa beserta rombongan Panitia Pemilu Desa, sembari pergi ke Pak Camat untuk meminta surat ijin tugas belajar. Dengan jujur ia mengakui bahwa sebagai lulusan D-2 dari Universitas yang saat ini sudah tutup, ia merasa masih membutuhkan ilmu lebih lagi. Untuk itu ia memohon ijin dari Pak Camat untuk memajukan namanya ke kabupaten sebagai salah seorang yang mendapatkan bantuan sekolah lanjut dari kabupaten. Kebanyakan guru yang lain memilih untuk mengikuti Universitas Terbuka karena prosesnya lebih mudah, namun alasan Pak Tera meminta tugas kuliah ini (yang berarti ia akan cuti di sekolah selama kurang lebih dua tahun) adalah karena menurutnya kuliah dengan tatap muka intens akan menghasilkan pembelajaran yang lebih maksimal dibandingkan kuliah jarak jauh. Selain itu dengan berlkuliah Universitas Terbuka ia bakal sering meinggalkan anak muridnya karena sedikit-sedikit akan dipanggil ke Saumlaki untuk melakukan keigatan perkuliahan. Mending sekalian tidak masuk dua tahun, tapi setelah itu bisa mengajar dengan rutin lagi. Ia juga berani mengajukan permohonan ini karena di sekolahnya baru kedatangan dua guru tambahan yang membuat jumlah guru sudah berlebih. Ini membuatnya lebih ‘aman’ meninggalkan sekolah.

Setelah selesai berbincang-bincang dengan Pak Camat itu, saya dan Bagus lalu ikut dengan kapal motor Pak Tera dan berangkat ke Tutunametal untuk menginap sambil menunggu kapal motorl ain yang akan berangkat ke Kota Larat keesokan harinya. Sambil duduk-duduk menikmati senja di pinggir pantai putih Tutunametal, Pak Tera menceritakan sebuah kisah yang membuatku bertekad harus menuliskan cerita tentang dirinya. Pak Tera bercerita, kalau sudah sejak 1,5 tahun terakhir ia berhenti merokok dan minum sopi atau minuman alkohol lainnya.  Bagi anda mungkin hal ini biasa saja, tapi karena saya hidup di desa, saya tahu betapa rokok dan sopi sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap laki-laki di desa. Selama ini saya belum pernah menemukan satu laki-laki pun di Molu Maru yang tidak merokok, apalagi tidak minum sopi. Sopi sudah menjadi bagian dari kehidupan warga di sini, walau benda ini selalu menimbulkan keresahan karena para laki-laki mabuk hampir selalu membuat keributan setiap malam. Saya pun lalu sangat tertarik dan bertanya lebih lanjut, hal apa yang membuat Pak Tera berhenti merokok dan meminum sopi.

Jawabannya ternyata sangat menarik. Pak Tera mengaku bahwa ia sebelumnya adalah peminum berat. Hampir semua kekacauan karena orang mabuk di Tutunametal dulunya selalu disebabkan salah satu oleh ia dan kumpulan peminumnya. Di pagi hari ia seirngkali sadar dalam keadaan pusing dan diberitahu orang lain kalau malam sebelumnya ia sudah merusak pagar atau berkelahi dengan orang lain. Satu waktu, selama dua hari ia merenung, merefleksikan keberadaannya. Ia lalu memutuskan untuk berhenti merokok dan minum sopi. Katanya, seandainya profesinya bukan guru, ia tidak punya alasan untuk berhenti melakukan dua kebiasaan buruk tersebut. Ketergantungan alkohol membuatnya tidak bisa berkonsentrasi saat mengajar, kadang-kadang saat sedang di kelas dan ada orang yang membunyikan musik di kejauhan konsentrasinya langsung hilang dan bau sopi seperti langsung tercium di hidungnya. Kadang-kadang ia langsung buru-buru pulang dan segera mencari sopi untuk diminum. Ia merasa malu karena sebagai guru tidak bisa memberikan contoh yang baik. Menurutnya, seorang guru harus melakukan hal yang baik agar anak-anak muridnya mau diajak berbuat hal yang baik pula. Dan karena ia sudah memilih profesi sebagai seorang guru, ia bertekad untuk menjadi guru sesungguhnya, yang bisa memberikan keteladanan pada murid-muridnya. Itulah titik baliknya, yang membuatnya menjadi orang yang berbeda setelah itu. Ia lebih senang mengisi waktu di rumah atau mengerjakan rumput lautnya dan mengurangi nongkrong dengan pemuda-pemuda kampung yang selalu berujung ke botol-botol sopi.

Setelah satu setengah tahun berhenti merokok dan minm, ada beberapa pemuda lain ynag lalu mengikuti jejaknya. Pak Pendeta sendiri mengatakan kepadaku bahwa belakangan ini jumlah kekacauan karena orang mabuk sudah berkurang. Terlalu tendensius kalau mengatakan semua ini karena peran dari Pak Tera, tapi setidaknya di desanya yang jauh dari keramaian, ia sudah berusaha menunjukkan bahwa sejatinya guru adalah pelita bukan hanya bagi para muridnya, tapi juga bagi orang-orang lain di sekitarnya.

Selepas perbincangan sore itu dengan Pak Tera, saya jadi yakin bahwa semangat selalu menggelinding kencang. Semoga dari Tutunametal kisah ini menggulirkan tekad baru pada guru-guru di negeri ini, di desa dan di kota, untuk tak lelahnya mengibarkan harapan bagi para anak-anak kita. Selamat hari guru, selamat melukis masa depan Indonesia!

Saumlaki, 25 November 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua