Minggu Terakhir Mengajar, Sebuah Pinta di Kelas Tiga

MirandaYasella 12 Desember 2015

Bulan dua belas. Minggu ini adalah minggu terakhir di semester ganjil. Artinya menjadi minggu terakhir aku mengajar. Aku sengaja tak memberitahu anak-anak kalau ini adalah minggu terakhirku mengajar. Bagiku, itu akan membentuk rona kelam di wajah anak-anak. Cukup rasanya hanya memberitahu bahwa minggu ini minggu terakhir sebelum Ujian Akhir Semester (UAS).

Hari Kamis ini sebenarnya jadwal kosong untuk Bahasa Inggris, mata pelajaran yang aku ampu. Tetapi karena Rabu kemarin libur Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maka Kamis ini menjadi hari pengganti. Hitung-hitung untuk latihan sebelum UAS.

Aku berjalan menuju lorong kelas V. Seperti biasa, anak-anak selalu menanyakan aku masuk kelas berapa. Sorak sorai terdengar dari kelas yang akan aku ajar. Dari jendela, ku lihat anak-anak mempercepat gerakannya baik yang menyapu, menata kursi atau yang dari tadi masih santai-santai di dalam kelas.

“Ibu, ijin mo ambil buku Bahasa Inggris.” sahut anak-anak begitu melihatku memasuki kelas mereka. “Iyo, ambil sudah. Rabu-rabu e. (cepat ya)” balasku sambil menghapus papan tulis. Jarak sekolah dengan rumah memang cukup dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku tidak memperbolehkan segala alasan mengenai buku ketinggalan karena bisa diambil di rumah.

Pelajaran berlangsung seperti biasa. Seperti biasa anak bersemangat, saling membandingkan nilai, bersorak “yes” ketika mendapatkan nilai yang bagus.  Pelajaran selesai, aku menuju kantor guru. Membicarakan hasil Pilkada kemarin dan bagaimana nasib guru-guru PTT setelah pergantian bupati.

Aku memutuskan untuk pulang setelah jam istirahat selesai. Tiba-tiba, ada suara yang sangat familiar memanggilku. ”Ibu, so mau pulang kah?” tanya anak-anak kelas III A. Entah sejak kapan mereka berada di luar kelas. “Iyo, bikiyapa kong? (Iya, kenapa)” ujarku menghampiri mereka.

“Ibu, ajar torang kah.” pinta anak-anak kelas III A. Ada yang mengeluarkan jurus mata berbinar, menarik-narik kecil tasku sampai memegang tanganku. “Ngoni pe ibu mana kong? Tara masok? (Ibu wali kelas kalian dimana? Tidak masuk?)”. “Tarada Bu (tidak ada), ajar torang matematika. Please please.” rengek Ambar.

Akhirnya aku luluh mengikuti permintaan anak-anak lugu ini. Kelas III A kebanyakan adalah  kelas II A yang sempat aku walikan sementara selama 3 bulan. Anak-anak pertama yang aku ajar. Anak-anak pertama yang menangisiku saat aku keluar kelas karena marah. Anak-anak yang sangat drama. Mengharukan sekaligus kadang menjengkelkan.

Aura kelas ini masih sama. Masih dengan Adelia yang hobi bertanya segala macam dan kata-kata khasnya “cocok”. Iki yang selalu pertama paham. Zumran yang selalu tekun menulis. Ambar yang selalu berbinar setiap tau hasil pekerjaannya benar. Aci dan Nala yang selalu mengumpulkan soal tanpa jawaban. Rizmi yang selalu mendengarkan baik-baik saat diterangkan. Semua masih sama. Seperti kembali ke bulan pertama.

Tidak lupa aku memberi nilai atas pekerjaan mereka. Berapapun nilai yang mereka terima, selalu ada kepuasan di wajah mereka. Tidak lupa ucapan “terima kasih Ibu” yang kadang agak berlebihan menjadi  “terima kasih Ibu yang cantik dan baik hati”.

Mungkin anak-anak lain lebih senang bermain dan jam pelajaran kosong. Anak-anak ini yang selalu menunggu gurunya hadir. Bersiap setiap pagi, entah jam berapapun gurunya masuk. Anak-anak ini yang meminta hadirnya guru. Anak-anak ini yang haus akan ilmu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua