Bu, Biar Kami yang Mengalah

MirandaYasella 4 Oktober 2015

Laut sedang teduh-teduhnya pagi itu. Aku, Bu Eda dan Pak Ramli bersiap untuk mengantar dua kelompok anak ke Desa Waya mengikuti babak penyisihan Lomba Calistung Kecamatan Mandioli Utara. Hari itu, kami bersembilan naik katinting Om Rinto dan diantar Om Amir. Pemandangan sepanjang menuju Waya adalah salah satu favoritku. Terlihat bukit-bukit hijau dan soki-soki (bakau) berbalut kabut yang belum hilang.

“Bu, saya takot.” ujar Sahlan. “Iya Ibu. Tong takot (Kita takut)” sahut Hendra dan Ririn menyambung. “Bikiyapa kong ngoni takot ? (Kenapa kalian takut)” tanyaku dengan sedikit manyun. “Bu, kalo tong kalah bigimana (Ibu, kalau kita kalah bagaimana)” Kata Sinta. “Apa Ibu suru pa ngoni samua harus menang. Iya kah tarada ? (Apa Ibu suruh kalian semua harus menang. Iya atau tidak)”. Mereka semua menggelengkan kepala.

Dengar e. Ibu cuma minta pa ngoni semua mencoba deng usaha. Kalah kah menang, itu tara masalah (Dengar ya. Ibu cuma minta kalian semua mencoba dan usaha. Kalah atau menang, itu tidak masalah)” kataku sambil menatap dalam-dalam ke mata anak-anak. “Supaya tong punya pengalaman to Bu ? (Supaya kita punya pengalaman kan Bu)” kata Safrudin. “Nah itu, Safrudin so tau. Bikiyapa masi ada rasa takot (Nah itu Safrudin sudah tau. Kenapa masih ada rasa takut). “Uwaaaaa, Indong harus semangat” teriak anak-anak. Katinting sempat agak miring karena anak laki-laki spontan berdiri.

Perlombaan dimulai. Anak-anak masih sesekali menatapku yang menunggu di luar. Tahapan pertama adalah lomba individu yang akan dikalkulasikan di nilai kelompok. Tahapan pertama terdiri dari membaca cepat, berhitung dan membuat kalimat sederhana. Pada bagian membaca cepat, sekolah kami mendapatkan peringkat kedua dari tiga sekolah yang ikut. Setelah melihat hasilnya, anak-anak tampak muram dan agak lesu.

Sahlan tiba-tiba mendekatiku, “Bu, biar Safrudin pe kelompok sudah yang maju final. Tong mengalah saja Bu (Bu, biar kelompok Safrudin yang maju final. Kita mengalah)”. Sahlan merasa dirinya yang menyebabkan nilai kelompoknya turun karena dia grogi saat membaca cepat. Mendengar kata-kata Sahlan itu aku duduk di sampingnya dan berkata bahwa ini bukan masalah sekolah kita menang atau kalah. Ini tentang menjalankan kepercayaan sekolah telah memilih mereka. Enam orang anak yang ikut lomba memang pilihan dari Pak Haju dan Kepala Sekolah.

Sahlan menatapku dengan sedikit berkaca-kaca. “Sahlan, Pa deng Ibu di sekolah samua percaya deng ngoni. Ibu juga percaya deng ngoni pe tamang. Samuaaaaaa (Sahlan, Bapak dan Ibu di sekolah semua percaya dengan kamu. Ibu juga percaya dengan  teman-teman kamu. Semuanya)” ujarku sambil memegang bahu Sahlan. Sahlan mulai menyunggingkan senyumnya.

Sungguh menjadi guru adalah lahan seluas-luasnya untuk menjadi bijak. Pengalaman ini adalah salah satu cara membimbing anak memaknai arti menang dan kalah. Menang sebagai hal yang biasa diterima atas usaha. Kalah sebagai hal yang biasa juga pemacu semangat kita untuk lebih baik.

Menang jang tinggi hati, kalah jang kecil hati (Menang jangan tinggi hati, kalah jangan kecil hati)


Cerita Lainnya

Lihat Semua