Mahalnya Jalan Aspal

Mirah Mahaswari 7 Oktober 2012

Jika selama ini kita masih memaki kemacetan saat hidup di kota besar, maka ada baiknya kini kita selipkan sedikit rasa syukur di tengah-tengah makian tersebut. Bersyukur, karena setidaknya jalanan masih berbalut aspal hitam.

Berharganya sebuah jalan aspal saya rasakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Desa Nanga Lungu. Desa ini terletak 250 km di sebelah selatan Kota Putussibau, yang merupakan ibukota Kabupaten Kapuas Hulu. Kabupaten penempatan saya selama setahun ke depan. Menuju kota kabupaten dari Bandara di Pontianak memakan waktu kurang lebih 20 jam, bisa menggunakan mobil ataupun travel dengan tarif 200 ribu-an. Setengah perjalanan berlangsung mulus, namun sisanya penuh guncangan karena kondisi jalan yang berlubang. Minum antimo dan tidur panjang adalah aktivitas yang sangat disarankan.

Dari Putussibau, perjalanan dilanjutkan dengan bis menuju Simpang Bongkong dengan lama perjalanan 6 jam. Simpang Bongkong adalah akses jalan raya terakhir sebelum menuju desa. Dari Simpang tersebut, Desa Nanga Lungu masih berjarak 30 km ke arah timur. Di sini lah biasanya tempat janjian saya dijemput warga kampung. Naik ojek motor juga bisa, tapi tak selalu ada. Lagipula tarifnya tak bersahabat, 300 ribu perak.

Kondisi jalan dari simpang ini sudah tak tergambarkan lagi. Ada yang berbatu-batu, dari kerikil sampai batu kali berukuran besar. Lubang atau parit berlumpur adalah rintangan sepanjang jalan. Belum lagi banyaknya tanjakan tinggi mengingat kontur alamnya perbukitan. Keberadaan sungai di tepiannya membuat kita acap kali melewati jembatan. Jembatan kayu tersebut kadang hanya terdiri dari 1 bilah papan, lebarnya pas seukuran ban. Stamina yang prima sangat diperlukan selama 3 jam perjalanan yang mendebarkan.

Jika musim kemarau, jalan ini mungkin masih bisa dilewati. Biasanya bekas ban motor orang menjadi petunjuk jalur mana yang sebaiknya dilalui. Namun sekalinya hujan datang, arah jalan sudah tak bisa ditentukan. Air akan menggenangi jalan berlubang dan tanah liat basah membuat ban sulit berputar. Kalau sudah begitu, moda transportasi air menjadi pilihan.

Anak-anak saya menyebutnya spit, serapan dari kata speed yang disini berarti sampan bermesin. Dengan mesin berkekuatan 15pk, jarak tempuh melalui Sungai Silat akan menjadi dua kali lipat. Empat jam berlayar via speed juga memakan biaya yang besar, yakni sekitar 500 ribu. Maklum, karena bensin yang dihabiskan juga lebih banyak. Belum lagi harga bbm per liter mencapai 9ribu rupiah di desa saya.

Setelah perjalanan sehari semalam tersebut, barulah saya boleh bernafas lega lantaran sudah selamat sampai di desa. Kadang heran juga, kenapa masih ada yang mau tinggal di daerah sesulit ini? Di kala minyak bumi yang keluar dari tanah mereka dipasok ke Jawa, anak-anak saya masih bermimpi melihat jalan aspal mulus di kota. Mereka hafal bunyi truk milik perusahaan sawit yang sayup terdengar. Terkadang mereka berlari dari kejauhan dan berteriak girang, bisik truk lalu! (ada truk lewat). Suara mesin speed pun kadang dijadikan bahan candaan, “Bu...ada pesawat lewat,” kata mereka. Haha.

Nak, Ibu tunggu kalian bikin pesawat beneran ya, kalau jalan belum di aspal juga, nanti kita bikin landasannya di lapangan sekolah saja! :p


Cerita Lainnya

Lihat Semua