Kalut Rumah Laput

Mirah Mahaswari 17 November 2012

Penghujung Agustus telah tiba. Kata orang di desa, bulan sembilan, alias September depan adalah awal musim penghujan. Aku sungguh menantikan datangnya hujan itu. Kemarau panjang telah membuatku hilang akal mencari air bersih sumber kehidupan.

Malam ini, akhirnya hujan deras mengguyur desaku. Namun tak disangka derasnya hujan menjadi tamu yang tak siap diundang. Saat pagi datang, anak-anakku berlarian ke sekolah dengan seragam basah. Tangan mungil mereka terlihat menggigil saat mengganti sandal dengan sepatu sekolah yang tersimpan di dalam tas. Beberapa anak pun tampak pasrah mendapati sepatunya berlapis lumpur tipis. Aku boleh tersenyum bangga bahwa hujan tak menyurutkan semangat belajar mereka.

Kelas masih berjalan normal hingga akhir pelajaran matematika. Setelah selesai me-review bab bilangan bulat, Lia berteriak sembari menunjuk ke arah jendela “Bu, aik mansang!” (air pasang). Deg! Selokan kecil di belakang sekolah telah luber oleh hujan semalam. Gerimis yang masih turun menambah deras debit air sungai yang mengaliri desa. Selepas jam istirahat, aku dan anak-anak langsung memantau ke arah jembatan. Benar prediksi mereka, separuh jembatan telah direndam air pasang. Tuhan, Kau boleh hentikan hujan ini sekarang, batinku.

Sepulang sekolah, anak-anak meminta ijin untuk menyimpan sepatunya di kelas, lantaran mereka harus berenang untuk pulang ke rumah. Jembatan sekolah sudah tak nampak lagi olehku. Sungai Lungu yang melintas di bawah jembatan kini kompak menyatu membanjiri jalan. Anak-anakku masih terlihat girang, mereka tak tahu bahwa senyum getir itu kusembunyikan. Tak pernah terbayang bahwa aku harus berenang sepulang sekolah kemudian datang ke rumah dengan baju yang basah.

Aku pun berusaha melemaskan otot yang tegang. Kamera kubawa untuk mendokumentasikan kejadian yang kuanggap langka itu. Tidak laki-laki, tidak perempuan, semua anak membuka seragam dan menyimpannya dengan rapi di dalam tas. Tinggal kaos dan celana dalam yang mereka kenakan. Tak peduli kotor, basah, atau lintah yang harus mereka terjang, anak-anak juara itu berenang melintasi jembatan yang laput oleh air hujan. Beberapa anak berinisiatif menyunggi tas temannya secara estafet, meskipun mereka telah selamat sampai di ujung jalan. Anak-anak Nanga Lungu memang jawara!

Ingatkan aku bahwa anak-anak itu bersahabat dengan alam. Merekalah didikan alam sesungguhnya. Sedari kecil kaki mereka sudah telanjang menapak hutan. Hidung mereka hafal bau hujan. Matanya mampu menerawang malam dan telinganya peka mendengar serangga. Tak nampak rasa takut mereka akan bencana alam, yang ada hanya cerita seru dan petualangan baru. Aku belajar banyak tentang ketangguhan dan kemampuan mereka membaca pertanda alam.

Hari belum sore saat kulihat anak-anak bersalto ria di lapangan sekolah. Rupanya mereka berlompatan di tanah yang telah tergenang air Sungai Silat. Sepertiga bagian dari lapangan rumput itu sudah berubah menjadi perairan. Kebun pisang yang mengitari lapangan telah laput di satu sisinya. “Bu, ayo ngegak (mencari) bekicot!” teriak Yanto. Seplastik penuh bekicot ada di tangan kirinya. Ia berujar bahwa daging bekicot akan menjadi santapan malam yang nikmat. Aku pun #heningkemudian.

Waktu menunjukkan pukul tiga dan semakin banyak anak murid berdatangan. Mereka telah puas berenang-renang di sekeliling sekolah lalu berkumpul memadati rumahku. Air memang tidak menunjukkan tanda-tanda surut. Suasana pun menjadi kalut. “Bu, rumah nuan laput nanak. Kemas-kemas jak, Bu!” (Bu, rumah Anda nanti kebanjiran. Berkemas saja, Bu!) ujar Yosef sembari mengintai jendela kamarku.

Rumahku memang dikenal rawan banjir. Banjir besar terakhir terjadi di tahun 2009, dimana saat itu air pasang sampai 2 meter di atas tanah. Meskipun semua rumah di desa ini adalah rumah panggung, tetap saja air datang ke dalam rumah. Semua buku dan inventaris sekolah habis dilahap banjir kala itu. Rumahku yang berdampingan dengan sekolah tentu tak jauh beda nasibnya. Wajar jika perhatian anak-anak kini tertuju pada keselamatan jiwa dan harta bendaku.

Mak Ani berteriak memanggil dari seberang jembatan. Ia menawarkan diri untuk menjemputku dengan sampan. Latar suasana saat itu sudah mirip film perang. Aku punya waktu satu jam untuk mengemasi barang-barang. Anak-anak tak henti berdatangan, sebagian membantuku, sebagian lagi sih duduk main kartu. Aku memilah barang apa saja yang sebaiknya dimasukkan ke dalam ransel dan ditinggal di kamar. Pada akhirnya justru nyaris semua barang siap dipindahkan. Haha, dasar Miss Rempong!

Sudah pukul empat lewat saat timpil Mak Ani datang. Suaminya, Pak Ani, yang turun tangan mengemudikan speed 15 pk. Timpil itu berlabuh persis di seberang tiang bendera. Benar kata muridku, air sudah pasang. Bersama beberapa anak, kardus-kardus dan ranselku sudah tertata rapi di atas sampan kayu. Sembari melaju pergi, ku lambaikan tangan pada rumahku. Semoga semua baik-baik saja harapku.

Malam ini aku resmi menjadi pengungsi. Belum tahu sampai kapan akan menginap di rumah keluarga Ani. Doakan saja semoga banjir besar tidak datang pada tahun ini. Supaya hatiku tidak kalut lagi.

 

Catatan

*laput   : banjir

*kalut   : tidak tenang

*timpil  : sampan kayu

*speed: sebutan untuk mesin pada sampan kayu

*pk        : satuan ukuran kecepatan speed


Cerita Lainnya

Lihat Semua