Bawakan Sinyal dari Kota

Mirah Mahaswari 26 Oktober 2012

Pinjam motor orang. Ajak satu teman. Pakai jaket dan celana panjang. Jangan lupa oleskan autan. Kurang lebih itulah persiapan saya jika akan berangkat ke bukit sinyal.

Ketiadaan jangkauan sinyal membuat penduduk desa harus pergi ke atas bukit jika ingin menelpon. Bukit sinyal merupakan sepetak tanah yang memiliki titik sinyal diantara luasnya hamparan hutan. Jika kita sudah duduk di sebuah titik yang bersinyal, usahakan jangan berpindah tempat. Bergeser sejengkal pun sinyal bisa hilang. Keberadaan sinyal juga bergantung pada cuaca, jika angin bertiup cukup kencang atau hujan, maka sinyal pun tak ada. Terdapat tiga bukit sinyal terdekat dari desa, yakni bukit Sagu, bukit Merambang, dan bukit Inggut. Hanya ada dua provider yang bisa diakses di sana, penggunanya mencapai 1500 jiwa.

Bukit Sagu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Medannya cukup sulit karena jalan setapak yang terjal, belum lagi tanah di bukit yang biasanya licin. Kita dapat mencapai titik sinyal sekitar 40 menit pendakian plus 10 menit menyebrangi sungai dengan sampan. Menelpon ke bukit Sagu memang memerlukan perhitungan waktu yang matang, setidaknya siapkan waktu minimal 3 jam sebelum matahari terbenam. Dua jam habis untuk perjalanan PP dan satu jam waktu untuk menelpon. Umumnya tidak ada orang yang menelpon di malam hari, karena teknologi penerangan belum masuk hutan.

Bukit Merambang dan Bukit Inggut letaknya berdekatan. Bisa dicapai dengan naik motor sekitar 20 menit perjalanan. Berjalan kaki sih tidak disarankan, karena akan memakan waktu sekitar 3 jam. Naik motor menuju bukit sinyal ini butuh nyali dan keberanian tinggi. Pasalnya, dari sekian kali saya pergi ke bukit ini, mungkin hanya tiga kali perjalanan mulus tanpa terjatuh dari motor. Haha. Kondisi jalan memang mengerikan. Jalan yang dilalui mungkin terlihat selebar mobil, namun hanya ada satu path yang menunjukkan jalan yang benar. Sisanya lubang bebatuan atau tanah liat yang pekat. Biasanya kecelakaan terjadi karena ban terselip di path yang salah. Terkadang motor pun tergelincir saat menuruni lereng bukit. Jika hujan datang, jangan sekali-kali berani melewati jalan ini. Dua betis saya sudah puas jadi korban. Tapi tetap saja, tak ada kata kapok demi sesuap sinyal.

Biasanya kami saling mengajak bila akan menelpon ke bukit. Jarang ada yang bepergian seorang diri, karena resikonya cukup tinggi jika tak ada yang menolong apabila kita terjatuh nanti. Di bukit sinyal, kadang kami bertemu dengan penduduk dari desa lain. Prime time untuk menelpon antara jam 1 siang sampai jam 5 sore. Tak jarang orang membawa minuman dan camilan untuk persiapan menelpon berjam-jam. Saya juga pernah membawa karung beras sebagai alas duduk di tanah, lantaran malas berdiri atau bergelantungan di atas pohon. Selain itu, sebaiknya kita mengoleskan obat anti nyamuk sebelum berangkat ke bukit. Lantaran banyak serangga tak dikenal yang siap hinggap kapan saja.

Saya tak pernah terbayang mengakses sinyal akan sesusah ini di era teknologi informasi yang serba digital. Ponsel saya rasanya lebih sering digunakan untuk mematikan alarm daripada sms-an. Mina, seorang murid di kelas empat, pernah meminta oleh-oleh saat saya akan berkunjung ke kota, “Bu, kalau pulang bawakan sinyal ya!” Saya terdiam. Lama. Entah kapan oleh-oleh itu bisa saya bawakan untuknya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua