info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Yes, Si Bocah Mulai Berani

Milastri Muzakkar 18 Desember 2011

Jika ditanya perkembangan apa yang terjadi dengan si-bocah-bocah di sekolah? Maka jawabannya adalah: berani. Saya ingat betul, bagaimana mereka dulu. Minggu pertama sampai kedua sekolah, mereka masuk dalam golongan orang-orang yang tiga D + P (datang, duduk, diam, pulang). Mata mereka memang memandang ke depan, ada yang sambil mangap, sebagian tampak kebingungan. bisa jadi karena mereka mendengar bahasa planet (karena terbiasa menggunakan bahasa Aceh).

 

Hari ini, saya melihat sebuah perubahan yang cukup signifikan.Tahap pertama, mereka berani mengangkat tangan meski setengah (terlihat ragu-ragu). Selanjutnya, mereka sudah mulai mau menjawab atau memberikan tanggapan dan kritikan meski dengan bahasa yang terpotong-potong, atau sesekali lengkap tapi dengan bahasa Aceh untuk sebagian kata, dan bahasa Indonesia sebagiannya lagi. Lebih lanjut, mereka sudah mulai berani menciptakan karya-karya bahkan untuk skala nasional.

 

Bagaimana itu bisa terjadi? Kesimpulan sementara saya begini. Pertama, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di kelas itu, saya langsung melempar satu butir kontrak belajar  yang mutlak disepakati:"Dilarang saling menunjuk. Bagi siswa yang ingin bertanya atau menanggapi silahkan angkat tangan."

 

Kedua, sampai saat ini, saya selalu mengatakan  "Jangan pernah takut salah. Saya tidak akan pernah melakukan kekerasan kepada kalian. Itu sudah prinsip saya.” Semakin kesini, saya baru tahu bahwa ini penting karena ternyata budaya kekerasan menjadi sesuatu yang ironis. Saya katakan ironis karena ini menjadi semacam doktrin yang tertanam dalam diri anak bahwa, kekerasan adalah cara yang paling ampuh untuk melumpuhkan anak yang nakal.

 

Ketiga, hampir di setiap pelajaran, secara tidak langsung dan langsung, saya selalu mendorong, bahkan terkadang menciptakan suasana yang ‘memaksa’ mereka untuk bicara. Suatu hari, di jam pelajaran kesenian/keterampilan, saya mengajak siswa membuat satu forum untuk berbicara sebebas-bebasnya, menilai, mengkritik, menanggapi, memberikan masukan tentang cara mengajar saya di kelas, serta peraturan yang telah diterapkan di kelas.

 

"Setelah sebulan lebih, saya melihat budaya disiplin belum nampak di kelas ini. Kalian masih sering melanggar kontrak belajar yang kita tetapkan. Kenapa? Apa masalahnya? Sekarang, silahkan kalian semua bebas bicara apapun,” kataku membuka pembicaraan.

 

Setelah beberapa menit hening, terlihat seorang siswa mengangkat setengah tangannya.

 

“Menurut saya, kenapa teman-teman masih nakal karena ibu diam saja. Mereka itu akan takut kalau ibu pukul,” kata Ardiansyah mulai berbicara.

 

“Iya bu, dicubit aja perutnya atau diangkat sini (sambil mencubit pelipisnya) aja bu,” tambah Jamaluddin.

“Saya bu. Kalau menurut saya disuruh lompat-lompat bu,” kata Mutia.

 

“Kalau saya lebih suka cara ibu yang lembut. Kami lebih senang kalau ibu nggak memukul seperti biasanya,”Kata Nanda Lia.

 

“Atau Disuruh hormat ke bendera di lapangan aja bu. kalau dia nakalnya pas jam pertama, berati dia dijemur dari jam pertama sampai jama istirahat. Kalau setelah jam istirahat nakalnya, berarti dijemur sampai pulang sekolah. Saya fikir dia akan jera bu, soalnya tangannya kan pegel, panas juga,’ Ardiansyah kembali mengusulkan.

 

“Oke, apa kalian sepakat dengan usulan Ardiansyah?” tanyaku.

 

“Setuju bu...”jawab sebagian siswa.

 

“Yang lain apa? Masih ada yang mau mengkritik atau memberikan masukan?” tanyaku lagi.

 

“Nggak bu, menurut saya, cara mengajar ibu bagus,” Kata Maulidin.

 

Keempat, tak henti-hentinya saya mengajak mereka untuk terus berani mencoba segala hal baru dan baik, mendorong mereka untuk selalu berprestasi. Ini saya lakukan tidak hanya di kelas yang kebetulan saya menjadi wali kelasnya. Saya selalu menyampaikan ini di setiap kelas, bahkan ke seluruh siswa yang saya jumpai di sekolah.

 

Sebulan yang lalu, saya melihat pengumuman di internet tentang lomba puisi tingkat nasional untuk anak SD. Tak ingin membuang kesempatan, saya pun membawa pengumuman itu ke sekolah dan menyampaikan kepada seluruh guru agar menyampaikan ke siswa di kelas masing-masing.

 

Melihat respon sebagian guru yang kurang cepat, saya berinisiatif memasuki semua kelas tinggi (lima dan enam) untuk mengumumkan lomba ini. Hasilnya, cukup menggembirakan. Ada enam orang siswa yang mau ikut lomba itu (saat ini dalam proses menunggu pengumuman hasil lomba).

 

Berikut salah satu karangan puisi yang dapat menggambarkan tumbuhnya cara berfikir dan sikap berani siswa:

 

Keberanian

Dulu, aku anaknya  pemalu 

Tapi  sekarang  tidak lagi

Sekarang  aku sudah jadi  anak  pemberani

Dulu,  kalau  bapak  atau  ibu  guru memberi   tahu  tentang lomba

Aku  tak mau  mencoba  karena takut  tidak  menang

Tapi  sekarang  tidak lagi

Kalah dan menang  setiap  ada perlombaan  aku  harus  ikut

Kata  ibu Mila, keberanian  itu membawa kecerdasan

Maka  sebab  itulah aku  berjanji  akan menjadi  anak yang pemberani

(Karya:Nanda Lia, kelas 5/A)

 

Kemajuan yang lebih menggembirakan lagi dalam minggu-minggu ini adalah semakin kreatifnya anak-anak dalam berkarya, misalnya, kemarin lima orang anak sudah berhasil  menciptakan lagu untuk ditempel di Mading. Bahkan, mereka sudah berani membuat surat untuk kepala sekolah, di mana di dalamnya tersirat kritik dan masukan untuk perbaikan sekolah.

 

Bisa dibilang, puncak kemajuan siswa adalah ketika untuk pertama kalinya mereka mengikuti Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu) dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda. Peserta perkemahan ini sebenarnya adalah siswa SMA dan SMP (bukan untuk tingkat SD). Tapi dengan lobi-lobi ke panitia acara, akhirnya saya boleh mengikutkan anak-anak di perkemahan tersebut.

 

Karena ada bocah-bocah kecil di antara kumpulan remaja, anak-anak ini cukup menjadi perhatian. Bisa dibilang beberapa di antara mereka menjadi ‘selebritsi’ sehari. Pada Malam Api Unggun, tiga orang siswa menghibur seluruh peserta yang melingkari api unggun. Sementara siswa yang lain mengajari tepukan (tepuk Dora) ke seluruh peserta yang lain.

 

Peningkatan tentu ini patut disambut. Dan, untuk mengapreasi keberanian mereka, saya ingin katakan : “Yes, si- bocah sudah mulai berani. Artinya, ini adalah awal kemerdekaan.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua