Buku Kejujuran
Milastri Muzakkar 16 Desember 2011Sebulan yang lalu, saya membagi note book kecil ke setiap siswa di kelas. Di desa ini, buku seperti ini biasa digunakan untuk mencatat jual-beli Pinang. Sampai satu hari, seorang siswa menjahili temannya yang kebetulan tidak hadir saat buku ini dibagi. “Bu, apa ini? Ini untuk menulis jualan Pinang ya? Saya nggak ada pinang sekarang bu, udah dipetik kemaren,” teriak Hanafiah. Dengan wajah sedikit heran, saya menjawab, “Pinang?” . "Iya, kata Nasaruddin buku ini untuk menulis jual pinang,” jelas Hanafiah. “Oh, bukan, ini adalah buku kejujuran. Setiap hari, sebelum pulang sekolah, setiap siswa harus mengisi buku ini dengan menceritakan semua yang dirasakan hari ini, misalnya, kecewa, senang, sedih, marah, dan semuanya. Selain itu, di buku ini juga bisa ditulis kritik, masukan dan saran untuk teman dan Ibu. Teman-teman kalian tidak akan membacanya, karena buku ini kalian pegang sendiri. Hanya Ibu yang boleh membacanya. Nah, setiap hari harus dibawa ke sekolah ya,” Jelasku. “Oh, saya dibohongi bu sama Nasaruddin. Dia bilang untuk tulis Pinang,” Tambah Hanafiah sambil tersipu malu. “Hehe...saya cuma bercanda Bu. Siapa suruh dia tidak datang waktu dibagi buku ini,” Celetuk Nasaruddin seraya membela dirinya. “Tahu nggak kenapa kita namakan “buku kejujuran?,” Karena di buku ini kalian bebas menuliskan apa saja yang kalian mau, yang mungkin tidak berani atau malu kalian ucapkan di depan umum,” Tambahku lagi. “Oh, berarti tidak boleh bohong di sini ya bu?”, Tanya Maulidin. “Iya dong, harus jujur. Kalian nggak perlu takut karena ini buku rahasia, hanya Ibu yang baca,” Tambahku lagi. Ide awal mengadakan buku ini sebenarnya berangkat dari hal sederhana. Saya mengidentifikasi karakter anak-anak di sini sangat pemalu, tidak berani, dan cukup tertutup dalam banyak hal. Di hari-hari pertama saya masuk ke kelas ini, hampir tidak ada siswa yang mau berbicara jika ditanya. Mereka pun kurang merespon hal-hal yang saya sampaikan.Tapi saya melihat di wajah mereka ada rasa ingin tahu. Senyuman mereka memperkuat itu. Awalnya, saya berasumsi mungkin mereka masih malu, atau tidak mengerti bahasa Indonesia, atau bahkan tidak mengerti dengan materi yang saya sampaikan. Setiap hari saya selalu mendorong mereka untuk berani bicara, tanpa peduli salah atau benar. Sebelum berbicara, saya mendorong mereka untuk berani dulu mengangkat tangan, tanpa peduli apakah akhirnya dia akan bicara atau tidak. Selang beberapa hari, berganti Minggu, kemampuan mereka mulai terungkap. “Siapa yang mau menolong saya menjawab pertanyaan ini...”, Tanyaku. “Saya bu, saya bu, saya bu...,” jawab beberapa anak secara bergantian. Dan, mereka pun mulai menjawab meski dengan kalimat yang tak selesai, atau dengan kata yang sebagian menggunakan bahasa Aceh, sebagian bahasa Indonesia. Pernah juga keberanian itu menjadi candaan. “Siapa yang berani ke depan membacakan puisi ini?”, Tanyaku. “Saya bu...,” teriak seorang siswa. Dengan senang hati, saya mempersilahkan dia ke depan. Dengan wajah tanpa bersalah siswa tersebut malah berkata “Hehe...nggak bu, saya cuma angkat tangan aja, nggak bisa jawab. Cuma bercanda aja.” “Hmm...baiklah,” jawabku dalam hati. Bukan masalah. Anggap saja ini proses awal bagi siswa untuk mulai berani. Setiap hari Sabtu, buku kejujuran dikumpul untuk saya periksa di rumah. Dan, seperti asumsi saya di awal, banyak hal yang tak terungkap di kelas, tapi terungkap di cerita-cerita mereka di buku ini. Mulai dari rasa senangnya karena dapat belajar bahasa Inggris-yang sebelumnya hampir tak ada-, bakat menulis puisi, sedih karena ada temannya yang berantem, benci kepada teman yang memukulnya tadi di kelas, kasihan kepada temannya yang hari ini dihukum membersihkan WC, sedih karena hari ini ibu guru datang terlambat, dan masih banyak lagi. Berikut beberapa tulisan yang saya kutip dari Buku Kejujuran siswa: “Saya senang hari ini karena akhirnya saya sudah bisa bikin puisi. Terima kasih ya bu Mila karena tadi sudah mengajarkan saya.” “Saya senang hari ini karena Ibu guru membagi kami menjadi kelompok-kelompok. Saya senang bisa belajar kelompok, kita bisa bekerja sama, bisa kompak. Saya senang kerja kelompok itu meriah karena saling memakai pendapat orang lain. Kata bu Mila, kita bisa menyatukan banyak fikiran dan menghargai sesama teman juga.” “Hari ini saya tidak senang karena saya mendengar teman saya mengucapkan kata-kata kotor. Saya mau bilang sama Ibu tapi takut dipukul sama teman itu.” “Saya sedih hari ini karena ibu Mila datang terlambat. Karena terlambat jadinya kelas ribut, semua lari-lari. Nggak suka!” “Aku selalu senang tapi nggak senang juga. Maksudnya, di kelas ini tuh laki-laki selalu berantem. Bagaimana ya caranya mengubah akal mereka. Saya merasa tidak aman.Apakah mereka tidak suka kalau tertib? Memangnya mereka merasa enak ya? Saya tidak senang kalau begini. Ibu jangan lupa bilang sama mereka ya! “Saya sedih hari ini karena dua teman saya menmgejek pekerjaan bapak saya.” “Saya senang banget karena hari ini Ardiansyah dihukum. Dia emang bandel kali. Dia sering memukul saya. Dia juga sering berantem dengan teman yang lain. Tapi setelah saya melihat dia di WC, saya jadi kasihan juga. Jadi saya sedih lagi deh. Lebih baik dia tidak usah dihukum.” Dari cerita-cerita mereka itulah saya belajar tentang siswa saya. Melalui buku ini, saya dapat melihat perkembangan mereka setiap hari.Fungsi lain dari buku ini adalah untuk melatih siswa menulis dengan baik. Salah satu kekurangan siswa di sini adalah kekacauan dalam pengunaan kata, tanda baca, dan kalimat dalam menulis. Meski mereka kelas lima, tapi dalam hal menulis tak jauh beda dengan siswa kelas dua. Nah, dengan setiap hari mengisi buku kejujuran, paling tidak mereka terus berlatih menulis dan memilih kata, serta tanda baca yang baik digunakan. Karena setiap minggu saya mengevaluasi tulisan mereka. Cara ini juga membantu saya khususnya, dalam pelajaran bahasa Indonesia. Dari cerita-cerita itu juga, saya mulai mengidentifikasi beberapa siswa yang terlihat punya bakat dalam menulis. Ini juga membantu saya untuk kepentingan pelatihan menulis—yang juga menjadi salah satu rencana program selama di sini—nanti. Mereka makin termotivasi ketika saya menempel salah satu tulisan--yang kebetulan di muat di koran-- di Mading kelas. “Ini tulisan ibu dari koran? Wah, saya ingin seperti bu Mila. Nanti tulisanku juga harus masuk koran atau majalah Bobo,” kata salah seorang siswa. Karena saya tahu mereka punya motivasi belajar yang tinggi, saya punya harapan besar untuk selalu mendorong dan memfasilitasi mereka menjadi anak yang lebih berani, apalagi dalam hal prestasi.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda