Belajar Toleransi di Baiturrahman

Milastri Muzakkar 5 November 2011

Belajar Toleransi di Baiturahman

(Dimuat di Koran Serambi Aceh, Rabu, 24 Agustus 2011)

Banyak orang mengatakan: orang Aceh itu berfikir tertutup terlebih terkait soal agama. Tapi beberapa hari yang lalu, saya menemukan fakta lain. Malam itu, saya sholat taraweh di mesjid Baiturrahman. Ini kali pertama saya berkunjung ke kota Banda Aceh. sehingga tak mau melewatkan beribadah di mesjid yang tetap kokoh berdiri di tengah tsunami  2004 silam.

Di Indonesia, umumnya jumlah sholat taraweh sebanyak sepuluh dan delapan rakaat. Di wilayah pedesaan Aceh, khususnya Aceh Utara, jumlah rakaat taraweh biasanya dua puluh rakaat. Mereka (masyarakat desa) percaya bahwa dua puluh rakaat adalah jumlah rakaat yang paling tepat dalam syariat Islam. Tapi tulisan ini tidak akan memperdebatkan persoalan itu. Saya lebih tertarik membahas hal yang menyatukan perbedaan itu dengan menjadikan mesjid Baiturahman sebagai tonggaknya.

Di Baiturahman, cermin toleransi atas perbedan pandangan dalam hal sholat taraweh misalnya, cukup baik. Di mesjid ini, jamaah difasilitasi sholat baik delapan maupun dua puluh rakaat. Pertama (sebut saja kelompok pertama), sholat diadakan sebanyak delapan rakaat kemudian dilanjutkan dengan sholat witir. Setelah itu, bagi yang ingin sholat dua puluh rakaat keluar dari shaf dan mundur ke belakang. Kedua (kita sebut kelompok dua), setelah bagian pertama selesai sholat witir, jamaah yang ingin melanjutkan rakaat tarawehnya kembali merapikan shaf untuk selanjutnya solat taraweh dengan imam yang berbeda.

Dengan cara seperti itu, mesjid ini dapat mengakomodir seluruh kalangan. Dalam pelaksanaannya pun terlihat sikap saling menghargai di antara sesama jamaah. Saat kelompok pertama melaksanakan sholat, kelompok kedua dengan tenang menunggu. Ada yang keluar ruangan, ada pula yang memilih mundur ke belakang dan membentuk barisan yang cukup rapi.

Seruan toleransi juga dikuatkan dengan salah satu isi dakwah yang disampaikan oleh penceramah malam itu. "Islam sangat menghargai perbedaan. Selama yang berbeda itu tidak menebarkan permusuhan. Islam sangat menganjurkan perdamaian,"  Begitu kata penceramah malam itu seraya mengutip salah satu bunyi ayat dalam dalam Alqur'an.

Bagi sebagian orang, mungkin ini terlihat sederhana. Tapi tidak bagi saya. Sebelumnya, saya belum pernah menyaksikan cara yang seperti ini di tempat atau mesjid lainnya.  Bahkan, di beberapa mesjid yang pernah saya kunjungi di Jakarta.

Jika ditarik ke konteks pendidikan, metode yang diberlakukan di Baiturahman ini bisa menjadi media pembelajaran, minimal bagi seluruh jamaah yang biasa beribadah di mesjid ini. Secara langsung dan tidak langsung, jamaah menginternalisasi spirit toleransi yang nantinya akan dieksternalisasi melalui kebiasaan sehari-hari.

Mesjid sebagai media efektif dalam mengampanyekan sikap toleransi juga terlihat di beberapa tempat lain. Di Lombok, ada satu mesjid bernama Jami’ul Jamaah. Mesjid ini dibangun oleh tiga kelompok masyarakat pemeluk agama yang ada di wilayah itu, yaitu masyarakat Muslim, Hindu, dan Budha. Mesjid ini menjadi ikon kerukunan atas perbedaan di antara ketiganya. Di Bandung, ada mesjid Salman. Selama dekade 1970-an hingga 1990-an, aneka warna pemikiran Islam leluasa dipercakapkan dan tumbuh di area Salman seluas 7500 meter persegi.

Di New York, ada Masjid Al-Hikmah. Mesjid ini adalah pusat kegiatan masyarakat Indonesia Muslim di New York. Selain orang Indonesia, mesjid ini jugha menjadi tempat favorit bagi orang-orang non-Indonesia, misalnya Bangladesh. (baca: Madina online)

Persoalan perdamaian ini semakin menemukan momentumnya karena hari itu bertepatan dengan peringatan enam tahun MOU Helsinki yang jatuh pada 15 Agustus 2011. Beraneka macam acara pun digelar seperti buka puasa bersama dan donor darah. Barangkali ini cara masyarakat mensyukuri nikmat perdamaian yang telah dianugerahkan yang Maha Kuasa.

Semakin hari--paling tidak pasca konflik--Aceh terus berbenah diri. Toleransi, sikap saling menghargai, dan menjaga perdamaian demi keutuhan dalam bingkai kesatuan republik Indonesia semakin gencar digaungkan. Seluruh elemen mengharapkan adanya sikap saling menghargai di atas segala perbedaan. Tidak ada lagi pertentangan apalagi peperangan, terlebih hanya karena persoalan perbedaan pandangan. Bahkan Tengku Hasan Ditiro--salah satu petinggi GAM--dalam sebuah pidatonya (2009) menegaskan "kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh di Aceh sekarang ini adalah merupakan nikmat yang telah diberikan Allah kepada Aceh."

Alapagi orang Aceh dikenal dengan religiusitasnya yang tinggi di mana mesjid menjadi simbol kemuliaan. Dengan begitu, kita berharap banyak orang yang mengambil pelajaran berharga dari Mesjid Baiturrahman, khususnya terkait soal toleransi dalam berfikir dan menyikapi segala hal.

====================================================

*Penulis adalah Pengajar Muda Aceh Utara, Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, Jakarta. Tinggal di Gampoeng Rumoh Rayeuk, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara.

Dapat diakses di: http://aceh.tribunnews.com/2011/08/24/belajar-toleransi-di-baiturahman


Cerita Lainnya

Lihat Semua