Hikmah Masuk Koran

Milastri Muzakkar 28 Desember 2011

“Segala sesuatu pasti ada hikmahnya”. Kata-kata bijak itu seringkali “lalu-lalang” di telinga kita. Tampaknya memang begitu, tergantung bagaimana kita pandai-pandai membaca dan menyikapi apa yang ada di balik segala sesuatu.

Beberapa hari lalu, Ayah seorang siswa (sebut saja bapak Abdullah)-yang juga tetangga dan keluarga hostfam saya-berkunjung ke rumah.

Cukup kaget juga, pasalnya hampir lima bulan di sini, baru kali ini dia datang khusus utuk bertemu dan berbincang dengan saya. Selama ini, biasanya hanya sekedar senyum, menyapa atau sedikit bercanda, jika kebetulan bertemu di jalan, atau saat dia berkunjung ke rumah.

Sambil membawa koran yang terlipat di tangannya, dan ditemani anaknya, Lia (murid saya itu), ia meminta izin utuk masuk ke rumah.

 “Saya tidak menggangu kan bu?,” begitu ia mulai membuka pembicaraan.

“Oh, nggak pak. Ini lagi nyiap-nyiapin buat belajar besok aja,” jawabku.

Ia kemudian membuka koran, persis di halaman 7, kolom pendidikan.

“Ini si Lia bawa koran ke rumah. Dia bilang, dia masuk koran. Kita lagi rame-rame di rumah, jadi ibu sama tetangga juga lihat. Kami banggalah karena sudah ada hasilnya seperti ini. Selama ini, memang saya kurang perhatian sama sekolahnya Lia. Yah, ibu tahu sendirilah dari pagi sampai magrib saya di bengkel. Malam sudah capek, bisanya langsung tidur. Ini ternyata sudah ada hasilnya begini. Jadi saya mau trimakasih sama ibu sudah membimbing Lia sampai sekarang.” jelasnya sambil tersenyum.

Sambil tersenyum saya menjawab:  “itu hasil Lia sendiri pak. Dia di sekolah bagus, cepat menangkap pelajaran. Semangat belajarnya juga tinggi.”

“Ia makanya saya bilang ke Lia, pokoknya apapun yang diajarkan sama ibu gurumu, kamu harus perhatikan. Nanti kalau ada sikap dia, atau kata-kata dia yang salah, ibu bilang aja ke saya. Nanti saya yang bereskan,” balasnya.

Pak Abdullah orangnya cukup suka bercerita. Ia sendiri bilang dari awal, ia suka lupa waktu jika sudah bercerita.

“Ibu sudah lima bulan di sini ya? tinggal tujuh bulan lagi. Nggak terasa, ibu udah mau pulang. Padahal kita tetangga tapi jarang ya ngobrol-ngobrol begini. Dulu-dulu, saya fikir ibu hanya main-main sama anak-anak. Tapi sekarang, sudah ada hasilnya begini. Nanti kalau ibu sudah mau pulang, kita minta nomor Hp nya biar tetap bisa dihubung-hubungi. Siapa tahu ada kabar-kabar gembira,” lanjutnya.

Dengan cepat saya merespon, “Oh iya betul pak, siapa tahu nanti bapak mau sms kalau Lia sudah SMA atau mungkin udah kuliah di Jakarta, hehe...”, balasku sambil tersenyum kecil. Kalau boleh saya meminta pak, saya berharap Lia tetap sekolah sampai kuliah. Kalau bisa kuliah di Banda atau Medan. Kalau masalah biaya, insya Allah akan ada jalan pak.”

Lia yang dari tadi menyimak pembicaraan kami, tiba-tiba nyeletuk “Ih, bukan di Medan bu. Saya maunya kuliah di Jakarta, hehe...,” katanya.

“Kalau itu kamu jangan mimpi,” sanggah pak Abdullah.

Tak ingin membuang kesempatan emas ini, saya segera menceritakan perjalanan saya berjuang menuntut pendidikan. Perjalanan yang penuh tantangan, cukup menguras fikiran, emosi, tenaga dan dompet tentunya, hehe...

“Saya juga dulu sekolah SD di desa nenek saya di Makassar. Waktu itu, saya tidak pernah berfikir sampai kuliah di Jakarta. Tapi, alhamdulillah Tuhan menunjukkan jalan. Jadi, saya berfikir yang penting kita punya kemauan dan usaha pak,” kataku memaparkan argumen klasik.

Seperti biasa, dengan wajah sedikit senyum, argumen klasik itu ditanggapi pak Abdullah dengan jawaban klasik juga.

“Insya Allah, nanti dilihat bu. Kalau uangnya ada, saya juga maunya Lia terus sekolah. Makanya mulai sekarang Lia saya suruh untuk belajar baik-baik sama Ibu. Saya memang terlihat santai tapi sebenarnya saya juga memperhatikan sekolahnya Lia. Pokoknya bu, Lia boleh ikut kegiatan apa saja di sekolah. Nanti saya bilang ke ibunya supaya pekerjaan rumah kayak cuci piring atau jaga adiknya, kalau perlu nanti saya gantian sama ibunya yang kerjakan,” jelasnya.

Begitulah. Semenjak hari itu, sikap pak Abdullah sedikit berubah. Jika bertemu saya, ia akan selalu tersenyum dan menyapa. Kata-kata yang ia lontarkan pun sedikit lebih serius dan bijak-sebelumnya lebih banyak bercanda. Menurut Lia, jika ibunya melarang atau menghalangi latihan pramuka atau les nyanyi, ayahnya lah yang akan “menyelamatkannya”.

Beberapa hari lalu, perpustakaan mini dan mading di sekolah kami diresmikan. Meski tidak berlangsung dengan ceremony yang besar tapi terbilang cukup hikmat. Bagaimana tidak, selama mereka sekolah, perpustakaan (yang lebih tepat disebut gudang kecil), apalagi mading menjadi barang yang antik untuk didapatkan.Tentu saja antusiasme siswa membludak saat mengetahui ada tempat "main" baru yang lebih" intelek" dan menyenangkan. Peresmian ini juga dirangkaikan dengan pengumuman lomba-lomba (menulis surat untuk guru, cerita tentang Perpustakaan Baru, dan gambar) yang diadakan seminggu sebelumnya.

Acara ini kemudian saya tulis dalam bentuk reportase.Kebetulan saya kenal dengan salah satu wartawan koran Medan yang berdomisili di Lhokseumawe. Cerita tentang peresmian ini pun saya kirimkan ke teman tersebut. Ternyata, seminggu kemudian  dimuat di koran Medan( Forum Indonesia Baru).

Ini yang saya maksud hikmah. Pertama, nyatalah bahwa harus ada bukti konkret (dalam hal ini melalui media) untuk meyakinkan orang tua bahwa anaknya punya kemampuan dan potensi yang perlu terus dikembangkan. Kedua, masuk koran, orang tu menjadi menyadari kekurangperhatiannya selama ini kepada anak.

Ketiga, karena masuk koran, anaknya menjadi boleh mengikuti hampir semua kegiatan di sekolah, baik intra maupun ekstra. Keempat,harus masuk koran dulu barulah orang tua yakin bahwa selama ini gurunya tidak sedang bermain-main. Tapi betul-betul belajar bersama, mendidik dan memotivasi anaknya untuk selalu menyadari dan mengetahui nilai-nilai, ilmu dan pengetahuan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua