Mengenalkan Perpus dan Mading melalui Lomba

Milastri Muzakkar 12 Maret 2012

Sabtu, 8 Februari, saat itu cuaca agak mendung, hampir seluruh siswa SDN Kepayang, Musi Banyu Asin, berhamburan di lapangan sekolah. Mereka tidak sedang berlari-larian atau bermain bola. Tapi mereka sedang mengikuti lomba menggambar, puisi, pantun, dan menulis cerita.

Kondisi lapangan yang becek tidak mengurangi semangat para siswa untuk menggelar tikar dan terpal yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Mereka (para siswa) tak dapat menyembunyikan wajah cerianya. Tak henti-hentinya mereka tersenyum, tertawa, dan sesekali tampak gregetan yang disertai dengan teriakan kecil.

Tingkah mereka tentu dapat dipahami. Selama ini mereka hampir tak pernah belajar di luar kelas, apalagi secara serempak semua kelas. Bagai sebuah seni pertunjukan, mereka terlihat sangat lepas berekspresi.

Tak kurang dari sepuluh terpal dan tikar tertata di sepanjang lapangan, dari sudut kelas satu hingga kelas enam. Para siswa berkelompok sesuai dengan jenis lomba yang diikutinya. Kelas satu sampai tiga mengikuti lomba gambar dengan tema bebas. Sementara kelas empat sampai enam memilih antara lomba pantun, puisi, dan cerita, dengan tema yang bebas pula.

Tidak hanya lapangan, bahkan ada beberapa orang yang memilih papan (los tempat masayarakat biasa menggelar dagangan pada hari pasar) sebagai tempat menuangkan karyanya. Kebetulan sekolah ini terletak di kumpulan rumah padat penduduk. Persis di bibir lapangan adalah jalan tempat orang-orang melintas. Karenanya tak heran jika di antara siswa yang sedang berlomba, terdapat juga beberapa anak kecil yang sedang berlarian. Ada juga yang sengaja duduk disamping kakaknya –yang juga ikut lomba.

Para siswa terlihat begitu lepas berekspresi. Selain menggambar dengan tema bebas, mereka juga bebas menentukan cara dan gaya menggambarnya. Ada yang tiduran, ada yang ngemil sambil gambar, ada yang sambil duduk di atas pohon, ada yang sambil bernyayi, bahkan ada yang sambil memangku adiknya.

Sejauh mata memandang, kebanyakan anak-anak menggambar perahu (boat). Tentu dapat dipahami karena memang setiap hari mereka melihat alat transportasi ini di samping atau di belakang rumahnya. Pemandangan seperti ini tampaknya adalah sesuatu yang baru di satu-satunya SD yang ada di desa ini.

Tak pelak, banyak warga berdatangan untuk sekedar menyaksikan pemandangan di lapangan. Mungkin ada yang bertanya-tanya “ada acara apa ini? Kok para siswa berkumpul bahkan tiduran di lapangan?.”

Tujuan utama diadakannya perlombaan ini untuk memperkenalkan perpustakaan dan Majalah Dinding (Mading) kepada guru dan siswa khususnya, serta masyarakat pada umumnya-yang kebanyakan belum familiar dengan keduanya. Pengumuman pemenang lomba dilakukan di depan perpus. Saat pengumuman, Mading yang sudah terisi oleh tempelan karya para pemenang satu sampai tiga dipajang di depan dinding perpus. Jadi, disitulah kita memperkenalkan tentang apa serta bagaimana Perpus dan Mading itu. Saat ini pula kita mengajak seluruh penghuni siswa untuk memanfaatkaan Perpus dan Mading.

Mungkin terbilang cepat. Dalam waktu tiga hari berada di sekolah dan di desa ini, saya melihat banyak hal yang berpeluang dikembangkan. Ada ruangan kecil yang digunakan sebagai gudang, yang sebenarnya bisa disulap menjadi perpus mini.

Meski hanya ada puluhan buku di kantor, masih lebih baik jika dimanfaatkan oleh siswa daripada menjadi pajangan lemari kantor. Pihak sekolah pun menyambut baik bahkan mendukung peralihan ruangan dari gudang menjadi perpus. Cukup dengan setengah hari saja, atas kerjasama semua pihak, gudang itu pun berubah bentuk menjadi perpus mini.

Berangkat dari pengalaman beberapa waktu lalu di Aceh, pembukaan perpus ini kami sandingkan dengan pembuatan Mading. Ini juga sebagai media untuk memotivasi siswa menyalurkan potensinya yang mungkin selama ini belum tersalurkan.

“ Mau main lagi nggak?” tanyaku kebeberapa siswa yang sedang berkumpul di sudut kelas setelah berlomba.

“Mauuu..., ayo bu kita main lagi,” jawabnya serentak.

“Yuk kita ke lapangan,” seruku.

Mereka pun berlarian menuju lapangan. Saya mengajak mereka membuat lingkaran besar di lapangan. Tak disangka, seluruh siswa ikut berkumpul di lapangan. Akhirnya, jadilah lingkaran besar. Berbagai tepukan dan nyanyian pun mewarnai lapangan. Meski mereka belum familiar dengan nyanyian dan tepukan yang saya berikan, mereka dengan semangat mengikuti lirik dan gerakannya.

Lagi-lagi tak henti-hentinya mereka tersenyum, tertawa keci, bahkan ada yang cekikikan sambil lompat-lompat. Beberapa siswa pun turut menampilkan kebolehannya dalam berpantun. Ada juga yang menyajikan lagu daerah dan Mars Muba (Musi Banyuasin), Sumatera Selatan.

Saking gaduhnya, para guru tiba-tiba keluar dari kantor dan ikut bergabung di lapangan. Masyarakat yang berkumpul di jalan sejak tadi juga ikut merapat ke lapangan. Ayam dan bebek yang juga dari tadi nongkrong di lapangan seakan ingin ikut bernyanyi. Matahari yang tadinya mendung pun mulai menghangatkan suasana siang itu.

Pokoknya hari ini--dalam istilah Syahrini-- ‘sesuatu bangetttt...!’ 

 

Salam semangat,

Dari Desa kepayang, Musi banyusin, Sumsel.

(Dalam remang-remang sinar lampu surya, disertai suara mesin speedboat)


Cerita Lainnya

Lihat Semua