#4 - Temani Bapak, nanti Bapak takut.

Michael Laurent Salim 28 Februari 2014

“Nanti Bapak takut.” – Sore itu hampir sama dengan beberapa sore hari ke belakang ini. Langit begitu sendu membuat kasur berpegas itu sungguh nikmat menggoda, cuaca sejuk dan aroma sehabis hujan juga membuat suasana semakin tepat untuk memejamkan mata sejenak. Namun sore itu, saya harus segera menyingkirkan kenikmatan tersebut. Karena ada tanggung jawab kecil yang harus segera diselesaikan, membuat soal. Ya, minggu ini adalah minggu ulangan semester bagi anak-anakku di SD YPK Pikpik, Fakfak. Minggu yang seharusnya cukup membebani dan membuat malas anak-anak di kota, tetapi sepertinya hal ini tidak terlalu mengganggu aktivitas mereka bermain. Tidak menyurutkan semangat mereka untuk berlomba mencari buah pala jatuh. Dan tetap mempertahankan fakta bahwa buku bukan benda favorit di sini. Emmm.. tapi bukan itu yang akan saya bagikan saat ini, mungkin di lain coretan.

Sore itu saya memutuskan untuk membuat soal di sekolah,segera saya berjalan ke sekolah untuk menyalakan motor lampu atau generator sekolah. Di sini kami memang sangat memanfaatkan benda ini, karena listrik PLN belum masuk sehingga semuanya dipasok dari motor lampu, begitulah biasa masyarakat menyebutnya. Dan puji Tuhan, akhirnya tahun ini atau bulan ini sekolah resmi mempunyai satu.

Belum jauh saya berjalan dari rumah, terdengarlah suara seorang anak bertanya,

“ Pak Guru, les?”.

“ Tara da, Bapak mau bikin soal.”, jawabku.

“ Di sekolah?”

“ Iya.”, jawabku singkat kepada mereka.

“ Kitong lagi ikut.”

“ Kalian mau bikin apa”

“ Temani Bapak, nanti Bapak takut”

Temani Bapak, nanti Bapak takut. Terkejut saya mendengar pernyataan ini, masa saya takut, bantahku dalam hati secara congkak. Kemudian saya menimpali mereka, takut dengan apa di sekolah. Mereka tetap mendesak bahwa nanti saya akan takut jika di sekolah sendiri. Akhirnya saya bilang terserah mereka kalau mau ikut, karena pikirku paling sebentar mereka bosan. Karena tidak ada apa-apa di sekolah. Nyatanya, mereka benar-benar menemani saya. Menemani sampai akhir dan selesai. Walaupun tidak menemani dalam satu ruangan, karena mereka, 4 orang anak seru bermain sendiri di luar sewaktu saya sibuk dengan soal-soal.

Sesungguhnya sangat mudah bagi mereka untuk bosan dan kemudian pamit pulang dalam waktu kurang lebih 90menit itu. Tetapi, mereka dengan berbagai kesibukannya tetap setia menunggu dan menemani, sampai kemudian saya berteriak dan memanggil mereka “Nelta, Tresia, Maria, Neli, Bapak su selesai, kalian tidak pulang kah?”

Ya mungkin hari itu hanya kebetulan, atau mungkin mereka memang sedang ingin bermain di sekolah atau mungkin juga kalau lebih lama sedikit lagi mereka akan pamit pulang. Tetapi diluar dari kemungkinan tak terbukti itu, satu fakta yang tergores pasti, bahwa mereka memang ada di sana menemani sampai selesai. Terima kasih anak-anak kesederhanaan peristiwa sungguh bermakna.

Sesungguhnya kita bisa mengerjakan banyak hal sendirian tetapi mau bagaimana pun ketika ada seseorang yang menemani akan selalu lebih terasa menyenangkan. Bahkan untuk sang penyendiri sekalipun. Menemani tak selalu berarti hadir secara fisik di depan mata dan ada di sekitar kita, dengan penuh perhatian menanyakan dan mengawasi segala sesuatunya. Ooo tidak bukan itu. Namun, kehadiran itu sesederhana ketulusan dan bahkan hanya sebuah untaian doa dari jauh sekalipun. Menemani bukan berarti merepoti, mengawasi, dan mengatur. Tetapi menemani itu menemani

Lalu sudahkah kita “menemani” orang-orang yang kita kasihi dan bersyukur bagi mereka yang selalu “menemani” kita ? :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua