Selaja Guru Bedo
Metias Kurnia Dita 29 Oktober 2012Bulan Oktober. Seharusnya hujan sudah mulai turun di bulan ini. Akan tetapi, hingga akhir bulan ini belum turun juga di wilayah teluk Waworada ini. Matahari masih dengan gagahnya bersinar di cakrawala tanah kami. Sampai-sampai setiap siang tanganku tidak pernah lepas dari kipas bambu yang tempo hari ku beli dari pasar kota. Setidaknya, kipas ini bisa mengurangi rasa panas yang kadang membuat kepalaku sampai cenat-cenut.
Saat matahari sedang benderang seperti siang hari ini, orang-oarang bisanya tidak ada yang mau bertahan di dalam rumah. Pasalnya, sebagian besar rumah di kampung kami ini beratap seng, bahan yang memiliki konduktivitas panas cukup tinggi. Alhasil, jika tetap bertahan di dalam rumah dijamin akan mandi keringat. Oleh karena itu, orang-orang biasanya membuat selaja, semacam balai-balai bambu di dekat rumah mereka. Bawah pohon yang rindang dipilih agar selaja nyaman untuk tidur siang atau setidaknya duduk-duduk bersama keluarga dan tetangga.
Setelah ku cermati, hampir semua rumah di kampung kami ini memiliki selaja. Dan ternyata selaja tidak hanya dibuat di dekat rumah, tetapi juga di sawah-sawah untuk beristirahat sejenak ketika ada pekerjaan di sawah. Selaja-selaja sawah inilah yang kadang aku dan murid-muridku kunjungi di sore hari. Kami duduk-duduk di sana, bercerita, tanya-jawab tentang pelajaran sekolah, membaca puisi, dll. Sangat mengasyikkan mendengar celoteh anak-anak sambil menikmati semilir angin sawah.
Ternyata, jauh sebelum aku mengadakan aktivitas ini bersama anak-anak, seorang guru sudah melakukannya di selaja samping rumahnya. Dialah Pak Bedo. Orang-orang memanggilnya Guru Bedo. Saat sedang tidak banyak pekerjaan di sore hari, guru Bedo biasanya menimang cucunya di selaja samping rumahnya itu. Ketika ada anak-anak yang lewat, Beliau langsung memanggil mereka singgah. Untuk apa? Guru Bedo biasanya akan memberi soal-soal mulai dari IPA, IPS, Bahasa Indonesia, PKn hingga Matematika. Anak-anak selalu antusias menjawab soal-soal itu. Tak jarang mereka berebut tunjuk tangan untuk menjawab soal-soal itu. Suasanya selalu cair dan pebuh semangat karena di sela-sela pertanyaan, Guru Bedo sering menyisipi lelucon yang membuat anak-anak tertawa riang.
Guru Bedo bukan guru di sekolah kami. Namun, anak-anak di sekolah kami selalu bersemangat untuk datang ke rumah beliau yang jaraknya tidak jauh dari sekolah kami itu. Dan Guru Bedo sendiri tidak pernah membeda-bedakan dari sekolah mana anak-anak yang belajar di rumahnya. Bagi beliau, semua anak sama saja, mereka berhak untuk belajar, berhak untuk maju. Beliau tidak suka anak-anak bermain-main tidak jelas. Oleh karena itu, beliau memanggil mereka untuk belajar. Ini yang membuatku kagum pada sosok yang satu ini.
Sesekali aku sempatkan nimbrung dalam aktivitas beliau ini. Biasanya aku mengobrol dengan ibu Fatimah, istri Guru Bedo, sambil ku perhatikan polah anak-anak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru Bedo. Saat anak-anak tidak bisa menjawab pertanyaan, biasanya mereka akan melirik ke arahku. Saat itulah sambil menahan tawa aku pura-pura tidak melihat lirikan mereka itu. Aku lakukan itu karena pada akhirnya Guru Bedo akan memberi jawaban yang benar kepada anak-anak. Setelah ditambah beberapa soal, guru Bedo akan mengulang soal yang tadi belum bisa dijawab oleh anak-anak. Demikian seterusnya hingga anak-anak bisa menjawab pertanyaan itu dengan lancar.
Ya, hampir setiap sore selaja itu tidak pernah kosong oleh suara riang anak-anak menjawab soal-soal dari Guru Bedo. Bahkan, saat keluarga Beliau sedang ditimpa musibah besar seperti saat ini, Beliau masih tetap mengundang anak-anak untuk singgah di selajanya. Pertanyaan-pertanyaan masih dilontarkan dan tawa riang anak-anak pun masih terdengar dari selaja yang sederhana itu. Semoga Allah SWT senantiasa memberi beliau kesehatan sehingga anak-anak terus bisa menimba ilmu dari beliau.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda