100 Hari

Melly Syandi 6 Oktober 2016

100 hari sudah berlalu tepat hari ini (09/09). Ini bukan cerita tentang perubahan yang terjadi pada orang lain, melainkan perubahan pada diri sendiri. Di suatu pagi yang dingin, dengan secangkir teh hangat, sambil menunggu antrian mandi, saya kembali mengingat perjalanan hingga sampai di tempat ini, 100 hari yang lalu.

Oh ternyata, Saya benar-benar merasakan hidup yang sebenar-benarnya.

Akhirnya, Saya sudah bisa merasakan bagaimana rasanya was-was dan rindu yang datang tiba-tiba jika tidak ada kabar karena keterbatasan akses komunikasi di desa saya. Dan gembiranya bukan main jika menerima surat dari Bapak penjual ikan (surat yang sering dititipkan Sandy ke Bapak penjual ikan). Akhirnya, Saya bisa merasakan (dan msh akan terus belajar) untuk mengatur pengharapan terhadap manusia. Akhirnya, Saya mulai mengerti bagaimana hidup dalam ketidakpastian. Hidup yang (katanya) bersusah-susah dalam kesusahan. Akhirnya, Saya bisa merasakan bagaimana rasanya jika hujan turun lebat, penjual ikan penjual sayur tidak sampai ke desa saya. Tapi kehangatan Ibu di rumah (Ibu angkat saya di desa) tetap mampu menghadirkan menu sederhana dengan rasa yang luar biasa. Akhirnya, Saya bisa merasakan (hampir) setiap malam, menatap langit dengan berjuta bintang, sesekali berharap dan berucap dalam hati, semoga angin malam yang berhembus dapat menyampaikan salam.

Pada akhirnya, Apa yang kita cari sesungguhnya sudah sejak lama kita temukan! Tapi untuk menemukannya, kita memang perlu merasakan bagaimana rasanya meninggalkan dan ditinggalkan. Barangkali, Ini juga yang dimaksud Buya Syafi'i terhadap anak muda yang pergi merantau meninggalkan kehidupan kampungnya.

Selamat sudah berproses selama 100 hari. Semoga, hari-hari berikutnya, Dapat lebih menghikmahi setiap kejadian yang terjadi. Dapat lebih memahami bahwa hakikat hidup hanyalah untuk terus memperbaiki diri. Semoga!


Cerita Lainnya

Lihat Semua