Terima Kasih Untuk Para Guru Honorer

Melissa Tuanakotta 11 November 2011

Saat ini aku sedang duduk sendiri di ruang makan. Jangan bayangkan ruang makan mewah dengan berbagai hidangan di meja makan. Cukup bayangkan satu ruang makan sederhana dengan meja berlapiskan baligo pemilihan bupati, yang diatasnya tersaji hidangan seadanya. Sang mpunya rumah sedari tadi berkutat di dapur, berusaha menyajikan berbagai macam makanan untukku.

Aku sudah hampir satu minggu berada di sini, di rumah seorang guru yang biasa disapa dengan nama Bu Mur, di daerah Indraloka II, Kecamatan Way Kenanga, Provinsi Tulang Bawang Barat. Beberapa waktu yang lalu Ibu bercerita kepadaku tentang pengalaman hidupnya menjadi seorang guru honorer selama berpuluh-puluh tahun. Ibu berhasil merampungkan sekolahnya di jurusan pendidikan, di daerah selatan Pakem, Grogolan, Yogyakarta, Jawa Tengah. Seusai sekolah Ibu tidak memiliki biaya untuk menebus ijazahnya, sehingga hanya dengan bermodalkan surat keterangan lulus ia melanjutkan kariernya menjadi seorang guru honorer.

Tapi apa yang terjadi? Pengabdiannya di bidang pendidikan seperti hanya berjalan di tempat, tidak mendapatkan kesempatan untuk menapaki jenjang karier yang ada. Jangan berpikir bahwa ibu tidak bergerak, karena sudah berkali-kali Ibu kembali untuk menebus ijazahnya tapi pihak sekolahnya mengatakan bahwa ijazahnya telah hilang. Dengan alasan birokrasi yang cukup rumit, maka Ibu pun menyerah untuk meminta ijazah baru. Ibu hanya menghela nafas dan berlapang dada ketika statusnya hingga saat ini hanyalah guru honorer dengan pendapatan yang tidak jauh beda dengan uang jajanku ketika kuliah dulu.

Sebenarnya hati ibu merintih, tapi ibu tetap memilih untuk menjadi guru. Rintihan tersebut ditutup rapat-rapat oleh suatu pengabdian kepada sekolah dengan murid yang memiliki hak mendapatkan pendidikan. Sekolah yang tidak memiliki sekat di beberapa kelasnya, sehingga murid-murid pun dengan senang hati berlalu lalang ke satu dan kelas lainnya. Sekolah yang berada di tengah-tengah padang rumput dan kebun singkong. Sekolah yang mewajibkan seorang guru menjadi  wali kelas di dua kelas sekaligus. Sekolah yang dikenal dengan nama SD Indraloka II. Menurut Ibu, siapa lagi yang akan menjadi guru para bocah berseragam putih merah itu, bocah yang memiliki semangat untuk meraih mimpi dan cita-citanya, jikalau ia meninggalkan profesinya sebagai seorang guru.

Sekolah ini dibangun oleh swadaya masyarakat, mengingat jarak kampung ini cukup jauh dengan sekolah induk. Salah satu perintisnya adalah Bu Marem. Walaupun Ia hanyalah seorang guru tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1988, Bu Marem tetap menomor satukan pendidikan. Dengan semangat berbagi ilmu ia dan kakaknya, Pak Anshori, merintis berdirinya sekolah ini, dan terjun langsung menjadi seorang guru. Sama seperti Bu Mur, Bu Marem hanyalah seorang guru honorer.

Saya selalu beranggapan bahwa Bu Marem ini adalah wanita super, terlepas dari postur tubuhnya yang gagah. Saat pertama kali sekolah ini berdiri, bangunannya hanyalah sebuah ruangan berdindingkan anyaman rotan dengan beratapkan jerami. Waktu itu tidak ada satu pun guru yang membantu Bu Marem, ia mengajar semua murid sendirian dari kelas 1 hingga kelas 4. Hingga pada akhirnya datanglah Bu Mur yang senantiasa mengabdikan dirinya menjadi seorang guru di sekolah ini.

Sampai saat ini Bu Marem menjadi wali kelas untuk kelas 4. Setiap pagi ia datang dengan mengendarai motor sambil menggendong anaknya. Ia mengajar sambil membawa anaknya yang bernaman Rara. Suatu hari ia mengeluh kelelahan dan merasa kakinya berasa sakit, siapa sangka wanita yang aku anggap gagah itu memiliki tumor ganas di kakinya.

Tidak pernah terbayangkan olehku, untuk berada di sini, di tengah-tengah mereka, dan mendengarkan semua cerita ini. Siapalah aku? Mungkin aku akan menjawab bukan siapa-siapa dibandingkan dengan Bu Mur dan Bu Marem. Aku hanyalah orang yang ditunjukkan jalan oleh Tuhan untuk bisa membuka mata, hati, dan pikiran tentang dunia pendidikan. Aku juga diberi kesempatan untuk bisa melakukan suatu hal yang tidak sia-sia dan ikut terlibat dalam cerita ini. Dengan sejuta harapan bisa memberikan perubahan dan inspirasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua