info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Ketika Muridku Bilang Rindu

Melissa Tuanakotta 18 November 2011

Rindu, siapa bilang hanya orang dewasa saja yang mengenal rindu?

Mungkin mereka terlihat tertawa bahagia, tanpa ada beban dalam jiwanya. Tapi siapa yang bisa tahu perasaan mereka yang sesungguhnya? Walaupun mereka ini hanyalah sekumpulan bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar, mereka memiliki suatu ketulusan yang tidak pernah ditutup-tutupi. Mereka tidak hidup seperti di dalam panggung sandiwara yang setiap pemerannya menggunakan topeng sesuai dengan perannya masing-masing. Mereka selalu menjadi diri mereka sendiri dari awal sampai akhir, tulus apa adanya.

Entah apa yang telah mereka dapatkan dari seseorang yang bernama Yunita Ekasari Bahrun, Pengajar Muda Angkatan I yang menempati daerah penempatan yang sama denganku di Desa Indraloka 2, Tulang Bawang Barat. Satu tahun nampaknya telah meninggalkan kenangan yang cukup dalam disetiap ingatan murid-muridnya.

Bercerita sedikit tentang apa yang telah Aku lewati hari ini, Jumat (18/11). Aku selalu memilih untuk berjalan kaki ke sekolah tempat aku mengajar, walaupun membutuhkan waktu 20 menit. Kenapa? Banyak hal yang akan Aku dapati ketika berjalan kaki, seperti pengenalan medan dan bersosialisasi dengan para tetangga ketika melintas di depan rumahnya. Selain itu, Aku menganggapnya seperti uji nyali, karena harus melewati perkebunan karet dan kuburan seorang diri. Pertama-tama aku masih takut, tapi lama-kelamaan yah aku hanya melihat itu sebuah kuburan tidak kurang tidak lebih.

Cukup melelahkan, tapi itu menjadi sangat menyenangkan ketika Aku mendapatkan sambutan meriah saat menginjakkan kaki di pelataran sekolah. “ Bu Melissa,,,,,,!” Murid-murid yang tadinya sedang bermain, meninggalkan apa yang sedang mereka kerjakan hanya untuk sekedar menyapa dan mencium tanganku. Ini yang selalu menjadi semangat hari-hariku di sini.

“Bu, Ibu kesini jalan kaki yah?” tanya seorang anak yang bernama Rifli.

“Iya, hari ini ibu jalan kaki,” jawabku sambil tersenyum.

“Asiiiikkkk,, berarti hari ini kita pulangnya bareng yah Bu?” tanya bocah kelas 4 SD ini.

“Ayo!” Jawabku

Pertama kali ajakkan ini dilontarkan adalah ketika Aku pertama kali datang ke sekolah ini. Sepulang mengajar aku dikawal oleh 5 orang anak. Aku pikir ajakan itu hanya satu kali saja sebagai ajang perkenalan, nyatanya setiap Aku pergi jalan kaki mereka pasti senantiasa mengajakku untuk pulang bersama. Sepanjang perjalanan tidak pernah sepi, selalu diisi dengan celoteh anak dan nyanyian-nyanyian yang Aku ajarkan kepada mereka.

Apa yang mereka lakukan kepadaku mungkin akan dianggap biasa saja oleh orang lain. Tapi tidak bagiku. Ini adalah hal yang sangat menyentuh hatiku, segala ketulusan yang mereka katakan, berikan, dan lakukan kepadaku merupakan obat sepi selama aku berada di sini. Di sekolah mungkin aku guru mereka, tapi keluar dari batas sekolah mereka adalah  sahabat terbaikku.

Kebersamaan tidak terhenti di perjalanan pulang, setiap hari mereka selalu menghabiskan waktu di tempat tinggalku. Entah itu belajar, bermain, bernyanyi, membaca, menggambar dan apapun itu. Bahkan tidak tanggung-tanggung mereka menginap di rumahku.

Akan tetapi siang ini berbeda dengan siang-siang lainnya. Mereka mengucap rasa rindu kepada Yunita. Aku menggiring rasa rindu itu dengan berbagai canda tawa, karena Aku melihat air muka mereka yang memancarkan suatu kesedihan. Beberapa saat Aku masih bisa menguasai mereka, tapi lama kelamaan rasa rindu mereka yang menang.

Mereka menyanykan lagu “Terima kasih guruku”. Seusai menyanyi mereka pun berdiam diri, tidak lama kemudian mereka merengek untuk menelepon Yuni. Aku melihat wajah-wajah yang penuh rasa rindu, rindu kepada seorang guru yang telah mengisi pengetahuan mereka dengan beragam kasih sayang.

“Bu, satu tahun lagi Ibu juga pergi ya?” tanya salah seorang dari mereka, dan dengan segera bocah-bocah lainnya pun menunggu jawabanku.

“Iya, kan dari awal ibu sudah bilang kalau Ibu hanya satu tahun di sini,” jawabku dengan nada riang, aku tidak ingin melukai perasaan mereka.

“Kenapa  sih Bu, Bu Yuni pergi ninggalin kita, nanti Ibu juga pergi ninggalin kita, nanti ada pengganti Ibu pasti juga ninggalin kita, kenapa selalu pada pergi ninggalin kita? Kenapa selalu ada perpisahan sih Bu?”

Aku hanya tersenyum

“Bu, Ibu jangan pergi dari sini yah. Kalau perlu ibu di sini aja sampai ibu meninggal,”

“Iya Bu, ibu suruh ibunya ibu buat pindah ke sini, bawa semua pakaian ibu kesini,”

Saat itu kalau boleh aku menangis, aku pingin menangis. Tapi aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk menangis. Perkataan mereka yang penuh dengan keseriusan itu sangat menyentuh hatiku.

“Nanti kalau Ibu di sini terus, Ibu nikah sama siapa dong?” candaku.

“Yaudah, nikah sama orang sini aja deh bu,” jawab mereka dengan serius.

Aku tersenyum. Aku hanya bisa tersenyum, Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku mencoba untuk menyibukkan diri dan menjauhkan mereka dari pembicaraan ini. Tapi apa yang terjadi? Salah seorang anak menangis dalam diamnya. Aku mengalah, Aku mengambil telepon selulerku untuk menelepon Yunita.

Setulus itu kah mereka? Menyayangi seseorang yang menyusup kedalam kehidupan mereka selama satu tahun. Satu tahun ternyata bukan waktu yang lama. Waktu mengalir terus mengalir, tanpa terasa satu tahun pun usai. Tapi satu tahun itu akan dituliskan beragam cerita dalam lembar-lembar kehidupan mereka, bahkan Aku.

Tugas utamaku di sini adalah mengajar, tapi siapa sangka Aku malah belajar banyak tentang ketulusan dari muridku sendiri. Ketulusan mengucap rindu yang berasal dari hati, yang bukan hanya sekedar ucapan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua