Suara Emas Milik Adi

Melissa Tuanakotta 25 Maret 2012

Tempo hari, tepatnya pada 9 Maret 2010, diperingati sebagai hari musik nasional. Pemilihan hari musik tersebut, merupakan satu bentuk penghargaan kepada Wage Rudolf Supratman, yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang lahir pada 9 Maret 1903.

Murid-murid yang bersekolah di SD Negeri 01 (lokal jauh) Indraloka 2 acap kali menyanyikan lagu “Indonesia Raya” gubahan sang maestro tersebut yang berasal dari Dusun Trembelang, Kabupaten Purworejo, setiap upacara bendera. Tapi mereka tidak mengenal siapa itu WR Supratman, bahkan kita boleh bernafas lega ketika mereka bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu dengan syair dan nada yang tepat.

Aku sedikit tertegun ketika melaksanakan upacara bendera untuk pertama kalinya setelah aku tiba di sekolah ini. Saat tiba waktunya mengibarkan bendera merah putih dengan diiringi lagu “Indonesia Raya”, sebagian anak langsung bernyanyi pada bagian reff-nya. Sehingga adegan pengibaran bendera pun aku minta untuk diulangi.

Mengapa demikian? Jawabannya cukup mudah, mereka jarang mendapatkan pelajaran menyanyi. Dalam jadwal tercantum mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan. Akan tetapi mata pelajaran tersebut 90% hanya diisi dengan kegiatan menggambar, entah itu menggambar rumah, bunga, atau gunung. Padahal masih ada materi lainnya seperti apresiasi terhadap karya seni tari dan karya seni musik.

Jangan anggap suaraku ini sama seperti suara Melly Goeslow, walaupun nama kami hampir sama dan kami merupakan keturunan USA (Urang Sunda Ambon). Suaraku pas-pasan malah kadang suka keluar dari nada aslinya, tapi itu tidak menutup kesukaanku kepada menyanyi. Mungkin kalau ada listrik, aku akan boyong satu set alat karaoke ke tempat penugasanku ini. Mungkin untuk mengantisipasi hal tersebut maka ditempatkanlah aku di sini, di desa indraloka 2 yang belum ada listriknya.

Mengetahui minimnya pengetahuan murid-muridku terhadap lagu nasional maupun lagu daerah, maka aku pun sering mengisi materi SBK dengan seni musik. Ingin sekali aku juga mengajarkan kepada mereka seni tari, tapi apa daya. Dulu sewaktu kuliah aku pernah mementaskan tari merak. Tapi, karena tubuh yang kaku dan memiliki bentuk yang bengkak disana sini alhasil pinggang pegal seharian dan tangan keram seketika. Maka sejak saat itu lah aku yakin aku tidak memiliki bakat menari. (Maafkan atas kekurangan bu guru yah murid-muridku :* ).

Belajar seni musik, tidak lengkap jika tidak menggunakan alat musik. Minimnya pelajaran seni dan alat musik, membuat kami, Pengajar Muda Tulang Bawang Barat, mengadakan suatu konser amal yang bertajuk “Pianika Untuk Semua”, Kamis (16/3) di Universitas Negeri Lampung, Tanjung Karang. Hasil dari konser tersebut akan dibelikan pianika dan didistribusikan ke sekolah-sekolah penempatan Pengajar Muda di Tulang Bawang Barat. Konser tersebut dimeriahkan oleh band-band indie yang berasal dari kota Lampung dan 4 anak SD berbakat dari sekolah penempatan kami.

Sekolahku mendapatkan kesempatan untuk memboyong 2 anak, mengingat aku mengajar di 2 sekolah. Aku memberikan kesempatan untuk seluruh murid-muridku untuk  mengikuti kegiatan ini, bukan dengan modal asal tunjuk anak.

Akan banyak sekali pengalaman yang mereka dapatkan jika mengikuti kegiatan ini. Aku selalu percaya akan kata-katanya Pak Munif Chatib, seorang konsultan pendidikan yang aku kenal ketika pelatihan insentif bersama Indonesia Mengajar, bahwa setiap anak memiliki harta karun yang berupa kecerdasan. Tugas kami sebagai guru adalah menggali harta karun tersebut untuk dikembangkan. Entah itu kecerdasan dalam berbahasa, gerak, bergaul, gambar, angka, diri, alam, dan musik. Untuk itu aku mengadakan audisi mencari bakat menyanyi di SD 01 (lokal jauh) Indraloka dua ini. Seperti acara audisi bintang cilik yang sering ada di televisi-televisi swasta.

Dua belas anak dari kelas 5 aku ikut sertakan. Mereka wajib menyanyikan lagu Indonesia Pusaka (Ismail Marzuki) dan Terima Kasih Guruku (AFI Junior), yang telah aku ajarkan sebelumnya. Dewan jurinya adalah 3 guru honorer dan seluruh siswa yang ada di sekolah ini. Selain melatih kemampuan bernyanyi, aku juga ingin melatih kepercayaan diri mereka untuk tampil di depan orang.

Satu persatu mereka pun bernyanyi. Ada yang suaranya bergetar, ada yang nadanya melenceng jauh dari nada aslinya, ada yang malu-malu, ada yang diulang karena lupa lirik di tengah jalan, dan ada pula yang berhasil menyelesaikan lagu dengan sempurna.

Satu demi satu murid mengeluarkan suara emasnya, hingga tibalah saatnya kesempatan untuk Ifender Aditya, atau biasa dipanggil Adi. Dari tempat menunggu giliran, dia sudah cengar cengir malu. Malah saat melangkahkan kaki ke depan untuk beraksi, kakinya pun tersandung bangku. Ketika sudah berdiri di depan kelas, dia kembali cengar cengir malu sambil menutup mulut. Mau mulai, tertawa lagi. Mau mulai, tutup mulut lagi. Mau mulai, balik badan menghadap tembok. Akhirnya setelah berhasil mengesampingkan rasa malunya selama hampir 10 menit, dan diawali dengan gerakan mulut yang komat kamit membaca doa, akhirnya Adi berhasil melantunkan lagu Indonesia Pusaka.

Indonesia tanah air beta

Pusaka nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Selalu di puja puja bangsa

Di sana tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan bunda

Tempat berlindung di hari tua

Tempat akhir menutup mata..

Suasana kelas hening, dan aku pun meneteskan air mata.

Oh Tuhan, siapa sangka suara Adi merdu sekali. Alunan melodi memecah keheningan, membuat puluhan pasang mata terkesima. Irama yang indah disesuaikan dengan suara yang keluar dari mulut. Semua terdengar begitu sempurna. Membuat merinding dan bulu kuduk berdiri dari yang sebelumnya berbaring rapi.

Tepuk tangan meriah menyambut berhentinya Adi menyanyi. Aku mendengar celetukkan anak dalam bahasa jawa.

“Suarane Adi apik tenan!”, celetuk Toyo, murid kelas 4 yang pernah bertengkar dengan Adi di minggu pertama aku mengajar.

Aku telah menemukan harta karun dari Adi. Harta karun yang terpendam di dalam dirinya. Hal yang sangat aku sesali adalah aku tidak merekam kejadian hari itu, tapi itu semua lekat dalam ingatanku dan tidak akan aku lupakan.

Dengan senyuman puas dan bangga Adi kembali ke tempat asalnya. Aku yakin, ini adalah kali pertamanya Adi mendapat sambutan luar biasa dari teman-temannya.

Mungkin cerita ini akan berakhir sempurna jika aku menuliskan bahwa pada akhirnya Adi aku bawa ke Tanjung Karang untuk ikut tampil dalam konser “Pianika Untuk Semua”. Keesokan harinya ketika aku meyakinkan Adi untuk pergi, aku mendapatkan sebuah jawaban yang cukup mematahkan hati.

“Aku gak yakin buk, biar yang lain saja yang berangkat,” ujarnya.

Berkali-kali aku yakinkan, berkali-kali pula aku mendapatkan jawaban tidak yakin darinya. Aku pun tidak bisa memaksakan kehendakku. Hingga pada akhirnya, Adi pun menunda kesempatan untuk mengasah kemampuan dan menambah pengalamannya. Mungkin ia terlalu kaget dan belum siap. Boleh kita percaya bahwa kesempatan kedua selalu datang setelah kesempatan pertama dilewati. Suatu hari nanti Adi pasti akan siap untuk menuai pengalaman dan melakukan perubahan dalam dirinya.

Kisah tentang Adi adalah satu kisah yang menunjukkan bahwa setiap anak itu memiliki kecerdasan masing-masing. Adi memang belum unggul dalam hal lainnya, tapi dia unggul dalam bermusik. Mengingatkanku akan seorang Mahar di film Laskar Pelangi. Kecerdasan itu terkubur dalam dirinya, sama seperti sebuah harta karun yang terpendam dalam lautan. Perlu ada seorang penyelam, membelah kedalam lautan untuk menemukan harta karun tersebut. Jika tidak, harta karun yang tak ternilai sama dengan nasib bangkai kapal yang karam selama beratus-ratus tahun. Jika bukan seorang guru, siapa lagi yang harus berperan sebagai seorang penyelam. (25/3)


Cerita Lainnya

Lihat Semua