Kebahagiaan di Simpang Asahan

Melissa Tuanakotta 1 April 2012

Kebahagiaan di Simpang Asahan Suatu hari, muridku yang bernama Very mengajak aku bermain. Bersama anak-anak lainnya mereka mengajakku menuju suatu sungai kecil yang terkenal dengan nama Grojokan. Sungainya tidak seperti sungai yang kita tahu selama ini. Untuk mencapai sungai tersebut kami harus berjalan kaki santai selama satu jam. Diatas sungai tersebut terdapat sebuah jembatan yang terbuat dari batang pohon yang kuat. Harus benar-benar kuat karena jembatan itu akan menahan beban truk besar dengan bak penuh dengan singkong atau sawit.

Tadinya hanya aku dan very, tapi di tengah jalan kami bertemu dengan anak-anak lainnya, yang ternyata tertarik untuk ikut dengan kami ke sungai. Sehingga berkumpulah aku dengan tujuh anak laki-laki yang siap menyusuri jalan.

Waktu kecil aku suka sekali berenang. Jangankan waktu kecil sampai hari ini pun aku selalu suka berenang. Bahkan teman-temanku yang baik hati sering bilang kalau aku ini dugong hahahaha *langsung asah keris*. Kalau mau berenang aku pergi ke kolam berenang dan membayar tiket masuk yang mahal, selain itu aku tidak boleh membawa makanan dari luar karena harus memesan dari kafetaria kolam berenang tersebut. Sehingga aku harus membawa uang cukup banyak untuk menyalurkan salah satu hobiku itu. Namanya juga hobi, demi kebahagiaan batin pasti akan pasrah mengeluarkan lembaran uang dari saku.

Itu ceritaku, berbeda halnya dengan cerita murid-muridku.

Sering kali aku mendapat cerita dari murid-muridku tentang pengalaman mereka berenang di sungai. Ceritanya seru, mereka cerita tentang berbagai kejadian lucu, kelakuan teman-temannya, dan atraksi-atraksi yang mereka lakukan selama berenang di sungai. Mereka bermain hingga puas, bebas, lepas, tanpa harus membayar apa pun juga. Mereka dengan leluasa menggunakan sarana milik negara yang belum dikuasai oleh pihak manapun juga. Bebas, merdeka!

Sampai pada akhirnya aku pun bersama mereka melintasi jalanan poros simpang asahan menuju grojokan. Pemandangannya seperti induk itik yang sedang jalan bersama anak-anaknya. Setiap melintasi rumah warga dan ditanya mau pergi kemana, aku pun sedikit ragu untuk menjawab:

“Mau ke sungai, berenang sama anak-anak!”

Mengingat aku adalah seorang wanita seperempat abad, yang sedang bertugas menjadi seorang guru. Sehingga aku pun memilih jawaban yang lebih diplomatis seperti:

“Menemani anak-anak jalan-jalan,” klise! Tapi jauh lebih baik.

Setibanya kami di grojokan, anak-anak langsung lepas kendali. Mereka berlarian, melepas baju, menyisakan celana dalam (itu pun karena mereka ingat sedang bersama gurunya), dan langsung terjun bebas. Aku melihat mereka tertawa dengan segala tingkah laku yang lucu. Loncat, balapan renang, atraksi kepala di air kaki di udara, dan sampai pada akhirnya mereka membuat perosotan dari tanah. Tidak lupa sesekali mereka bergaya di depan lensa kameraku. Dengan pintar mereka menarik perhatianku untuk diambill gambarnya.

Hampir sepanjang siang kami menghabiskan waktu di sungai grojokan ini. Sudah tidak terhitung lagi berapa truk yang lewat, dan berapa pasang mata yang kebingungan ketika aku memotret anak-anak yang sedang berenang. Matahari sore masih terik dan kami memutuskan untuk pulang karena sudah kelelahan. Tenaga ekstra harus disiapkan karena kami harus berjalan kaki kembali selama satu jam.

Hari yang indah, di mana aku menangkap salah satu potret kebahagiaan anak-anak di Simpang Asahan ini. Kebahagiaan sederhana yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kebahagiaan yang murni apa adanya. Kebahagiaan yang mereka bagi kepada gurunya dan akan selalu dibingkai dalam sebuah kenangan.

Pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya secara langsung. Anak-anak memberikan kesempatan kepada aku untuk menikmati suatu kebahagiaan. Mungkin jika aku tidak berada disini aku tidak akan pernah belajar tentang ini semua. Terima kasih.


Cerita Lainnya

Lihat Semua