Belajar untuk Hidup atau Hidup untuk Belajar ?

Luluk Aulianisa 1 April 2012

 

 

Everyday may not be good, but there’s something good in everyday (Author Unknown)

Wajarkah saat seseorang merasakan kebosanan ? Ketika apa yang dijalani terasa datar dan biasa saja. Ya, aku merasakannya. I’m also a human. Tak luput dari sempurna. Aku rasa itu wajar dan tantangannya adalah bagaimana aku menghadapi diriku sendiri. Bagaimana aku membuat senang diriku sekaligus mengalahkan ego yang tersimpan.

Akhir-akhir ini, kelakuan murid di kelas benar-benar membuat emosi. Setiap hari pasti ada kejadian yang membuatku marah. Bahkan hampir aku menangis karena saking kesal dan sakit hati. Kelakuan muridku ada yang tidak sopan dan menyakiti. Namun kutahan airmataku, aku tak mau menangis di depan mereka. Aku merasa semua nasihat dan omelanku seperti masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Aku lelah dan yang paling membuat kesal, anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka tidak terlalu ngeh kalau aku sedang merasa kesal ataupun gondok. Ya,semua seperti biasa saja, begitu dalam pikir mereka. Benar-benar ujian kesabaran.

Tipikal anak di desaku adalah anak gunung yang aktif bergerak dan banyak bicara. Sesekali mereka mengadu apa yang dibuat temannya. Seringkali juga hal itu tidak penting dan tidak benar keadaannya. Misalkan si A mengadu kalau si B tidak mau sekolah, padahal si B sedang sakit. Sebentar-sebentar, Bu... Sedikit-sedikit, Bu....

Bu, tidak ada pulpen..

Bu, sepatu saya tidak ada..

Bu, ada yang tidak kerjakan PR

Bu, itu di papan tulis apa harus ditulis ?

Aku geram mendengarnya. Ba..Bu..Ba.. Bu.. Astagfirullahaladzim

Kelakuan muridku juga sudah mulai berubah ke masa peralihan. Masa puber bahasa gaulnya. Sudah mulai ada yang memakai istilah ‘pacaran’ bahkan ada persaingan antar geng, lebih banyak kasus ini ditemukan pada perempuan. Namun, kembali lagi bahwa mereka tetaplah anak-anak yang memang masih polos. Mereka masih butuh bimbingan dan perlakuan yang tepat. Tidak kurang, tidak lebih. Peran orang tua, guru dan lingkungan amat penting disini.

Aku melihat tipikal anak-anak di desaku juga masih kurang dalam hal tata krama dan budi pekertinya. Kata-kata seperti Maaf, Permisi, Terima kasih, Tolong nampak asing kedengarannya. Mengapa bisa terjadi hingga seperti ini ? pikirku dalam hati. Aku langsung teringat dan sangat yakin bahwa pendidikan dimulai dari rumah, dari orangtua terutama ibu. Anak adalah cerminan dari orang tuanya. Aku sangat menyayangkan hal ini. Begitupun dengan pendidikan agama yang masih kurang. Padahal sudah disampaikan di sekolah, juga di TPA. Namun, praktiknya masih angin-anginan. Contohnya dalam hal salat yang tidak dibiasakan. Bagaimana bisa seorang anak akan mendoakan kedua orang tuanya jika salat saja tidak biasa dikerjakan ? Diberi tahu dan contoh berkali-kali tetap saja tidak mempan.

Oke, dalam keadaan aku sedang merasa datar dan situasi murid-muridku seperti demikian memaksa otakku berpikir bagaimana cara untuk mengembalikan ritme emosiku seperti sediakala. Toh, yang tahu bagaimana menghadapi diri sendiri...ya kita sendiri juga kan ? Aku anggap ini proses pembelajaran dalam hidup.

Suatu hari saat aku sedang menuliskan materi IPA di papan tulis, salah satu muridku, Ros, nyeletuk

“ Bu, kelas 5 yasinan yuk, hari Kamis, setiap orang bayar 2000 “

Aku terperangah. Menarik juga idenya. Tapi mengapa harus bayar 2000 ?

Iye’, (Iya, Bahasa Mandar) Bu..jadi nanti namanya dikocok, dapat uang yang keluar namanya, minggu depan yasinan di rumahnya “ terang Marliana, muridku yang lain.

“ Itu mah namanya arisan. Ini yasinan sambil arisan ya ?” ujarku dalam hati. Tapi cukup seru juga sih seperti itu. Aku merasa ini keuntungan. Aku bisa menyelipkan pelajaran agama seusai yasinan, yang lebih rutin. Jadi tidak hanya di sekolah dan TPA saja. Selain itu yang terpenting,aku akan silaturahmi ke rumah murid-muridku dan bertemu orang tua mereka secara berkala. Aku akan membangun komunikasi dengan mereka perihal anak-anaknya. Lagipula silaturahmi itu memperpanjang umur dan memperbanyak rezeki kan ? Aku tersenyum tanda setuju 100 %.

Yasinan perdana berlangsung di rumahku. Semenjak sore, sudah banyak muridku yang berkumpul. Kami membuat tettu, kue khas Mandar dari terigu dan gula merah, sebagai kande-kande (makanan ringan, bahasa Mandar) untuk yasinan nanti malam. Saat membuat tettu, kami tertawa-tawa karena ternyata banyak tettu yang rusak. Ada yang gulanya kelebihan, airnya kebanyakan, terigu terlalu encer dan sebagainya. Tapi itu bukan masalah, malah kami merasa terhibur. Malamnya pun yasinan berlangsung lancar dan dilanjutkan dengan salat Isya berjamaah sambil ada sedikit ceramah rohani tentang Akhlak. Setelah dikocok, yang mendapat arisan dan menjadi tuan rumah untuk minggu depan adalah M. Zulkarnaen yang akrab dipanggil Sul. Aku jadi tidak sabar menanti. Ternyata ini menyenangkan !

Selepas yasinan, sudah ada yang menungguku di luar rumah. Ternyata itu adalah murid perempuan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ya, saingan antar geng yang kukatakan adalah saingan antar geng qasidah MTs dan SD. Persaingan yang tidak sehat karena satu sama lain jadi terlibat ‘perang dingin’. Melihat semuanya sedang berkumpul, aku pertemukan mereka dan memberitahu mereka bahwa yang mereka lakukan tidak baik. Aku menyuruh mereka saling meminta maaf, Peranku disitu hanya sebagai arbitrasi saja, seperti menangani kedua negara yang sedang berkonflik.

Kami pun berkumpul di luar rumah. Berbagi cerita dan tawa. Malam itu langit sangat cerah berhiaskan bintang dan bulan sabit. Subhanallah, aku sampai tercengang karena langit saat itu luar biasa indahnya dan terang benderang. Aku melihat seperti ada Venus dan Mars, walaupun aku tidak tahu pasti, hanya mereka-reka dari warna dan ciri-cirinya. Seandainya saja aku hafal berbagai macam bentuk dan nama rasi bintang, pasti lebih bagus. Tiba-tiba aku berubah jadi sentimentil, teringat rumah dan orang tuaku. Sedang apa ya mereka ? Bagaimana keadaan di rumah sekarang ? Lantas teringat juga hal lainnya yang membuatku rindu. Pikiranku menerawang. Ah, biarlah aku kunjungi kamu sebentar wahai kotak kenanganku ! Aku terdiam sesaat dalam keramaian dan gelak tawa anak-anak.

Jadi ??? Ya, ya, ya...kini aku semakin paham dengan semua yang terjadi. Aku merasa jauh lebih baik. Di saat seperti ini, hanya aku yang mampu menolong diriku, hanya aku yang paham bagaimana menjadi self-motivator untuk diriku, hanya aku yang paling tahu apa yang kira-kira bisa menyenangkan diri sendiri. Semua tak lepas dari kehendak Tuhan yang mengirimkan kuasa-Nya. Lagi, aku belajar dari hari-hari selama disini, di Limboro. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Selalu ada buah kesabaran dari setiap pohon kehidupan. Belajar untuk hidup, bukan hidup untuk belajar.

Terima kasih sudah membaca tulisan ini :)

“Dalam perjalanan kehidupan seorang manusia, pada suatu saat terkadang memerlukan sebuah proses mencari makna hidup melalui hal-hal yang tidak terduga dan bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Hal tersebut dapat berupa melakukan aktifitas berbeda yang diluar rutinitas, kegemaran yang dilakukan secara total, maupun peristiwa-peristiwa yang dialami ketika berada dalam perjalanan menuju suatu tempat. Sesungguhnya inti dari semuanya itu adalah adanya perjuangan dan proses pembelajaran yang dinikmati dengan ikhlas.”

Kick Andy


Cerita Lainnya

Lihat Semua