Masa Panen Raya, Limboro Bersuka Cita

Luluk Aulianisa 1 April 2012

 

 

Siang itu, aku berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Matahari bersinar sangat terik. Kupandangi sekitarku. Tidak ada orang. Ya, kampung ini benar-benar sepi. Ada apa gerangan ? Biasanya masih ada satu dua orang kutemui di jalan. Namun ini tidak, hanya anak-anak, itupun tidak banyak. Kubuka pintu rumah. Sama, sepi juga. Penghuninya pergi semua, hanya adik-adikku yang sedang main kelereng depan rumah.

Selepas makan siang, aku bermain ke rumah tetangga yang juga merupakan guru. Namanya Ibu Samaniah. Kulihat beliau sedang menumbuk padi. Ibu Samaniah bercerita hampir semua seisi kampung pergi ke kebun karena sedang panen raya. Jadi itu sebabnya mengapa kampung sangat sepi. ! Malah kabar yang terakhir kudengar dari indoq (ibu angkat), tetanggaku ada yang melahirkan di kebunnya dengan bantuan dukun! Ckckckckck....

Teringat juga kalau indoq ku sering bercerita kalau padinya sedang banyak yang panen. Ayah memang sering pulang ke rumah dengan membawa karung berisi padi. Kata indoq, kalau dihitung-hitung hasil panen padi kebunnya mencapai 1 ton. Hasilnya pun bermacam-macam ada beras putih, beras merah hingga beras ketan. Wah, ternyata Limboro sedang bersukacita dengan masa panennya !

***

Pada hari Minggu yang cerah, aku ikut berkebun bersama keluargaku. Lokasinya tidak jauh dari makula (pemandian air panas terkenal di Limboro). Untuk mencapai kesana, harus mendaki dulu dan tanjakannya cukup curam. Aku teringat ayah yang menggotong karung padi melintas pendakian ini. Pasti sulit dirasa namun baginya ini biasa. Setelah melewati beberapa kebun milik orang lain, sampailah kami ke puncak dan disanalah kebun keluargaku berada. Pemandangannya jangan ditanya. Menakjubkan ! Aku berada di atas perbukitan yang di depannya terhampar gunung. Dari kejauhan aku melihat susunan rumah di Desa Limboro Rambu-rambu. Rumahku yang bercat jingga nampak samar-samar terlihat. Sekelilingku banyak ibu-ibu sedang mencabut padi. Sesekali anaknya pun ikut membantu. Ada juga bapak-bapak memanggul parang mencari kayu untuk membuat rumah. Aku pikir aku hanya bisa berkebun saat bermain Harvest Moon* saja. Hahaha..ternyata sekarang aku benar-benar berkebun secara nyata!

Matahari bersinar terik namun tak menyurutkan antusiasku. Aku segera bergabung dengan para pemotong padi dan melakukan apa yang mereka kerjakan. Sementara,indoq ku menjaga Afdal, adik bungsuku, di gubuk sambil menyiapkan makan siang.  Kami memang membawa beras dan ikan kering untuk dimasak bersama-sama di kebun. Adikku yang lain, Rafika, pergi mencari kacang panjang yang tersebar liar di sekitar kebun.

Jam hampir menunjukkan pukul 12.00. Perutku keroncongan. Kuhampiri indoq yang sedang memasak. Rupanya, beliau sedang membakar ikan. Cara membakarnya pun sangat luar biasa. Ikannya ditaruh begitu saja di atas kumpulan kayu bakar tanpa ada pemisah sedikitpun. Sementara di sekitarnya banyak anjing yang berkeliaran. Jenis ikan yang dibakar adalah ikan Tappilalang yang diasinkan. Ikan Tappilalang adalah ikan yang selalu ada di menu makan setiap hari selama disini. Biasa dijual Rp 2.000/ekor. Bagi orang Limboro dan Mandar pada umumnya, ikan adalah lauk wajib yang harus selalu ada.  Di perapian yang lain, indoq juga memasak sayur daun kacang panjang yang diberi bumbu garam. Hanya tinggal diambil saja di kebun, mau banyak, mau sedikit tidak masalah karena tumbuhnya pun liar, namun enak dimakan. Ada lagi tumbuhan pakis yang kerap kali dijadikan sayur. Rafika juga baru saja memetik cabai rawit dan tomat kecil. Dengan sigap, ia menghancurkannya untuk dijadikan sambal. Air liurku menetes. Aku lapar dan tergoda untuk segera makan. Ayahku datang sambil membawa dua jeriken besar berisikan air yang diambil dari mata air tak jauh dari situ. Ya, ya, ya..sudah terbiasa bukan orang disini meminum air tanpa dimasak dulu ? Begitupun denganku yang sudah seperti orang Limboro. Wahai perut, semoga kamu baik-baik saja ya ! ujarku dalam hati sambil mengusap-usap perutku.

Meko mande’ (Sini makan , bahasa Mandar) ! seru indoq pada semuanya yang masih sibuk memotong padi.

Kami pun berkumpul di gubuk sederhana itu. Melepas lelah sambil meluruskan kaki tangan. Segera menyantap makanan adalah hal yang paling kutunggu. Percayalah, Kawan, makanan yang kusantap ini : Ikan Tappilalang bakar, sayur daun kacang panjang, nasi putih hangat, sambal tomat adalah makanan terenak se-dunia ! :) Aku memang sedang lapar-laparnya. Yang membuat ini semua tambah istimewa adalah kebersamaan dan kehangatan yang kami rasakan. Aku tak peduli ikannya mau dibakargimana caranya kek, daun kacang yang tumbuh liar kek, air yang tidak dimasak dulu kek.  Apalagi baru saja kulihat ada kecebong kecil yang sedang bergerak lincah dalam jeriken berisi air untuk diminum :)

Aku jadi teringat kehidupan di kota. Orang-orang berada rela membayar lebih untuk merasakan suasana makan ala pedesaan. Ya, bisnis restoran begitu marak bukan ? Apalagi di Bandung, kota tempatku tinggal. Tidak hanya suasana pedesaan. Tempat makan di pinggir pantai juga menawarkan sensasi dan harga yang tidak sedikit. Harga satu buah kelapa muda yang kunikmati di warung kayu pinggir jalan poros Majene-Mamuju adalah Rp 5.000. Suasananya membuat betah nongkrong berjam-jam lamanya. Hamparan Selat Makassar berada depan mata. Angin sepoi-sepoi mengajak untuk tidur. Kalau di kota, suasana yang hampir mirip seperti itu lantas mengubah harga satu buah kelapa muda yang biasa kubeli menjadi berkali-kali lipat harganya. Those people buy experiences. Dan itu sah-sah saja dalam ilmu pemasaran yang memang bertujuan untuk mempertemukan needs (kebutuhan) dan wants (keinginan).

Aku menceritakan apa yang kupikirkan barusan pada orang-orang yang sekarang sedang bersamaku. Mereka tertawa.

“ Kalau kita, biasa memang seperti ini “, ujar salah seorang Ibu disusul anggukan yang lain.

“ Di kota tidak ada kebun ya, Bu ? Sebelumnya Ibu ‘ndak pernah begini ? “ tanya salah seorang Bapak.

“ Ada, Pak..apalagi di Bandung, itu kan juga pegunungan. tapi saya tidak punya kebun seperti Bapak dan Ibu disini, jadi saya jarang-jarang deh seperti ini “  Jawabanku itu disusul dengan gelak tawa yang lain.

Adede, makappaq sana’ (Alangkah bagus sekali, bahasa Mandar) hari ini ! Aku senang. Berkebun itu menyenangkan. Apalagi bersama-sama. Sekarang aku tahu mengapa orang-orang disini begitu senang berkebun, meskipun hujan dan panas, mereka tetap pergi.  Yang paling aku apresiasi adalah orang tua disini tidak memaksa anaknya untuk pergi berkebun saat hari sekolah. Ketika hari libur atau sepulang sekolah baru anaknya bisa ikut pergi ke kebun.

Hari sudah semakin sore. Saatnya kami pulang. Aku sempat beberapa kali terjatuh karena turunannya cukup curam. Orang-orang disekitarku tertawa-tawa. Aku juga jadi ikut tertawa hingga badanku lemas. Indoq ku begitu lancar berjalan sambil menggendong adikku. Sebelum sampai di rumah, kami sempatkan dulu berendam di makula. Setelah itu,  kami pun berjalan bersama untuk pulang.

It’s fun ! It’s time to harvest ! Yeayyy...:)

*Salah satu nama game di Playstation


Cerita Lainnya

Lihat Semua