Si Macan Sekolah

Melissa Tuanakotta 10 Januari 2012

Aku menyempatkan diri untuk mengendarai motor(dinas)ku menuju satu rumah di Desa Indraloka 2, Tulang Bawang Barat. Letak rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja jika menggunakan motor. Aku sedikit berhati-hati, karena jalanan basah dan berlumpur akibat dari hujan deras yang mengguyur desa ini semalam suntuk. Jalanan yang penuh liku, berakhir di depan sebuah rumah sederhana berdinding kayu.

Aku melihat orang yang aku cari sedang duduk bersantai di depan rumahnya, beristirahat menikmati suasana sore sambil mengepulkan asap rokok. Senyum ramah menghiasi bibirnya menyambut kedatanganku, si tamu tidak diundang. Kami bersalaman, aku menatap lekat-lekat pria setengah baya ini. Kulitnya hitam legam seperti habis terbakar sinar matahari, dan perawakannya pun tidak terlalu tinggi. Tidak pernah terbayangkan bahwa di depanku ini telah berdiri seseorang yang telah memajukan pendidikan dengan merintis beberapa sekolah di desa ini, dan mengabdikan dirinya sebagai seorang guru (honorer). Dialah Pak Ansori (43).

Aku masuk ke dalam rumahnya, aku duduk di ruang tamu sederhana yang menyatu dengan ruang keluarga. Aku bisa melihat ada dua kamar berpintukan slembar kain, sehingga ketika ada hembusan angin aku bisa mengintip isi dari kamar tersebut. Mataku berputar merekam segala sesuatu yang aku bisa lihat saat itu. Dari balik dinding, keluar istri Pak Ansori yang biasa dipanggil dengan Bu Sum. Dengan ramah Ibu menyapaku lantas segera mengeluarkan segala sesuatu dari dalam dapurnya.

“Ayo Bu Meli, kebetulan anak saya ada yang merayakan natal. Jadi Bu Meli tidak perlu sungkan.”

Sore itu adalah sore menyambut malam natal (24/12/2011). Salah satu anak Bu Sum dari pernikahan sebelumnya masih merayakan natal. Sedangkan Ia, Pak Ansori dan anak-anak lainnya merayakan lebaran. Aku tersenyum, di desa seperti ini saja kerukunan antar umat beragama bisa terlihat dalam sebuah keluarga. Sedangkan di luar sana banyak orang saling bersi tegang ketika bersinggungan dengan masalah perbedaan agama.

Sudah lama aku menantikan kesempatan ini, menantikan sebuah kesempatan untuk bisa bertemu dengan Pak Ansori dan mendengarkan kisahnya yang luar biasa dalam perkembangan pendidikan di desa ini.

“Hidup saya ini pahit Bu,” ujar Pak Ansori seraya menyalakan kembali rokoknya sehingga ruangan itu pun dipenuhi dengan kebulan asap rokok.

Ayah empat orang anak ini menceritakan kisah hidupnya. Dimulai dengan kehidupan masa kecil, ketika ditinggal pergi oleh sang Ayah. Pak Ansori mulai berdiri di atas kakinya sendiri sejak kelas 5 SD. Ia bekerja serabutan untuk bisa menghidupi dirinya sendiri dan membiayai sekolahnya. Kerja keras berakhir dengan sebuah titik cerah di mana ada seseorang yang mengangkat dirinya menjadi seorang anak dan memenuhi kebutuhan hidupnya hingga ia berhasil menyelesaikan sekolah hingga Sekolah Menengah Atas, tahun 1988.

“Satu yang saya sesali adalah ketika saya tidak melanjutkan pendidikan saya hingga  ke perguruan tinggi. Saat itu saya lebih memilih untuk mencari nafkah saja. Sehingga orang tua angkat saya membekali saya lahan untuk di garap dan ditanami pohon karet di daerah Mesuji,” lanjutnya.

Pak Ansori menggambarkan keadaan desa ini saat itu.

“Desa ini dulunya masih hutan, tidak ada jalan poros yang ada hanya jalan setapak. Itu pun kalau mau kemana-mana harus jalan kaki atau naik sepeda. Kita juga harus selalu hati-hati, karena dulu daerah sini masih banyak gajah liar, yang jika mengamuk bisa menghilangkan nyawa atau merusak rumah penduduk.”

Aku terhanyut dalam cerita masa lalu ini. Aku membayangkan bagaimana keadaan desa ini saat itu. Sekarang saja walaupun sudah ada jalan poros, jalanan masih tetap sulit untuk dilewati. Apalagi dulu? Imajinasiku membentuk gambaran tempat tinggal Pak Ansori, yang menurutnya akan lebih tepat jika disebut dengan gubuk karena bentuknya yang hanya bisa dipakai untuk tidur dan masak saja.

Ketika ia sedang berada di ladang, ia melihat ada sekumpulan bocah yang sedang bermain. Setiap hari ia melihat anak-anak tersebut hanya menghabiskan waktu dengan bermain, bermain dan bermain. Hatinya merasa sedih ketika harus melihat generasi muda yang kerjaannya hanya bermain dan tidak mendapatkan pendidikan sesuai dengan hak dan kewajiban mereka.

Pria kelahiran Lampung Kota Bumi pada 11 Juli 1968 ini gerah melihat pemandangan tersebut, sehingga terketuklah pintu hatinya untuk mendirikan sekolah. Ia mendatangi pejabat desa setempat dan mengutarakan isi pikirannya itu. Ia pun segera mengumpulkan masyarakat untuk mengumpulkan suara agar mendukung keinginannya. Ibarat gayung bersambut, keinginan Pak Ansori pun terealisasikan. Dengan swadaya murni dari masyarakat, maka terbentuklah SD perintis di desa Indraloka 2 ini tahun 1989. Sekolah yang menjadi cikal bakal dari SD Negeri 01, tempat aku mengabdikan diri saat ini.

Jangan sekali-kali membayang SD megah dengan suasana ibu kota, jangan juga langsung membayangkan bangunan sekolah semacam sekolah di film Laskar Pelangi. Cukup dengan membayangkan bangunan kecil berdindingkan kayu dan beratapkan alang-alang. Itu lah sekolah yang berhasil dirintis oleh Pak Ansori bersama dengan rekan-rekannya yaitu Pak Marjan, Pak Damanuri, Wardi dan Samsul.

Pertama kali sekolah ini dibuka, murid yang mendaftar hanyalah 17 orang dengan beragam usia. Bahkan ada yang mendaftar dengan usia yang hampir sama dengan usia Pak Ansori pada saat itu. Ia menjadi guru sekaligus menjabat wali kelas. Akibat ketegasannya Pak Ansori dijuluki “Macan Sekolah” oleh murid-muridnya. Honor yang diterima pun seadanya, setiap bulan mungkin Pak Ansori hanya mendapat 1000 rupiah. Jika musim panen tiba, ia hanya mendapat bayaran berupa gabah satu kaleng.

Dulu ketika aku sedang belajar menjadi seorang jurnalis, sangat ditekankan untuk tidak melihat suatu hal secara subjektif apalagi melibatkan perasaan ketika mencari berita. Tadinya ingin sekali tulisan ini aku jadikan sebuah artikel, tapi nampaknya tidak bisa karena aku melibatkan perasaan dan pandangan subjektif terhadap cerita ini. Bagaimana mungkin dalam satu bulan hanya mendapatkan uang 1000 rupiah atau sekaleng gabah? Perasaan saya pun campur aduk saat itu, menelan air ludah pun rasanya sulit. Rasanya tidak adil hal ini terjadi kepada seseorang yang memiliki tujuan mulia dalam hidupnya. Saya sangat terharu hingga meneteskan air mata.

“Saya sebenarnya tidak terlalu peduli dengan masalah uang Bu, yang penting anak-anak mendapatkan Pendidikan. Pendidikan itu penting apalagi untuk anak-anak sebagai generasi penerus. Kalau tidak ada mereka siapa sih yang bisa menjadi penerus generasi kita,” papar Pak Ansori sambil tersenyum melihat saya yang sedang menangis.

Semakin lama murid di sekolah rintisannya pun makin banyak. Ada sekitar 250 anak mendaftar di sekolah tersebut, karena memang baru ada satu sekolah di desa ini. Lonjakkan murid ini pun membuat Pak Ansori menggagas sebuah ide untuk membuat SD lagi. Sehingga dibuatlah kembali satu SD yang menjadi cikal bakal SDN 02 di Indraloka 2 ini. Selain itu Pak Ansori pun juga ikut merintis beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena melihat kenyataan bahwa anak-anak putus sekolah setelah tamat dari SD.

Perjalanan merintis sebuah SD tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Setiap SD rintisan harus menginduk ke sekolah negeri. Pemerintah tidak bisa memberikan bantuan apapun kepada sekolah yang berdiri sendiri. Sedangkan bantuan pun selalu “nyangkut” di SD induk, sekolah yang menginduk hanyalah dapat bagian penyisaan saja. Bahkan sempat sekolah ini pernah mendapatkan soal ulangan bekas.

Berbagai usaha terus dilakukan hngga SD Perintis pun mulai berkembang menjadi SD Persiapan, lalu pada akhirnya merubah status menjadi SD Negeri 01 tahun 1993. Tahun 1995 SD tersebut penuh sesak oleh murid, sehingga Pak Ansori pun kembali merintis SD lokal jauh bersama adiiknya, Bu Marem, yang menginduk ke SDN 01.

Walaupun menjadi seorang perintis, Pak Ansori tidak bisa lagi melangkahkan kaki menuju posisi Kepala Sekolah. Kenapa? Kenapa Pak Ansori tidak bisa menjadi seorang kepala sekolah setelah apa yang telah dia lakukan untuk kemajuan pendidikan di desa ini? Jawabannya sudah jelas, Pak Ansori hanyalah seorang guru honorer yang tidak menyandang gelar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia pun tidak pernah mendapat penghargaan apapun dari pihak sekolah yang berdiri berkat rintisannya.

“Sudahlah Bu, Saya ini menyadari apa saja yang menjadi kekurangan dan kelebihan saya. Saya sadar saya ini siapa.  Yang penting keinginan saya untuk mengabdikan ilmu yang saya punya ke anak-anak agar mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa sudah saya jalani.”

Roda kehidupan selalu berputar. Pak Ansori sendiri adalah orang yang tidak menyerah kepada keadaan. Walaupun ia tidak bisa melangkah lebih jauh dalam bidang pendidikan, ia pun bekerja keras menjadi petani karet di ladang garapannya. Saat ini ia telah memiliki beberapa lahan karet pribadi  yang digarap untuk menghidupi keluarganya. Selain itu Pak Ansori juga menjabat sebagai Ketua Forum Tenaga Guru Honorer Sekolah Negeri Indonesia untuk Kecamatan Way Kenanga, Kabupaten Tulang bawang Barat.

Aku menghela nafas, dari dalam ruang tamu tempat kami berbincang-bincang aku bisa melihat matahari sudah mulai terbenam. Ternyata sudah cukup lama aku berada di sini untuk mendengarkan sebuah cerita yang sangat inspiratif. Aku pun pamit dan mengucapkan terima kasih, terima kasih karena telah meluangkan waktu untukku dan terima kasih telah memajukan pendidikan di desa ini. Mungkin Pak Ansori merasa hanya melakukan hal-hal yang biasa saja, tapi pada kenyataannya Bapak sudah melakukan hal yang sangat luar biasa.

Engkau bagaikan pelita dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa,,,


Cerita Lainnya

Lihat Semua