Naluri Ibu Seorang Guru
Melissa Tuanakotta 22 Desember 2011Tiba-tiba aku teringat dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang kawan kuliahku, “Apa sih rasanya jadi guru?”
Tanpa pikir panjang aku pun langsung menjawab, “Menjadi seorang guru rasanya seperti menjadi seorang Ibu.”
Tidak perlu dipungkiri aku ini adalah seorang wanita seperempat abad, di mana di kampung ini gadis seumurku sudah menggendong dua orang anak. Sedangkan aku? Masih menggendong tas di pundak. Tapi tidak menutup kemungkinan bukan, ketika naluri seorang ibu telah muncul di dalam diriku? Karena itu yang terjadi saat ini. Aku seperti sedang memiliki banyak anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka selama di sekolah, yaitu guru.
Setiap hari aku selalu memperhatikan seluruh murid yang berada di sekolahku. Menanyakan kabar mereka setiap pagi, memberikan pelajaran kepada mereka, memberikan petuah, melerai mereka yang bertengkar, mengobati ketika ada yang terluka, mendengarkan celoteh mereka, dengan sabar menjawab keingin tahuan mereka dan banyak hal lainnya yang memantapkan untuk menumbuhkan naluri seorang ibu dalam diriku. Seorang wanita, walaupun mungkin tidak semuanya atau mungkin juga hanya aku saja, bertindak dan selalu berpikir dengan perasaan dan kasih sayang. Walaupun sudah jelas, peran Ibu yang sebenarnya akan jauh lebih berat dari apa yang aku lakukan sekarang ini. Ini hanyalah secuil kisah seorang Ibu guru.
Rifli Zikriyanto, adalah salah seorang murid di sekolahku. Dia masih duduk di kelas 4, kelasnya terletak tepat di sebelah kelasku. Rumahnya pun tidak terlalu jauh dari rumahku, sehingga dia sering menghabiskan waktunya untuk bermain dan belajar di rumahku. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari ia menginap.
Pertama kali aku tiba di sini, perhatianku langsung tertuju kepadanya. Orangnya pendiam, cuek, dan kukunya panjang berwarna hitam. Dalam hati aku mengucap “ini dia si biang onar”. Tapi itu hanyalah sebuah hallo effect saja, karena pada kenyataannya, Rifli justru anak manis yang baik hati, ceria, dan senang sekali ketika aku perkenalkan dengan hal-hal baru. Dia selalu menjadi anak yang paling semangat merespon ketika aku hendak melakukan suatu hal. Dia adalah anak yang tidak pernah bisa berjarak dariku.
Sedikit aku bercerita tentang tisue basah, mungkin inilah awal mula mengapa Rifli menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Suatu sore aku mengeluarkan tisue basah di hadapan anak-anak yang sedang bermain di rumahku.
“Apa itu bu?”
“Ini tisue basah”
“Hah? Tisue Basah?”
“Emang kalian belum pernah lihat tisue basah?”
“Belum bu!”
Aku pun segera dikerubungi oleh anak-anak yang ingin tahu apa itu tisue basah. Aku berniat membagikan mereka semua satu lembar tisue basah, akan tetapi aku memberikan mereka sebuah syarat.
“Kalian mau tisue basah ini?”
“Mau bu!!!!”
“Boleh, tapi ada syaratnya ya, kalian harus potong kuku”
“Woalah bu bu...”
Mengapa potong kuku? Coba bayangkan beberapa pasang tangan dengan kuku panjang berwarna hitam berada disekitar kita. Itu tidak boleh menjadi hal yang biasa saja, tapi harus segera ditiadakan. TITIK. Mereka pun mengomel karena kukunya harus dipotong, tapi iming-iming selembar tisue basah lebih kuat dibandingkan keenganan mereka untuk memotong kuku. Giliran mereka sudah mau, ternyata mereka tidak bisa memotong kukunya sendiri dengan gunting kuku. Dengan sukarela aku memotong kuku mereka satu persatu, Rifli yang mendapat giliran paling pertama.
“Bu kukunya yang dipotong tangan sebelah aja yah bu,” berkata dengan wajah polos tapi dihiasi senyuman manis yang meluluhkan hati.
“Kenapa harus sebelah? Nanti yang sebelahnya lagi panjang dan hitam. Ihhhhhh... Ibu sih gak mau ah main sama anak yang kukunya item,” jawabku yang tidak terpancing oleh senyuman itu.
“Yah, jangan dong bu, saya kan ingin main sama ibu. Ya sudah bu, saya pasrah ibu boleh potong kuku saya semuanya,” jawabnya pasrah
Semua mendapat giliran untuk aku potongkan kukunya. Sesuai dengan janji yang telah aku ucap mereka pun aku kasih satu lembar tisue basah. Semuanya tersenyum bahagia dan berkata:
“Wangiiiiiiiiiiiiiiiii”
Mereka pun mengelap wajah, tangan, dan kaki mereka. Lalu mereka tertawa geli melihat betapa kotornya badan mereka karena tisue yang tadinya berwarna putih berubah warna menjadi coklat.
Cerita tisue basah dan potong kuku inilah yang membuat aku menjadi akrab dengan anak-anak. Setiap sore mereka datang entah untuk baca buku, bermain, dan belajar. Bahkan aku membuat jadwal, hari Senin itu matematika, Selasa bernyanyi, Rabu menggambar, Kamis Bahasa Inggris, Jumat IPA, dan Sabtu nonton film. Entah mereka antusias atau apa, anak-anak memutuskan untuk menginap di rumahku dan selalu membawa bekal makanan agar kami bisa makan malam bersama-sama.
Lama-kelamaan anak-anak mulai jarang tidur di rumah, mereka hanya singgah untuk bermain. Tapi Rifli tidak, dia selalu menginap dan membawa bekal makanan. Suatu hari aku bertanya:
“Kenapa kamu menginap terus? Apa kamu sudah izin ke orang tuamu.”
“Saya mau menginap terus di sini sampai Bu Melissa pergi tidak mengajar lagi di sini.”
“Kamu tidak akan dimarahi oleh orang tuamu?”
“Ga ada yang akan memarahi saya Bu, saya ini anak langit dan bumi.”
Aku terperangah dengan jawabannya itu. Keesokkan harinya aku segera mencari tahu tentang Rifli. Ternyata Rifli tidak mempunyai ibu dan bapak. Ia tinggal di sini bersama dengan sang kakek yang kesehariannya hanya seorang petani yang menanam kacang panjang. Ia ditinggalkan oleh ibunya ketika ia masih duduk di bangku taman kanak-kanak, dengan dalih ingin pergi membeli makanan. Sang ibu pergi tak pernah kembali. Sedangkan sang ayah pun pergi menikah lagi. Ia tidak pernah merasakan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Rifli berjalan sendiri menapaki hidup dengan langkah kecilnya.
Apa mungkin bocah berumur sepuluh tahun ini mendapatkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu dari aku? Dari aku yang hanya seorang ibu guru yang juga akan segera pergi meninggalkannya setelah masa tugasku selesai.
Suatu malam aku melihat Rifli sedang tertidur sambil meringkuk kedinginan. Ia tidur di ruang baca beralaskan kasur tipis bersandarkan sebuah bantal. Aku mendekat lalu duduk di sampingnya, aku melihat wajah seorang malaikat kecil yang sedang tertidur pulas. Aku sempat bertanya-tanya ‘apa yang sedang dia mimpikan yah? Apakah dia bermimpi untuk bertemu dengan sang ibu?’. Aku segera beranjak untuk mengambil kain sarung dan menyelimutinya.
Tiba-tiba aku teringat oleh ibuku. Satu-satunya orang tua yang aku punya setelah meninggalnya ayahku. Aku teringat dengan sebuah kenangan masa kecil. Dulu ketika aku hendak tidur, aku selalu membuka sedikit pintu kamarku. Di atas tempat tidur aku selalu menunggu kedatangan ibuku. Ya, ia selalu datang untuk menyelimutiku dan memberikan kecupan penghantar tidur.
Kebahagiaan masa kecil yang mungkin tidak pernah dirasakan oleh Rifli sepanjang hidupnya. Aku pun tersadar, apa yang telah aku lakukan pernah juga dilakukan oleh ibuku kepadaku. Aku rindu ibuku. Seumur hidup, baru kali ini aku pergi jauh dari rumah dan berpisah dengannya.
___________________________________________________________
“Rifli, jika ada bintang jatuh, apa keinginan terbesar yang akan kamu ucapkan?” tanyaku kepadanya di suatu malam ketika listrik padam. Aku mengajaknya untuk melihat bulan dan bintang di langit malam.
Sambil menatapku tajam dan tersenyum dalam diam, lalu ia berkata:
“ Aku ingin ibu tinggal di sini untuk selamanya.”
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2011
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda